Halaman

Minggu, 14 Desember 2025

Ketika Bacaan Al-Qur’an Mengangkat Kedudukan di Surga

Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama senantiasa menekankan pentingnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan. Banyak nasihat para salaf yang menjelaskan hubungan erat antara kualitas membaca Al-Qur’an dan kedudukan seseorang di akhirat. Di antara nasihat tersebut adalah perkataan ulama yang dikutip dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah mengenai tingkatan surga yang berbanding lurus dengan jumlah ayat Al-Qur’an. Nasihat ini kemudian diperjelas oleh Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, salah satu ulama besar Yaman, yang memberikan penekanan pada syarat penting agar seseorang benar-benar layak mencapai derajat tinggi melalui Al-Qur’an.

Perkataan ulama dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah menyebutkan bahwa “jumlah anak tangga di surga adalah sebanyak jumlah ayat Al-Qur’an”, dan setiap pembaca Al-Qur’an akan dinaikkan tingkatannya sesuai dengan ayat yang ia baca. Artinya, seseorang yang membaca Al-Qur’an secara lengkap memiliki peluang untuk mencapai kedudukan surga tertinggi. Gambaran ini bukan sekadar metafora, melainkan motivasi untuk menunjukkan bahwa setiap bacaan ayat membawa seseorang selangkah lebih dekat menuju kemuliaan akhirat. Hal ini sejalan dengan banyak hadis yang menyatakan bahwa pembaca Al-Qur’an akan dipanggil dan dikatakan kepadanya: "Bacalah dan naiklah!"

Namun, Imam al-Haddad memberi penegasan penting bahwa derajat yang tinggi itu hanya berlaku bagi orang yang membaca Al-Qur’an dengan baik dan mengamalkan kandungannya. Beliau menolak anggapan bahwa sekadar membaca, tanpa ketelitian maupun pengamalan, sudah cukup untuk meraih kedudukan agung di surga. Menurut Imam al-Haddad, bacaan yang baik mencakup tajwid yang benar, adab ketika membaca, serta menghadirkan kekhusyukan hati. Sementara itu, pengamalan mencakup menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman akhlak, hukum, dan jalan hidup sehari-hari. Dengan demikian, hakikat kemuliaan itu muncul dari perpaduan antara bacaan yang benar dan amal perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Allah.

Imam al-Haddad juga menegaskan bahwa pembaca yang berbuat salah dan lalai tidak termasuk dalam kategori yang dijanjikan derajat tinggi. Maksud “berbuat salah” di sini bukanlah kesalahan kecil yang manusiawi, tetapi sikap yang meremehkan Al-Qur’an: membaca tanpa mempedulikan makna, tidak berusaha memperbaiki bacaan, apalagi mengabaikan perintah dan larangan yang terdapat dalam ayat-ayatnya. Sementara “lalai” berarti membaca dengan hati kosong, tanpa kesadaran, dan tanpa upaya menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya kehidupan. Orang-orang seperti ini tidak berada pada jalan agung yang dimaksudkan oleh para ulama, karena tujuan utama membaca Al-Qur’an adalah transformasi diri, bukan sekadar meraih predikat sebagai pembaca.

Dengan demikian, perkataan para ulama dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah dan penjelasan Imam al-Haddad menjadi pengingat penting bahwa kemuliaan derajat surga bukan sekadar hadiah bagi suara yang melafalkan ayat, tetapi anugerah untuk hati yang tunduk dan amal yang taat. Setiap ayat yang dibaca hendaknya menjadi pijakan menuju akhlak yang lebih baik, ibadah yang lebih sempurna, dan kehidupan yang lebih dekat kepada Allah. Maka, siapa pun yang membaca Al-Qur’an dengan kesungguhan dan mengamalkan ajarannya sesungguhnya sedang menapaki anak tangga surga sejak di dunia ini. Inilah hakikat yang ingin ditegaskan oleh para ulama: bacalah Al-Qur’an, tapi bacalah dengan hati yang hidup dan amal yang mengikuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Bacaan Al-Qur’an Mengangkat Kedudukan di Surga

Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama senantiasa menekankan pentingnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoma...