Halaman

Jumat, 12 Desember 2025

Ketika Akhlak Menjadi Karamah Terindah

Dalam tradisi tasawuf, para sufi tidak hanya menekankan aspek lahiriah peribadatan, tetapi juga kedalaman batin berupa penyucian akhlak dan pengendalian jiwa. Banyak kalam hikmah para tokoh sufi klasik menegaskan bahwa kemuliaan seorang hamba tidak diukur dari kemampuan supranatural atau hal-hal luar biasa, tetapi dari sejauh mana ia mampu memperbaiki diri. Di antara ungkapan yang sangat berpengaruh adalah hikmah Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi agung abad ke-3 H. Beliau berkata: “Sebesar-besarnya karamah adalah ketika engkau mampu merubah akhlak yang jelek dari akhlak-akhlakmu.” Kalimat ini menjadi penegasan bahwa perjalanan spiritual sejati tidak terletak pada fenomena ajaib, tetapi pada transformasi batin yang mendalam.

Sahl al-Tusturi ingin menegaskan bahwa karamah yang sesungguhnya bersifat internal, bukan eksternal. Dalam pandangan banyak orang awam, karamah sering dipahami sebagai kemampuan melakukan sesuatu yang luar biasa seperti mengetahui hal gaib atau melakukan tindakan di luar nalar. Namun menurut para sufi, hal-hal semacam itu tidak menjadi tolok ukur kedekatan seseorang dengan Allah. Justru, perubahan akhlak adalah keajaiban terbesar karena ia menuntut perjuangan melawan hawa nafsu, konsistensi dalam mujahadah, serta kesadaran spiritual yang tinggi. Mengubah sifat buruk menjadi baik adalah tanda kemenangan seseorang atas dirinya sendiri, dan itu jauh lebih mulia daripada fenomena fisik yang mengundang kekaguman.

Ungkapan ini juga menunjukkan bahwa akhlak merupakan cermin hakikat spiritual seseorang. Seseorang yang mendapatkan kemuliaan batin dari Allah akan tampak pada kemuliaan perangainya, bukan pada keanehan atau kekuatan supernatural. Sahl al-Tusturi menyadarkan bahwa perbaikan akhlak membutuhkan usaha yang tidak pernah berhenti, seperti mengendalikan amarah, menahan ego, melatih kesabaran, dan menjauhi kesombongan. Semua itu adalah medan jihad terbesar seorang hamba. Bila seseorang mampu menaklukkan dirinya, maka ia telah meraih apa yang oleh para sufi dianggap sebagai karamah yang paling tinggi nilainya.

Selain itu, hikmah ini sekaligus menjadi kritik halus terhadap mereka yang berambisi mencari karamah dhahir. Sahl al-Tusturi menekankan bahwa tujuan perjalanan spiritual bukanlah meraih kemampuan luar biasa, tetapi kedekatan hati dengan Allah melalui adab dan akhlak yang luhur. Karamah eksternal bahkan bisa menjadi ujian atau sebab kelalaian bila seseorang tidak matang secara akhlak. Sementara perubahan moral yang mendalam pasti membawa manfaat nyata: memperbaiki hubungan dengan sesama, menenangkan jiwa, dan memantapkan ketakwaan. Karena itu, transformasi akhlak bukan hanya karamah, tetapi juga bukti nyata kedewasaan spiritual.

Akhirnya, kalam hikmah Sahl bin Abdullah al-Tusturi mengajarkan bahwa jalan para wali dan orang-orang saleh adalah jalan pembinaan diri. Tidak ada karamah yang lebih sulit daripada memperbaiki kebiasaan buruk, menata hati, dan menjaga perilaku dari segala bentuk kejelekan. Apa yang tampak kecil di mata manusia—seperti sabar, jujur, rendah hati, dan menahan diri dari maksiat—hakikatnya sangat besar di sisi Allah. Oleh karena itu, siapa pun yang sungguh-sungguh berusaha memperbaiki akhlaknya telah memasuki wilayah karamah yang paling agung. Hikmah ini menjadi pedoman abadi bahwa perubahan batin adalah mukjizat yang dapat dicapai oleh setiap hamba yang bersungguh-sungguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika Bacaan Al-Qur’an Mengangkat Kedudukan di Surga

Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama senantiasa menekankan pentingnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoma...