Dalam tradisi tasawuf, para
sufi tidak hanya menekankan aspek lahiriah peribadatan, tetapi juga kedalaman
batin berupa penyucian akhlak dan pengendalian jiwa. Banyak kalam hikmah para
tokoh sufi klasik menegaskan bahwa kemuliaan seorang hamba tidak diukur dari
kemampuan supranatural atau hal-hal luar biasa, tetapi dari sejauh mana ia
mampu memperbaiki diri. Di antara ungkapan yang sangat berpengaruh adalah
hikmah Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi agung abad ke-3 H. Beliau
berkata: “Sebesar-besarnya karamah adalah ketika engkau mampu merubah akhlak
yang jelek dari akhlak-akhlakmu.” Kalimat ini menjadi penegasan bahwa
perjalanan spiritual sejati tidak terletak pada fenomena ajaib, tetapi pada
transformasi batin yang mendalam.
Sahl al-Tusturi ingin
menegaskan bahwa karamah yang sesungguhnya bersifat internal, bukan eksternal.
Dalam pandangan banyak orang awam, karamah sering dipahami sebagai kemampuan
melakukan sesuatu yang luar biasa seperti mengetahui hal gaib atau melakukan
tindakan di luar nalar. Namun menurut para sufi, hal-hal semacam itu tidak
menjadi tolok ukur kedekatan seseorang dengan Allah. Justru, perubahan akhlak
adalah keajaiban terbesar karena ia menuntut perjuangan melawan hawa nafsu,
konsistensi dalam mujahadah, serta kesadaran spiritual yang tinggi. Mengubah
sifat buruk menjadi baik adalah tanda kemenangan seseorang atas dirinya
sendiri, dan itu jauh lebih mulia daripada fenomena fisik yang mengundang
kekaguman.
Ungkapan ini juga menunjukkan
bahwa akhlak merupakan cermin hakikat spiritual seseorang. Seseorang yang
mendapatkan kemuliaan batin dari Allah akan tampak pada kemuliaan perangainya,
bukan pada keanehan atau kekuatan supernatural. Sahl al-Tusturi menyadarkan
bahwa perbaikan akhlak membutuhkan usaha yang tidak pernah berhenti, seperti
mengendalikan amarah, menahan ego, melatih kesabaran, dan menjauhi kesombongan.
Semua itu adalah medan jihad terbesar seorang hamba. Bila seseorang mampu
menaklukkan dirinya, maka ia telah meraih apa yang oleh para sufi dianggap
sebagai karamah yang paling tinggi nilainya.
Selain itu, hikmah ini sekaligus menjadi kritik halus terhadap mereka yang berambisi mencari karamah dhahir. Sahl al-Tusturi menekankan bahwa tujuan perjalanan spiritual bukanlah meraih kemampuan luar biasa, tetapi kedekatan hati dengan Allah melalui adab dan akhlak yang luhur. Karamah eksternal bahkan bisa menjadi ujian atau sebab kelalaian bila seseorang tidak matang secara akhlak. Sementara perubahan moral yang mendalam pasti membawa manfaat nyata: memperbaiki hubungan dengan sesama, menenangkan jiwa, dan memantapkan ketakwaan. Karena itu, transformasi akhlak bukan hanya karamah, tetapi juga bukti nyata kedewasaan spiritual.
Akhirnya, kalam hikmah Sahl bin Abdullah al-Tusturi mengajarkan bahwa jalan para wali dan orang-orang saleh adalah jalan pembinaan diri. Tidak ada karamah yang lebih sulit daripada memperbaiki kebiasaan buruk, menata hati, dan menjaga perilaku dari segala bentuk kejelekan. Apa yang tampak kecil di mata manusia—seperti sabar, jujur, rendah hati, dan menahan diri dari maksiat—hakikatnya sangat besar di sisi Allah. Oleh karena itu, siapa pun yang sungguh-sungguh berusaha memperbaiki akhlaknya telah memasuki wilayah karamah yang paling agung. Hikmah ini menjadi pedoman abadi bahwa perubahan batin adalah mukjizat yang dapat dicapai oleh setiap hamba yang bersungguh-sungguh.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar