Kamis, 08 Februari 2024

Memaknai Filosofi Haul ke-4 Guru Mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho

 

Ada empat poin penting dalam memaknai filosofi logo peringatan haul ke-4 guru mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho yaitu angka 4, kubah, pena, dan warna biru. Poin-poin penting dalam nilai-nilai filosofis tersebut diharapkan bisa menjadi pedoman dan motivasi dalam menjalani kehidupan.

Filosofi Angka 4

Hari ini Kamis, 8 Februari 2024 M/27 Rajab 1445 H, ketika embun pagi menyirami bumi, kita memperingati haul ke-4 wafatnya guru mulia, KH. M. Basori Alwi Murtadho. Seperti bintang yang bersinar di langit malam, KH. M. Basori Alwi Murtadho meninggalkan jejak-jejak cahaya kebenaran yang tak terpadamkan. Seperti dedaunan yang gugur dan menjadi tanah subur, kepergian beliau mengajarkan bahwa kehidupan hakiki terletak pada kebajikan dan pemberian tanpa pamrih. Beliau adalah sosok yang mencerminkan keindahan ketulusan dan kerendahan hati.

Sebagaimana air yang mengalir dalam sungai kehidupan, KH. M. Basori Alwi Murtadho mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan kearifan bukanlah milik segelintir orang, melainkan harta yang harus disebarkan kepada seluruh umat manusia utamanya melalui mengajar, sebagaimana yang sering beliau sampaikan berulang-ulang kepada para santri “لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْعِلْمِ التَّعْلِيْمُ” (Segala sesuatu ada zakatnya, dan zakatnya ilmu adalah mengajar). Haul ke-4 adalah momentum untuk mengenang dan merenung, sekaligus menggugah semangat untuk meneruskan perjuangan kebaikan yang telah dilakukan oleh beliau.

Melalui peringatan haul ke-4 ini, kita diundang untuk menyalakan lilin-lilin kebaikan dalam diri, sebagaimana KH. M. Basori Alwi Murtadho telah melakukannya selama hidupnya. Seperti matahari yang terus bersinar meski tak terlihat, KH. M. Basori Alwi Murtadho hadir dalam kehidupan kita melalui warisan nilai-nilai luhur yang telah beliau persembahkan. Di setiap langkah, kita dapat merasakan kehadiran beliau yang mengajak kita menuju kejernihan hati dan kedamaian batin. Filosofi haul ke-4 dari wafatnya guru mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho membawa kita kepada kesadaran akan keindahan perjalanan rohaniah. Seperti pepohonan yang merentangkan dedaunan di langit, beliau memberikan bayangan kedamaian dan keteduhan bagi setiap insan yang berjalan di bawah naungan ajaran dan petunjuk yang beliau tinggalkan.

Filosofi Kubah

Kubah masjid memiliki makna spiritual tersendiri di mana diasosiasikan sebagai tempat tinggi yang menyimbolkan keagungan dan kebijaksanaan ajaran Islam. Kubah, dengan bentuk melingkar dan arsitektur yang megah, mengandung makna mendalam yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan filosofis dalam agama Islam.

Kubah sebagai penutup atap masjid memiliki makna simbolis yang mendalam. Bentuk melingkar kubah melambangkan kesatuan dan keteguhan dalam kepercayaan kepada Allah. Bagai mahkota surgawi yang memayungi umat Islam, kubah menunjukkan keindahan dan kemuliaan dalam beribadah. Kubah bukan hanya sebagai elemen arsitektur, tetapi juga sebagai pintu gerbang spiritual menuju kesucian dan kedamaian batin. Warna-warna yang dipilih untuk menghiasi kubah, seperti biru langit atau emas yang bersinar, membawa pesan harmoni dan spiritualitas. Kubah menjadi cermin dari keelokan alam semesta ciptaan-Nya dan mengajarkan untuk memandang hidup ini sebagai perjalanan spiritual yang penuh warna.

Kubah yang menjulang tinggi seperti menara kemuliaan, mengajarkan kebesaran dan keagungan Islam sebagai agama yang mengajarkan kasih sayang, perdamaian, dan keadilan. Kubah menciptakan ruang suci yang memberikan kedamaian dan ketenangan bagi yang berada di dalamnya. Sebagaimana langit yang membentang luas, kubah mengajak umat Islam untuk melampaui batas-batas dunia fana dan mencari kedekatan dengan Sang Khalik. Kubah bukan hanya sebuah struktur fisik, tetapi kubah adalah simbol kesatuan umat dalam ikatan iman yang kuat. Melalui kubah, umat Islam diingatkan untuk senantiasa merawat dan memelihara ajaran Islam sebagai cahaya pencerahan dalam kehidupan sehari-hari.

Filosofi Pena

Di balik lembaran putih yang hening, pena menjadi alat yang mengukir ilmu, pengetahuan, kisah-kisah kebijaksanaan yang inspiratif, dan keindahan batin. Dalam tangan KH. M. Basori Alwi Murtadho, pena bukan sekadar instrumen menulis, melainkan pencerminan dari jiwa yang penuh hikmah dan cinta ilmu. Setiap goresan pena beliau adalah sebuah perjalanan spiritual yang melibatkan hati dan pikiran.

Pena, sebagai alat yang menyatu dengan jari-jari beliau, menciptakan tulisan-tulisan indah dan bernas yang melambangkan kedalaman ilmu dan kematangan profesional. Seperti tari pena di atas kertas, KH. M. Basori Alwi Murtadho menari dengan kata-kata yang sarat makna, membawa pembaca ke dalam aliran pemikiran yang mendalam dan merenung. Pena beliau bukan hanya menorehkan huruf-huruf, tetapi juga menyematkan nilai-nilai luhur yang membimbing umat.

Setiap goresan pena menjadi jejak kebijaksanaan dan keilmuan. Seperti aliran sungai yang membawa kehidupan, pena KH. M. Basori Alwi Murtadho mengalirkan ide-ide cemerlang dan pemikiran yang memancarkan sinar kebenaran. Pena menjadi sarana untuk menyampaikan dakwah dan pendidikan, menjadikannya sebagai penerang bagi yang haus akan ilmu dan kebijaksanaan. Cukuplah menjadi bukti ‘ketajaman pena’ beliau lahirnya karya-karya seperti Madarij al-Durus al-Arabiyah (4 jilid), mabadi’ ilm al-tajwid (pokok-pokok ilmu tajwid), kumpulan khutbah Jum’at, petunjuk singkat tentang qurban, risalah tentang tepat dan salah baca dalam al-Qur’an, bina ucap (makhraj dan sifat huruf serta hamzah washal dan qatha’), zikir ba’da shalat Jum’at, zakat dan penggunaannya, hukum talqin dan tahlil, tarawih dan dasar hukumnya, serta beberapa kitab dan risalah lainnya yang populer di kalangan pesantren dan warga NU.

Pena beliau, bagai pahatan seni di atas batu, menggambarkan keindahan dan kebesaran ajaran Islam. Dalam setiap coretan, terkandung nilai-nilai kesederhanaan, kerendahan hati, dan cinta kasih. Pena menjadi perantara antara pemikiran dan hati, menciptakan dunia kata-kata yang menggugah jiwa dan memberi inspirasi untuk mencari kebenaran.

Torehan pena KH. M. Basori Alwi Murtadho bukan sekadar tulisan, melainkan permata intelektualitas yang berserak di sepanjang jalan pemahaman agama dan kehidupan. Pena beliau adalah alat perjuangan untuk menyebarkan kebenaran dan membentuk karakter umat. Setiap kalimatnya seperti petunjuk jalan yang mengarahkan kepada kebahagiaan sejati dan keberhasilan di dunia dan akhirat. Pena KH. M. Basori Alwi Murtadho bukan hanya menghasilkan tulisan dan karya, tetapi juga menginspirasi generasi untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi kemajuan umat dan kehidupan bermasyarakat.

Filosofi Warna Biru

Warna biru dengan kelembutannya, mengajarkan para santri untuk menemukan ketenangan dalam hati mereka sebagaimana langit yang tenang di senja hari. Pesantren Ilmu Al-Qur'an bukan hanya tempat pembelajaran, tetapi juga medan spiritual yang merangkul para santri dalam suasana keteduhan. Warna biru pada ‘dinding-dinding pesantren’ adalah pengingat akan kedamaian batin yang dapat ditemukan melalui penghayatan al-Qur'an.

Setiap nuansa biru, seperti embun pagi yang menyejukkan, mengajak para santri untuk meresapi pesan-pesan al-Qur'an dengan hati yang lapang dan penuh kasih. Biru adalah warna yang menenangkan, dan demikian pula ajaran al-Qur'an yang mengajarkan ketakwaan, kebijaksanaan, kesabaran, dan lain sebagainya. Dalam suasana biru yang mendalam, para santri diajak untuk merenung dan menghayati ayat-ayat suci al-Qur'an dengan penuh kehormatan.

Warna biru sebagai karakteristik Pesantren Ilmu Al-Qur'an bukan hanya mencerminkan keteduhan, tetapi juga kesantunan. Biru adalah warna yang lembut namun penuh keagungan, sebagaimana kesantunan dalam beragama yang menjadi landasan ajaran Islam. Pesantren Ilmu Al-Qur'an mengajarkan para santri untuk menjaga adab dan sikap santun dalam setiap aspek kehidupan, mengikuti jejak baginda Rasulillah s.a.w. yang senantiasa memberikan contoh kesantunan dan keramahan.

Warna biru menggambarkan ketenangan dan mencerminkan kebersihan serta kejernihan hati. Sebagaimana air yang mengalir jernih di mata air, para santri diajarkan untuk menjaga kebersihan jiwa dan hati agar mampu meresapi ajaran al-Qur'an dengan lebih baik. Biru adalah panggilan untuk menjadikan hati yang bersih sebagai wadah yang menerima cahaya dan pesan ilahi. Dalam keindahan warna biru, Pesantren Ilmu Al-Qur'an mengajarkan tentang makna sejati dalam menjalani kehidupan dan meraih keberkahan dari Sang Pencipta.

Semoga dengan peringatan haul ke-4 guru mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho bisa menginspirasi kita untuk bisa menjadi pribadi yang bertakwa, semangat dalam berdakwah, dan produktif dalam berkarya guna menciptakan ‘jejak-jejak kehidupan’ sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Murabbi Arwahina KH. M. Basori Alwi Murtadho. Lahul fatihah...!

 

 

 

 

Senin, 25 September 2023

MUBTADA' DAN KHABAR

1.    Dalam bahasa Arab, kalimat (جُمْلَةٌ) terdiri dari tiga macam, yaitu:

a.    Jumlah ismiyah (جُمْلَةٌ اِسْمِيَّةٌ) adalah kalimat yang diawali oleh isim (kata benda). Setiap isim yang berada di awal kalimat tersebut dinamakan mubtada’, dan bagian yang melengkapinya dinamakan khabar yang mana hukumnya dalam i’rab harus mengikuti kepada mubtada’, contoh: الْبَيْتُ كَبِيْرٌ  (Rumah itu besar), الْجَامِعَةُ وَاسِعَةٌ  (Kampus itu luas).

b.    Jumlah fi’liyah (جُمْلَةٌ فِعْلِيَّةٌ) adalah kalimat yang diawali oleh fi’il (kata kerja). Adapun fi’il yang mengawalinya bisa berbentuk fi’il madhi, fi’il mudhari’, atau fi’il amr. Jumlah fi’liyah terdiri dari fi’il (kata kerja), fa’il (subjek), dan maf’ul bih (objek), tetapi terkadang juga hanya terdiri dari fi’il (kata kerja) dan fa’il (subjek) saja dan tidak membutuhkan maf’ul bih (objek), contoh: قَرَأَ عَلِيٌّ الْكِتَابَ  (Ali telah membaca kitab), يَتَعَلَّمُ الطَّالِبُ الْعَرَبِيَّةَ  (Mahasiswa itu sedang belajar bahasa Arab), dan اِقْرَأِ الْقُرْآنَ (Bacalah al-Qur’an).

c.    Jumlah zharfiyah (جُمْلَةٌ ظَرْفِيَّةٌ) adalah kalimat yang diawali dengan zharaf atau jar dan majrur. Kata yang terletak baik setelah zharaf atau jar harus majrur/kasrah. Kata yang terletak setelah zharaf disebut sebagai mudhaf ilaih, dan yang setelah jar disebut isim majrur, contoh: أَمَامَ الْجَامِعَةِ مُحَاضِرٌ  (Di depan kampus ada dosen), بَعْدَ الصَّلَاةِ دَرْسٌ  (Setelah shalat ada pelajaran), dan فِي الْبَيْتِ مُحَمَّدٌ  (Di rumah ada Muhammad).

2.    Mubtada’ secara bahasa artinya adalah “yang berada di awal”. Sedangkan secara istilah mubtada’ adalah setiap isim yang dirafa’kan yang terletak di awal kalimat.

3.    Jenis-jenis mubtada’:

الضَّمِيْرُ

Kata ganti

اِسْمٌ مُعَرَّفٌ بــِ "اَلْ"

Isim yang berkata sandang "اَلْ"

اِسْمٌ غَيْرُ مُعَرَّفٍ بــِ "اَلْ"

Isim yang tanpa kata sandang "اَلْ"

أَنْتَ مُعَلِّمٌ

Kamu (laki-laki) seorang guru

الطَّالِبُ حَاضِرٌ

Mahasiswa itu hadir

مُحَمَّدٌ رَسُوْلٌ

Muhammad seorang rasul

 هِيَ طَبِيْبَةٌ

Dia (perempuan) seorang dokter

الطَّالِبَةُ حَاضِرَةٌ

Mahasiswi itu hadir

فَاطِمَةُ أُسْتَاذَةٌ

Fatimah seorang guru

الْإِضَافَةُ

Penyandaran

النَّعْتُ وَالْمَنْعُوْتُ

Shifat dan yang disifati

اِسْمُ الْإِشَارَةِ وَالْمُشَارُ إِلَيْهِ

Kata penunjuk dan kata yang ditunjuk

بَيْتُ اْلأُسْتَاذِ جَدِيْدٌ

Rumah pak guru itu baru

الْبَيْتُ الْكَبِيْرُ جَمِيْلٌ

Rumah yang besar itu bagus

هٰذَا قَلَمٌ جَدِيْدٌ

Ini sebuah pena yang baru

دَرَّاجَتُكَ جَدِيْدَةٌ

Sepedamu (laki-laki) baru

الْجَامِعَةُ لْكَبِيْرَةُ جَمِيْلَةٌ

Kampus yang besar itu bagus

هٰذِهِ مِسْطَرَةٌ جَدِيْدَةٌ

Ini sebuah penggaris yang baru

4. Sedangkan khabar adalah isim yang dirafa’kan yang disandarkan kepada mubtada’ (menyempurnakan makna mubtada’), contoh: أَنَا طَالِبٌ  (Saya seorang mahasiswa), أَحْمَدُ عَالِمٌ  (Ahmad seorang yang berilmu), الْمُعَلِّمَانِ حَاضِرَانِ  (Dua guru laki-laki itu hadir),هُنَّ مُحَاضِرَاتٌ (Mereka adalah para dosen perempuan), أَنْتُمْ مُحَاضِرُوْنَ  (Kalian adalah para dosen laki-laki).

5.    Antara mubtada’ dan khabar harus sesuai di dalam hal-hal sebagai berikut:

a.    Di dalam mufradnya, contoh: زَيْدٌ أُسْتَاذٌ  (Zaid seorang guru).

b.    Di dalam tasniyahnya, contoh: الزَّيْدَانِ أُسْتَاذَانِ  (Dua Zaid itu adalah guru).

c.    Di dalam jamaknya, contoh: الزَّيْدُوْنَ أَسَاتِيْذُ  (Zaid-Zaid itu adalah para guru).

d.   Di dalam mudzakkar dan muannatsnya, contoh: الْمَسْجِدُ كَبِيْرٌ  (Masjid itu besar), dan الْجَامِعَةُ كَبِيْرَةٌ  (Kampus itu besar).

6.    Khabar terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

a.    Khabar mufrad, contoh: زَيْدٌ حَاضِرٌ  (Zaid hadir), الطَّالِبَانِ حَاضِرَانِ  (Dua mahasiswa hadir), dan الْمُعَلِّمُوْنَ حَاضِرُوْنَ  (Para guru laki-laki hadir).

b.    Khabar ghair mufrad yaitu khabar yang terdiri dari jumlah (الْجُمْلَةُ) atau serupa jumlah (شِبْهُ الْجُمْلَةِ).

Yang dimaksud dengan jumlah (الْجُمْلَةُ) ada dua macam:

ü Jumlah ismiyah, contoh: أَحْمَدُ أُسْتَاذُهُ عَالِمٌ  (Ahmad gurunya seorang yang ‘alim), عَائِشَةُ بَيْتُهَا كَبِيْرٌ  (Aisyah rumahnya besar).

üJumlah fi’liyah, contoh: زَيْدٌ قَامَ أَبُوْهُ  (Zaid ayahnya berdiri), مَرْيَمُ تَقْرَأُ الْقُرْآنَ  (Maryam membaca al-Qur’an).

Yang dimaksud dengan serupa jumlah (شِبْهُ الْجُمْلَةِ) ada dua macam:

ü Yang terdiri dari jar dan majrur, contoh: الطُّلَّابُ فِي الْفَصْلِ  (Para mahasiswa di kelas), الْقَلَمُ عَلَى الدَّفْتَرِ  (Pena itu di atas buku tulis).

ü Yang terdiri dari zharaf (baik zharaf makan/keterangan tempat, contoh: الطَّالِبُ أَمَامَ الْجَامِعَةِ  (Mahasiswa itu di depan kampus), atau zharaf zaman/keterangan waktu, contoh: السَّفَرُ يَوْمَ غَدٍ  (Bepergian esok hari).  

7.    Khabar boleh diletakkan di depan mubtada’ jika:

a.    Makna khabar (isi berita) hendak dikedepankan, contoh: مَمْنُوْعٌ التَّدْخِيْنُ(Dilarang merokok). Kata مَمْنُوْعٌ  berkedudukan sebagai khabar muqaddam (khabar yang didahulukan), berstatus marfu dengan dhammah, dan kata التَّدْخِيْنُ  berkedudukan sebagai mubtada’ muakhkhar (mubtada’ yang diakhirkan) dan marfu dengan dhammah.

b.    Mubtada’ dan khabar didahului huruf nafy atau huruf istifham. Dan pada saat yang sama, khabar tersebut berupa sifat, contoh: أَقَائِمٌ أَنْتَ؟  (Apakah kamu orang yang berdiri?). Kata أ  huruf istifham, قَائِمٌ  khabar muqaddam dan marfu dengan dhammah, sedangkan kata أَنْتَ  mubtada’ muakhkhar dan marfu dengan dhammah.

c.   Khabar berupa syibhul jumlah dan mubtada’ berupa isim ma’rifat, contoh: فِي التَّأَنِّي السَّلاَمَةُ (Di dalam kehati-hatian terdapat keselamatan). Kata فِي التَّأَنِّي  jar dan isim majrur sebagai khabar muqaddam, sedangkan kata السَّلاَمَةُ  mubtada’ muakhkhar dan marfu dengan dhammah. Contoh lain أَمَامَ الْفَصْلِ الطَّالِبُ  (Di depan kelas ada mahasiswa). Kata أَمَامَ الْفَصْلِ  zharaf dan sebagai khabar muqaddam, sedangkan الطَّالِبُ  mubtada’ muakhkhar dan marfu dengan dhammah.

8.    Khabar wajib diletakkan di depan mubtada’ jika:

a.  Khabar berupa syibhul jumlah dan mubtada’ berupa isim nakirah yang bukan maushuf atau mudhaf, contoh: فِي بَيْتِنَا رَجُلٌ (Di rumah kami ada seorang laki-laki). Kata فِي بَيْتِنَا  jar dan isim majrur menjadi khabar muqaddam, sedangkan kata رَجُلٌ  mubtada’ muakhkhar dan berstatus marfudengan dhammah. Contoh lain عِنْدِي بَيْتٌ  (Saya mempunyai sebuah rumah). Kata عِنْدِي  syibhul jumlah menjadi khabar muqaddam, sedangkan kata بَيْتٌ  mubtada’ muakhkhar dan berstatus marfu dengan dhammah

b.   Khabar berupa kata yang harus berada di permulaan kalimat, seperti isim istifham, contoh: مَتَى الاِخْتِبَارُ؟  (Kapan ujian?). Kata مَتَى  isim istifham dan sebagai khabar muqaddam, sedangkan kata الاِخْتِبَارُ  mubtada’ muakhkhar dan marfu dengan dhammah.

c.   Mubtada’ disambung dengan isim dhamir yang kembali kepada khabar, contoh: لِلْبَيْتِ أَقْسَامُهُ  (Rumah mempunyai bagian-bagiannya sendiri). Kata لِلْبَيْتِ  jar dan isim majrur menjadi khabar muqaddam, adapun kata أَقْسَامُ  adalah mubtada’ muakhkhar dan berstatus marfu dengan dhammah, sedangkan kata هُ  adalah dhamir muttashil (yang disambung) dengan mubtada’ dan kembali kepada khabar yaitu الْبَيْت.

9.  Apabila mubtada’nya berupa jamak mudzakkar atau taksir menunjukkan yang berakal (manusia), maka khabarnya harus berbentuk jamak, contoh: الْمُسْلِمُوْنَ صَائِمُوْنَ  (Orang-orang Islam itu berpuasa), الطُّلَّابُ أَذْكِيَاءُ  (Para mahasiswa itu cerdas-cerdas).

10.  Apabila mubtada’nya berupa jamak muannats menunjukkan yang berakal maka khabarnya pun harus jamak muannats yang berakal juga, contoh: الطَّالِبَاتُ ذَكِيَّاتٌ  (Para mahasiswi itu cerdas-cerdas).

11.  Apabila mubtada’nya berupa jamak muannats yang tidak berakal atau jamak taksir yang tidak berakal, maka khabarnya boleh berbentuk jamak muannats dan boleh juga mufrad muannats, contoh:

a.    Mubtada’ berupa jamak muannats tidak berakal, contoh:

السَّبُّوْرَاتُ كَبِيْرَاتٌ/كَبِيْرَةٌ  (Papan tulis-papan tulis itu besar).

b.    Mubtada’ berupa jamak taksir tidak berakal, contoh:

الْأَقْلاَمُ جَدِيْدَاتٌ/جَدِيْدَةٌ  (Pena-pena itu baru).

Memaknai Filosofi Haul ke-4 Guru Mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho

  Ada empat poin penting dalam memaknai filosofi logo peringatan haul ke-4 guru mulia KH. M. Basori Alwi Murtadho yaitu angka 4, kubah, p...