Dalam tradisi keilmuan Islam,
para ulama senantiasa menekankan pentingnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai
bacaan, tetapi juga sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan. Banyak nasihat
para salaf yang menjelaskan hubungan erat antara kualitas membaca Al-Qur’an dan
kedudukan seseorang di akhirat. Di antara nasihat tersebut adalah perkataan
ulama yang dikutip dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah mengenai tingkatan
surga yang berbanding lurus dengan jumlah ayat Al-Qur’an. Nasihat ini kemudian
diperjelas oleh Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, salah satu ulama besar
Yaman, yang memberikan penekanan pada syarat penting agar seseorang benar-benar
layak mencapai derajat tinggi melalui Al-Qur’an.
Perkataan ulama dalam kitab Al-Nashâih
al-Dîniyyah menyebutkan bahwa “jumlah anak tangga di surga adalah sebanyak
jumlah ayat Al-Qur’an”, dan setiap pembaca Al-Qur’an akan dinaikkan
tingkatannya sesuai dengan ayat yang ia baca. Artinya, seseorang yang membaca
Al-Qur’an secara lengkap memiliki peluang untuk mencapai kedudukan surga
tertinggi. Gambaran ini bukan sekadar metafora, melainkan motivasi untuk
menunjukkan bahwa setiap bacaan ayat membawa seseorang selangkah lebih dekat
menuju kemuliaan akhirat. Hal ini sejalan dengan banyak hadis yang menyatakan
bahwa pembaca Al-Qur’an akan dipanggil dan dikatakan kepadanya: "Bacalah
dan naiklah!"
Namun, Imam al-Haddad memberi
penegasan penting bahwa derajat yang tinggi itu hanya berlaku bagi orang yang
membaca Al-Qur’an dengan baik dan mengamalkan kandungannya. Beliau menolak
anggapan bahwa sekadar membaca, tanpa ketelitian maupun pengamalan, sudah cukup
untuk meraih kedudukan agung di surga. Menurut Imam al-Haddad, bacaan yang baik
mencakup tajwid yang benar, adab ketika membaca, serta menghadirkan kekhusyukan
hati. Sementara itu, pengamalan mencakup menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman
akhlak, hukum, dan jalan hidup sehari-hari. Dengan demikian, hakikat kemuliaan
itu muncul dari perpaduan antara bacaan yang benar dan amal perbuatan yang
sesuai dengan petunjuk Allah.
Imam al-Haddad juga menegaskan bahwa pembaca yang berbuat salah dan lalai tidak termasuk dalam kategori yang dijanjikan derajat tinggi. Maksud “berbuat salah” di sini bukanlah kesalahan kecil yang manusiawi, tetapi sikap yang meremehkan Al-Qur’an: membaca tanpa mempedulikan makna, tidak berusaha memperbaiki bacaan, apalagi mengabaikan perintah dan larangan yang terdapat dalam ayat-ayatnya. Sementara “lalai” berarti membaca dengan hati kosong, tanpa kesadaran, dan tanpa upaya menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya kehidupan. Orang-orang seperti ini tidak berada pada jalan agung yang dimaksudkan oleh para ulama, karena tujuan utama membaca Al-Qur’an adalah transformasi diri, bukan sekadar meraih predikat sebagai pembaca.
Dengan demikian, perkataan para ulama dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah dan penjelasan Imam al-Haddad menjadi pengingat penting bahwa kemuliaan derajat surga bukan sekadar hadiah bagi suara yang melafalkan ayat, tetapi anugerah untuk hati yang tunduk dan amal yang taat. Setiap ayat yang dibaca hendaknya menjadi pijakan menuju akhlak yang lebih baik, ibadah yang lebih sempurna, dan kehidupan yang lebih dekat kepada Allah. Maka, siapa pun yang membaca Al-Qur’an dengan kesungguhan dan mengamalkan ajarannya sesungguhnya sedang menapaki anak tangga surga sejak di dunia ini. Inilah hakikat yang ingin ditegaskan oleh para ulama: bacalah Al-Qur’an, tapi bacalah dengan hati yang hidup dan amal yang mengikuti.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar