كَانَ وَأَخَوَاتُهَا (Kāna wa Akhwātuhā), إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا (Inna wa Akhawātuhā) dan ظَنَّ وَأَخَوَاتُهَا (Dhanna wa Akhawātuhā) adalah
kelompok kata dalam bahasa Arab yang memiliki peran penting dalam struktur
kalimat. Ketiga kelompok kata ini merupakan alat bantu yang berfungsi untuk
mengubah makna kalimat, terutama dalam hal predikat, waktu, dan penegasan.
1. كَانَ وَأَخَوَاتُهَا (Kāna wa Akhawātuhā)
Definisi:
كَانَ وَأَخَوَاتُهَا adalah fi'il (kata kerja) yang berfungsi untuk
mengubah status kata benda (isim) menjadi lebih jelas atau memberikan waktu
tertentu. Kata kerja ini berfungsi untuk menyatakan waktu yang lalu, dan kata benda
yang datang setelahnya disebut dengan isim yang diberi status oleh kata kerja
ini.
Anggota Kāna wa Akhawātuhā:
a. كَانَ (kāna) - menyatakan waktu lampau,
contoh: كَانَ الطَّقْسُ جَمِيْلًا (Dahulu
cuacanya indah). Dalam contoh ini, كَانَ (kāna) digunakan untuk
menyatakan waktu lampau, diikuti oleh kata الطَّقْسُ (al-thaqsu) yang berfungsi isimnya, dan جَمِيْلًا (jamīlan) yang
berfungsi sebagai khabarnya.
b. أَصْبَحَ (aṣbaḥa) - menyatakan bahwa hal
yang diberitakan terjadi pada waktu pagi, contoh: أَصْبَحَ الطَّالِبُ نَشِيْطًا (Pada pagi hari peserta didik itu menjadi rajin).
c. أَضْحَى (adḥa) - menyatakan bahwa hal yang diberitakan terjadi pada waktu
dhuha, contoh: أَضْحَى الشَّابُّ طَبِيْبًا (Pada
waktu dhuha pemuda itu menjadi dokter).
d. أَمْسَى (amsā) - menyatakan bahwa hal
yang diberitakan terjadi pada waktu sore, contoh: أَمْسَى الرَّجُلُ مُتْعَبًا (Pada sore hari lelaki itu menjadi lelah).
e. ظَلَّ (ẓalla) - menyatakan keadaan terus menerus atau menyatakan bahwa hal yang diberitakan terjadi pada
siang hari, contoh: ظَلَّ الْوَلَدُ
مُبْتَسِمًا (Anak laki-laki itu tetap tersenyum).
f. بَاتَ (bāta) - menyatakan bahwa hal yang diberitakan terjadi pada waktu
malam, contoh: بَاتَ الرَّجُلُ مَرِيْضًا (Pada malam hari lelaki itu menjadi sakit).
g. صَارَ (ṣāra) - menunjukkan perubahan menjadi atau menyatakan perpindahan dari suatu keadaan ke
keadaan lain, contoh: صَارَ الْحَدِيْدُ
نَارًا (Besi itu berubah menjadi api).
h.
مَا زَالَ (mā zāla), مَا انْفَكَّ (mānfakka), مَا فَتِئَ (mā fatia), مَا بَرِحَ (mā bariha), مَا دَامَ (mā dāma) - menyatakan kelanjutan (selalu, senantiasa, masih), digunakan
untuk meniadakan (menafikan), karena harus didahului oleh mā nafī, tetapi
maksudnya itsbat (tetap), contoh: مَا زَالَ الطَّالِبُ مُجْتَهِدًا (Peserta didik itu masih rajin), مَا دَامَ زَيْدٌ قَائِمًا (Zaid masih tetap berdiri).
i. لَيْسَ (laysa) - menunjukkan negasi, contoh: لَيْسَ الْبَحْرُ صَغِيْرًا (Laut itu bukan kecil).
Fungsi:
a. Kāna wa akhawātuhā
berfungsi merafa’kan isim dan menashabkan khabarnya (كَانَ وَأَخَوَاتُهَا تَرْفَعُ الْاِسْمَ وَتَنْصِبُ الْخَبَرَ).
b. Kāna wa akhawātuhā
mengubah kalimat dari kalimat biasa menjadi kalimat yang menjelaskan kondisi
waktu atau keadaan yang berlangsung.
c. Biasanya,
kata kerja ini diikuti oleh isim (kata benda) yang menjadi mubtada’ (subjek) dan khabar (predikat)
setelahnya.
d. Isim
dari kāna
wa akhawātuhā selalu marfu’ (berharakat dhammah atau yang
sejenisnya) dan khabar dari kāna wa akhawātuhā selalu mansub (berharakat fathah atau yang
sejenisnya)
2. إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا (Inna wa Akhawātuhā)
Definisi:
إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا
adalah huruf yang berfungsi untuk menegaskan kalimat atau memberikan penekanan
pada subjek. Kata ini termasuk dalam jenis huruf naṣib (penanda pengaruh
terhadap isim) yang mengubah status isim yang datang setelahnya menjadi manṣub.
Anggota Inna wa Akhawātuhā:
a. إِنَّ (inna) - menegaskan
kalimat atau mengukuhkan pembicaraan, contoh: إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ (Sesungguhnya Zaid berdiri). Dalam
contoh ini, إِنَّ (inna) digunakan untuk menegaskan kalimat,
diikuti oleh kata زَيْدًا (Zaidan) yang berfungsi sebagai isimnya, dan قَائِمٌ (qāimun) yang berfungsi sebagai khabarnya.
b. أَنَّ (anna) - digunakan untuk menegaskan/mengukuhkan pembicaraan atau
sebagai penghubung kalimat, contoh: أَعْتَقِدُ أَنَّ اللهَ أَحَدٌ (Aku berkeyakinan bahwa Allah Maha Esa), عَرَفْتُ أَنَّ الْحَقَّ ظَاهِرٌ (Aku mengetahui bahwa kebenaran itu nyata).
c. لٰكِنَّ (lākinna) - digunakan untuk istidrak (susulan)
yaitu menyusul perkataan yang lalu dengan perkataan yang ada di belakangnya
atau untuk penegasan atau kontras dalam kalimat, contoh: جَاءَ الْقَوْمُ وَلكِنَّ زَيْدًا مُتَأَخِّرٌ (Kaum itu telah datang, tetapi Zaid belakangan), الأُسْتَاذُ حَاضِرٌ لكِنَّ الْكَسْلَانَ غَائِبٌ (Bapak
guru hadir tetapi pemalas tidak hadir).
d. كَأَنَّ (kaanna) -
digunakan untuk tasybih (menyerupakan), contoh: كَأَنَّ زَيْدًا قَمَرٌ (Zaid bagaikan bulan), كَأَنَّ الْقَمَرَ مِصْبَاحٌ (Bulan itu seakan-akan/seperti lampu).
e. لَيْتَ (layta)
- digunakan untuk tamanni (pengharapan yang tidak mungkin/mustahil terjadi),
contoh: لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ
يَوْمًا (Seandainya masa muda dapat kembali pada suatu hari
saja), لَيْتَ لِي قِنْطَارًا مِنَ
الذَّهَبِ يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ (Seandainya aku mempunyai satu qinthar emas yang turun
dari langit).
f. لَعَلَّ (la’alla)
- digunakan untuk tarajji (pengharapan baik yang mungkin terjadi) atau untuk tawaqqu’
(pengharapan buruk yang mungkin terjadi), contoh: لَعَلَّ الْحَبِيْبَ قَادِمٌ (Mudah-mudahan kekasih itu datang), لَعَلَّ الْكِتَابَ رَخِيْصٌ (Mudah-mudahan kitab itu murah), لَعَلَّ الْعَدُوَّ هَالِكٌ (Semoga musuh itu binasa).
Fungsi:
a. Inna
wa akhawātuhā
berfungsi menashabkan isim dan merafa’kan khabarnya (إِنَّ وَأَخَوَاتُهَا تَنْصِبُ الْاِسْمَ وَتَرْفَعُ الْخَبَرَ).
b. Inna wa
akhawātuhā
digunakan untuk memberikan penekanan atau menegaskan pernyataan dalam kalimat.
c. Penggunaan
inna dan akhawātuhā
akan membuat isim yang mengikuti menjadi mansub, yang menandakan adanya
perubahan pada struktur kalimat.
d. Isim
dari inna wa akhawātuhā selalu manshub (berharakat fathah atau yang
sejenisnya) dan khabar dari inna wa akhawātuhā selalu marfu’ (berharakat dhammah atau yang
sejenisnya).
