Halaman

Selasa, 09 Desember 2025

Ketika Ibadah Menipu: Bahaya Halus Kesombongan Rohani

Nasihat dari dars Abuya Shaleh Alaydrus "Tanda humuq (dungu) seseorang adalah ia beribadah dan merasa tinggi dari manusia serta merasa diterima amalnya. Sedang ahlu ma'rifah selalu merasa khauf (takut) jika amal baiknya tidak diterima oleh Allah" adalah cermin untuk setiap hati yang sedang menempuh jalan menuju Allah. Perkataan ini bukan ditujukan untuk merendahkan siapa pun, tetapi sebagai lentera yang menunjukkan bahaya licin di jalan ibadah: ketika amal justru melahirkan angkuh, bukan tunduk. Dengan memahami hikmah di balik kalimat tersebut, seorang hamba dapat menjaga perjalanan spiritualnya tetap bersih dari ketertipuan diri dan dekat dengan rahmat Allah.

Nasihat ini mengingatkan bahwa tanda kedunguan rohani adalah beribadah sambil merasa lebih tinggi dari manusia lain. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah sejatinya bukan sekadar gerakan dan kata-kata, tetapi cermin bagi ketundukan hati. Bila seseorang merasa mulia karena ibadahnya, itu berarti hatinya telah terperdaya oleh ilusi keistimewaan. Padahal, ibadah yang seharusnya mengangkat derajat justru bisa menjadi sebab kejatuhan ketika ia menumbuhkan kesombongan, sesuatu yang Allah benci walaupun hanya sebesar biji sawi.

Bagian nasihat ini juga menyentuh sisi yang lebih lembut namun berbahaya: merasa bahwa amal sudah pasti diterima oleh Allah. Ini adalah bentuk kelalaian batin, karena penerimaan amal adalah rahasia Allah, bukan milik manusia untuk dihakimi sendiri. Ketika seseorang yakin amalnya telah diterima, ia mudah berhenti memperbaiki niat, berhenti mengevaluasi diri, dan menjadikan ibadah sebatas “prestasi”. Inilah tipu daya yang sangat halus, karena seseorang merasa berada di puncak padahal mungkin ia belum melangkah ke apa pun.

Berbeda dengan orang yang tertipu amalnya, ahlu ma‘rifah—para pecinta Allah yang mengenal-Nya—senantiasa diliputi rasa khauf (takut) jika amal mereka tidak diterima. Rasa takut ini bukan ketakutan yang melemahkan, tetapi penjaga yang membuat hati selalu waspada dan lembut. Mereka tahu bahwa nilai ibadah bukan diukur dari banyaknya gerakan, tetapi dari kejernihan niat dan limpahan taufik. Karena itulah, semakin mereka beramal, semakin mereka khawatir akan ketidaklayakan diri, sebab mereka sadar bahwa segala amal hanyalah setitik kecil dari lautan anugerah-Nya.

Para ahli ma’rifah memahami bahwa bisa beribadah adalah rahmat sebelum ia menjadi amal. Tidak ada yang dapat sujud kecuali karena Allah mengizinkannya. Kesadaran ini membuat mereka rendah hati; mereka tidak melihat amal sebagai keunggulan, tetapi sebagai kesempatan. Semakin banyak ibadah, semakin besar rasa syukur, bukan kebanggaan. Mereka melihat bahwa semua kebaikan datang dari Allah, sementara diri mereka hanyalah wadah lemah yang diberi kehormatan untuk menyebut nama-Nya.

Nasihat ini ingin membimbing manusia agar selamat dalam perjalanan menuju Allah: jangan tertipu oleh ibadah, jangan merasa lebih dari orang lain, dan jangan menganggap amal sudah pasti diterima. Sikap hati yang benar adalah memadukan harapan dan ketakutan, rasa syukur atas taufik untuk beramal dan rasa hina karena menyadari kekurangan diri. Dengan demikian, ibadah tidak menjadi alasan untuk sombong, tetapi menjadi tangga untuk semakin dekat kepada Allah. Inilah jalan para kekasih Allah: hati yang senantiasa tunduk, takut, dan berharap kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Bacaan Al-Qur’an Mengangkat Kedudukan di Surga

Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama senantiasa menekankan pentingnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoma...