Nasihat dari dars Abuya
Shaleh Alaydrus "Tanda humuq (dungu) seseorang adalah ia
beribadah dan merasa tinggi dari manusia serta merasa diterima amalnya. Sedang
ahlu ma'rifah selalu merasa khauf (takut) jika amal baiknya tidak
diterima oleh Allah" adalah cermin untuk setiap hati yang sedang
menempuh jalan menuju Allah. Perkataan ini bukan ditujukan untuk merendahkan
siapa pun, tetapi sebagai lentera yang menunjukkan bahaya licin di jalan
ibadah: ketika amal justru melahirkan angkuh, bukan tunduk. Dengan memahami
hikmah di balik kalimat tersebut, seorang hamba dapat menjaga perjalanan
spiritualnya tetap bersih dari ketertipuan diri dan dekat dengan rahmat Allah.
Nasihat ini mengingatkan bahwa
tanda kedunguan rohani adalah beribadah sambil merasa lebih tinggi dari manusia
lain. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah sejatinya bukan sekadar gerakan dan
kata-kata, tetapi cermin bagi ketundukan hati. Bila seseorang merasa mulia karena
ibadahnya, itu berarti hatinya telah terperdaya oleh ilusi keistimewaan.
Padahal, ibadah yang seharusnya mengangkat derajat justru bisa menjadi sebab
kejatuhan ketika ia menumbuhkan kesombongan, sesuatu yang Allah benci walaupun
hanya sebesar biji sawi.
Bagian nasihat ini juga
menyentuh sisi yang lebih lembut namun berbahaya: merasa bahwa amal sudah pasti
diterima oleh Allah. Ini adalah bentuk kelalaian batin, karena penerimaan amal
adalah rahasia Allah, bukan milik manusia untuk dihakimi sendiri. Ketika seseorang
yakin amalnya telah diterima, ia mudah berhenti memperbaiki niat, berhenti
mengevaluasi diri, dan menjadikan ibadah sebatas “prestasi”. Inilah tipu daya
yang sangat halus, karena seseorang merasa berada di puncak padahal mungkin ia
belum melangkah ke apa pun.
Berbeda dengan orang yang
tertipu amalnya, ahlu ma‘rifah—para pecinta Allah yang
mengenal-Nya—senantiasa diliputi rasa khauf (takut) jika amal mereka
tidak diterima. Rasa takut ini bukan ketakutan yang melemahkan, tetapi penjaga
yang membuat hati selalu waspada dan lembut. Mereka tahu bahwa nilai ibadah
bukan diukur dari banyaknya gerakan, tetapi dari kejernihan niat dan limpahan
taufik. Karena itulah, semakin mereka beramal, semakin mereka khawatir akan
ketidaklayakan diri, sebab mereka sadar bahwa segala amal hanyalah setitik
kecil dari lautan anugerah-Nya.
Para ahli ma’rifah memahami bahwa bisa beribadah adalah rahmat sebelum ia menjadi amal. Tidak ada yang dapat sujud kecuali karena Allah mengizinkannya. Kesadaran ini membuat mereka rendah hati; mereka tidak melihat amal sebagai keunggulan, tetapi sebagai kesempatan. Semakin banyak ibadah, semakin besar rasa syukur, bukan kebanggaan. Mereka melihat bahwa semua kebaikan datang dari Allah, sementara diri mereka hanyalah wadah lemah yang diberi kehormatan untuk menyebut nama-Nya.
Nasihat ini ingin membimbing manusia agar selamat dalam perjalanan menuju Allah: jangan tertipu oleh ibadah, jangan merasa lebih dari orang lain, dan jangan menganggap amal sudah pasti diterima. Sikap hati yang benar adalah memadukan harapan dan ketakutan, rasa syukur atas taufik untuk beramal dan rasa hina karena menyadari kekurangan diri. Dengan demikian, ibadah tidak menjadi alasan untuk sombong, tetapi menjadi tangga untuk semakin dekat kepada Allah. Inilah jalan para kekasih Allah: hati yang senantiasa tunduk, takut, dan berharap kepada-Nya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar