Rabu, 08 Maret 2023

DEFINISI HADIS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR SERTA FUNGSINYA

A.  Hadis

Hadis merupakan peninggalan yang berharga dari Rasulullah SAW. Pernyataan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muwatta’ Malik:

مَالِكٌ بْنُ أَنَسٍ -رَحِمَهُ اللهُ-: بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ، وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ" (أَخْرَجَهُ الْمُوَطَّأُ).

“Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ‘Saya meninggalkan kalian dua hal, yang jika dijadikan pegangan tidak akan tersesat, kedua hal itu adalah al-Qur’an dan sunnah (hadis).”

Dari hadis di atas, ulama menjadikan hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an dalam berbagai bidang termasuk hukum Islam maupun yang lainnya. Dalam arti luas hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. Karena itulah segala sesuatu ajaran Islam harus sesuai dengan yang ada dalam al-Qur’an dan hadis.

Secara etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti pembicaraan. Kata hadis mempunyai beberapa arti yaitu:

1.  “Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata “qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud qadim adalah kitab Allah, sedangkan yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi Muhammad SAW.

2.    “Qarib”, yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama.

3. “Khabar”, yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan أَخْبَرَنَا، حَدَّثَنَا، وَأَنْبَأَنَا (mengabarkan kepada kami, memberitahu kepada kami, dan menceritakan kepada kami). Makna terakhir inilah yang populer dalam ilmu hadis.

Sedangkan pengertian hadis secara terminologi, maka terjadi perbedaan antara pendapat ahli hadis dengan ahli ushul. Ulama ahli hadis ada yang memberikan pengertian hadis secara terbatas (sempit) dan ada yang memberikan pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas di antaranya sebagaimana yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah:

مَا أُضِيْفَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ

“Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat.”

        Ulama hadis yang lain memberikan pengertian hadis sebagai berikut:

أَقْوَالُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالُهُ وَأَحْوَالُهُ

“.Segala ucapan Nabi SAW, perbuatan, dan keadaannya (hal ihwal)”

Ulama hadis menerangkan bahwa yang termasuk “hal ihwal” di sini adalah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaannya.

Adapun pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian ulama seperti Ath-Thiby berpendapat bahwa hadis itu tidak hanya meliputi sabda Nabi, perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’), juga meliputi sabda, perbuatan, dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta tabi’in (hadis maqthu’).

Ulama ushul fikih mendefinisikan hadis sebagai berikut:

أَقْوَالُهُ وَأَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ الَّتِي تَثْبُتُ الْأَحْكَامُ

“Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang dapat menjadi dalil untuk menetapkan hukum.

        Sedangkan hadis menurut ulama ahli fikih:

كُلُّ مَا ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ بَابِ الْفَرْضِ وَلَا الْوَاجِبِ

“Segala ketetapan yang berasal dari Nabi SAW, yang bukan hukum fardhu serta bukan wajib.”

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa hadis di dalamnya mencakup berbagai hal, yaitu:

a.   Perkataan, ialah segala ucapan Nabi SAW dalam berbagai segi. Misalnya, masalah hukum, akhlak, akidah, pendidikan, dan sebagainya. Masalah hukum, contoh dalam hadis:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنَّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . . . (متفق عليه)

."Sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya”    

b. Perbuatan Rasulullah SAW merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syara’ yang belum jelas cara mengerjakannya, seperti cara mengerjakan shalat, puasa, haji, dan sebagainya.

c.    Penetapan (Taqrir). Yang dimaksud adalah keadaan Rasulullah SAW mendiamkan, tak mengadakan sanggahan atau persetujuan atas perbuatan sahabat yang dilakukan di hadapan beliau. Contoh, dalam suatu undangan, Khalid bin Walid menyajikan daging binatang biawak Arab (dzab) dan Khalid mempersilahkan beliau SAW dan para undangan untuk menikmatinya.

d. Sifat-sifat, keadaan, dan hasrat Rasulullah SAW. Sifat-sifat Rasulullah yang termasuk unsur hadis antara lain: sifat-sifat Rasulullah SAW yang dijelaskan oleh para sahabat atau sejarahwan; Silsilah, nama-nama dan tahun kelahiran; Himmah (hasrat) yaitu keinginan Nabi SAW yang belum terealisasi, seperti puasa pada tanggal 9 di bulan Muharram, yang Nabi SAW sendiri belum pernah melakukannya.

Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa definisi hadis dapat bermacam-macam tergantung siapa yang memahaminya dan memberi pengertian. Bagi ahli hukum cenderung hanya membatasi konteks tertentu yang berimplikasi pada hukum, sementara ahli hadis memberikan pengertian yang lebih luas sebagaimana tergambar dari pengertian di atas.

B.  Sunnah

Di berbagai literatur dan di masyarakat keberadaan hadis sering diidentikkan dengan sunnah bahkan disamakan. Apakah sunnah identik dengan hadis atau tidak?

Sunnah secara etimologi (bahasa) berarti:

الطَّرِيْقَةُ مَحْمُوْدَةً كَانَتْ أَوْ مَذْمُوْمَةً

        “Jalan atau tradisi kebiasaan, baik terpuji atau tercela”

Secara etimologi, sunnah adalah jalan atau perikehidupan (السِّيْرَةُ), tabiat (الطَّبِيْعَةُ), dan syariat (الشَّرِيْعَةُ), sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan dinamakan sunnah walaupun tidak baik. Oleh karenanya, jika suatu tradisi masa Nabi SAW bersumber dari kenabian maka akan menjadi sunnah, dan jika hanya dikemukakan sekali atau beberapa kali dan tidak mentradisi maka bukan disebut sebagai sunnah melainkan disebut dengan hadis.

Dalam makna sunnah secara umum ini, ada sabda Nabi Muhammad SAW:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa membuat sebuah sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan suatu sunnah yang buruk maka atasnya dosa dan dosa orang lain yang mengerjakannya hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Pengertian sunnah secara terminologi menjadi beragam di kalangan para pengkaji syariat, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadis, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu yang berbeda dengan istilah hadis.

Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadis) pengertiannya sama dengan pengertian hadis, yaitu:

كُلُّ مَا أُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْ خُلُقِيَّةٍ أَوْ سِيْرَةٍ سَوَاءٌ أَكَانَ ذٰلِكَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ أَمْ بَعْدَهَا

“Segala yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, hal ihwal, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW diutus menjadi Rasul maupun sesudahnya.”

Ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, karena mereka memandang diri Rasulullah SAW sebagai uswah hasanah (suri teladan yang paling sempurna), bukan sebagai sumber hukum. Kapasitas beliau sebagai imam yang memberi petunjuk dan penuntun yang memberikan nasihat yang diberitakan oleh Allah serta sebagai teladan dan figur bagi kita. Hal ini didasarkan pada firman Allah pada surat Al-Ahzab ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”

Ulama hadis membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW, baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum syariat Islam maupun tidak. Oleh karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasulullah SAW tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul atau sesudahnya.

Sementara itu ulama ushul fikih memberikan definisi sunnah berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ulama hadis. Pengertian sunnah menurut ulama ushul fikih adalah:

كُلُّ مَا صَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلًا لِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ

“Segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara’.”

Ulama ushul fikih memberikan pengertian sunnah sebagaimana diuraikan di atas, dikarenakan ulama ushul fikih membahas segala sesuatu dari Rasulullah SAW dalam kapasitas beliau sebagai penjelas undang-undang kehidupan dan peletak kaidah-kaidah bagi para mujtahid sepeninggal beliau. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

“Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul maka jauhilah.”

Ulama fikih memandang sunnah ialah “Perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardhu. Atau dengan kata lain sunnah yang merupakan antonim dari wajib adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan.” Mereka membahas segala sesuatu dari Nabi SAW yang menunjukkan ketentuan syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia baik dari segi wajib, mubah, atau yang lain.

Menurut para ulama sunnah adalah lawan dari bid’ah. Bid’ah menurut bahasa memiliki beberapa makna, yaitu: penemuan terbaru, sesuatu yang sangat indah, dan lelah. Sedang menurut pengertian agama bid’ah adalah apapun yang terjadi setelah Rasulullah SAW wafat berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syara’ yang jelas.

Menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib, bila kata sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksud adalah al-Qur’an dan Hadis.

Menurut Dr. Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutub al-Anbiya’ menerangkan bahwa sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktikkan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya. Sedangkan hadis ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.

Perbedaan hadis dan sunnah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi SAW walaupun baru satu kali dikerjakan bahkan masih berupa azam menurut sebagian ulama disebut hadis bukan sunnah. Sunnah harus sudah berulang kali atau menjadi kebiasaan yang telah dilakukan Rasulullah SAW. Perbedaan lain, hadis menurut sebagian ulama ushul fikih identik dengan sunnah qauliyah saja, karena melihat hadis hanya berbentuk perkataan, sedangkan sunnah berbentuk tindakan atau perbuatan yang telah mentradisi.

C.  Khabar

Khabar menurut bahasa adalah warta berita yang disampaikan dari seseorang, jamaknya “Akhbar”. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadis sama artinya dengan khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqthu’.

Sebagian ulama mengatakan hadis adalah apa yang datang dari Nabi SAW. Sedangkan khabar adalah apa yang datang dari selain Nabi SAW. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadis lebih umum dari khabar. Oleh karena itu orang yang sibuk dengan sunnah disebut “Muhaddits”, sedangkan yang sibuk dengan sejarah dan sejenisnya disebut “Akhbariy”.

Dikatakan bahwa antara hadis dan khabar terdapat makna umum dan khusus yang mutlak. Jadi setiap hadis adalah khabar tetapi tidak sebaliknya.

D.  Atsar

Atsar menurut bahasa adalah “bekas sesuatu atau sisa sesuatu” berarti nukilan. Sedangkan menurut istilah jumhur ulama artinya sama dengan khabar dan hadis. Para ahli fikih memakai perkataan atsar untuk perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in, dan lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih umum daripada khabar. Imam Nawawi menerangkan bahwa para ahli fikih Khurasan menamai perkataan sahabat (mauquf) dengan atsar dan menamai hadis Nabi (marfu’) dengan khabar.

E.  Fungsi Hadis

Ada tiga fungsi hadis terhadap al-Qur’an, yaitu:

1.  Berfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an. Maka dalam hal ini keduanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Misalnya, Allah di dalam al-Qur’an memerintahkan agar ditegakkan shalat, bayar zakat, puasa dan haji, maka Rasulullah SAW dalam hadisnya memperkuat kewajiban tersebut dengan mengatakan bahwa “Islam ditegakkan atas lima dasar, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji”.

2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal (global), memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum. Misalnya, perintah mengerjakan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah raka’at dan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat, tidak diatur detail nisab-nisab zakat dan tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Kemudian Nabi Muhammad SAW melalui hadis-hadisnya mengatur secara terperinci dan sejelas-jelasnya.

3.  Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam al-Qur’an. Di dalam hal ini hukum-hukum atau aturan-aturan itu hanya berasaskan hadis semata-mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang wanita dengan bibinya, seperti disabdakan, “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan saudari bapaknya dan seorang wanita dengan saudari ibunya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kedudukan hadis dalam menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an di atas menunjukkan bahwa hadis merupakan sumber hukum Islam. Hukum yang merupakan produk hadis/sunnah yang tidak ditunjukkan oleh al-Qur’an banyak sekali. Seperti larangan Rasulullah SAW terhadap laki-laki dalam memakai sutra dan emas:

حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيْرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ

“Telah diharamkan memakai sutra dan emas pada orang laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi orang-orang perempuan”

Demikian pula keharaman memakan burung yang berkuku tajam, hewan bertaring, dan lain sebagainya, menunjukkan bahwa hadis Nabi SAW juga merupakan sumber hukum Islam setelah al-Qur’an. Dr. Yusuf al-Qardhawi menjelaskan bahwa “hadis menjadi rujukan hukum yang tiada pernah habis-habisnya pada pembahasan fikih”.

Sumber Bacaan:

Alamsyah. 2015. Ilmu-Ilmu Hadis (Ulum al-Hadis), CV. Anugrah Utama Raharja (AURA).

Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. 1997. As-Sunnah Qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr.

_______________________. 2007. Ushul al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu; Pokok-Pokok Ilmu Hadis (Terjemah: M. Nur Ahmad Musafiq), Jakarta: Gaya Media Pratama.

Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Pengantar Studi Hadis, Bandung: Pustaka Setia.

Al-Siba’i, Mustafa. 1949. As-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri’, Kairo: Dar al-Qaumiyah.

As-Shidiqy, Hasby. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang.

Bahreisy, Salim. 1987. Terjemah Riyadhus-Shalihin Juz II, Bandung: Al-Ma’arif.

Hamadah, Abbas Mutawali. Tanpa Tahun. As-Sunnah an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-Tasyri’, Kairo: Dar al-Qauniyah.

Hanafi, Ahmad. 1989. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Marhumah. 2014. Ulumul Hadis: Konsep, Urgensi, Objek Kajian, Metode dan Contoh, Cetakan Pertama, Yogyakarta: SUKA-Press.

Rofiah, Khusniati. 2018. Studi Ilmu Hadits, Cetakan II, Ponorogo: IAIN PO Press.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaknai Filosofi Haul ke-4 Guru Mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho

  Ada empat poin penting dalam memaknai filosofi logo peringatan haul ke-4 guru mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho yaitu angka 4, kubah, p...