3. ظَنَّ
وَأَخَوَاتُهَا (Dhanna wa Akhawātuhā)
Definisi:
ظَنَّ وَأَخَوَاتُهَا
adalah huruf yang berfungsi untuk menashabkan mubtada’ dan khabar atas dasar bahwa
keduanya adalah maf’ul bih-nya (maf’ul bih awal dan maf’ul bih tsani/kedua). Artinya,
ketika digunakan, fi’il ini mengubah jumlah ismiyah (kalimat nomina)
menjadi jumlah fi’liyah (kalimat verbal) dengan dua objek.
Anggota Dhanna wa Akhawātuhā:
a. ظَنَنْتُ (dhanantu) – menyangka,
mengira, menduga, contoh: ظَنَنْتُ الطَّالِبَ مُجْتَهِدًا (Aku menyangka peserta didik itu rajin).
Dalam contoh ini, الطَّالِبَ (al-thāliba) sebagai
maf’ul bih awal/pertama, diikuti oleh kata مُجْتَهِدًا (mujtahidan) yang
berfungsi sebagai maf’ul bih tsani/kedua.
b. حَسِبْتُ (hasibtu)
– menyangka, menduga, contoh: حَسِبْتُ الْمَطَرَ قَرِيْبًا (Aku menduga hujan itu dekat), حَسِبْتُ التِّلْمِيْذَ نَشِيْطًا (Aku menyangka murid laki-laki itu rajin).
c. خِلْتُ (khiltu) - mengira, contoh: خِلْتُ الصَّدِيْقَ مُخْلِصًا (Aku
mengira temanku tulus), خِلْتُ الْوَلَدَ
غَائِبًا (Aku mengira anak laki-laki itu tidak hadir).
d. زَعَمْتُ (za’amtu) – menyangka, menduga, contoh: زَعَمْتُ الرَّجُلَ غَنِيًّا (Aku menyangka lelaki itu kaya), زَعَمْتُ مُحَمَّدًا ذَاهِبًا (Aku mengira Muhammad pergi).
e. جَعَلْتُ (ja’altu) – menjadikan, contoh: جَعَلْتُ الْخَشَبَ عِمَادًا (Aku menjadikan kayu itu sebagai tiang), جَعَلْتُ الْبَيْتَ مَسْكَنًا (Aku menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal).
f. رَأَيْتُ (raaitu) – melihat, yakin, melihat dalam
arti “menganggap”, contoh: رَأَيْتُ الْعِلْمَ
نُوْرًا (Aku menganggap ilmu itu cahaya), رَأَيْتُ الْمَرِيْضَ نَائِمًا (Aku melihat orang sakit itu tidur).
g. وَجَدْتُ (wajadtu) – menemukan, menganggap, mendapatkan, contoh: وَجَدْتُ الْحَيَاةَ مُمْتِعَةً (Aku mendapati hidup itu mengasyikkan), وَجَدْتُ الْكِتَابَ صَغِيْرًا (Aku mendapatkan kitab itu kecil).
h. عَلِمْتُ (‘alimtu) – mengetahui, tahu benar, contoh: عَلِمْتُ الْعَرَبِيَّةَ سَهْلَةً (Aku mengetahui bahasa Arab itu mudah), عَلِمْتُ الْعِلْمَ نَافِعًا (Aku tahu benar ilmu itu bermanfaat).
i. اِتَّخَذْتُ (ittakhadztu)
– menjadikan, contoh: اِتَّخَذْتُ الأُسْتَاذَ نَاصِحًا (Aku menjadikan bapak guru itu sebagai penasihat).
j. سَمِعْتُ (sami’tu) – mendengar, contoh: سَمِعْتُ الْمُدَرِّسَ قَائِلًا (Aku mendengar bapak guru berkata).
Fungsi:
a. Dhanna
wa akhawātuhā berfungsi menashabkan mubtada’ dan khabar yang kedua-duanya menjadi maf’ul
bih-nya (ظَنَّ
وَأَخَوَاتُهَا تَنْصِبُ الْمُبْتَدَأَ وَالْخَبَرَ عَلَى أَنَّهُمَا مَفْعُوْلَانِ
لَهَا).
Sumber Bacaan:
Anwar, Moh. 1996. Ilmu Nahwu: Terjemahan Matan
Al-Ajurumiyyah dan ‘Imrithy Berikut Penjelasannya, Cetakan Ketujuh,
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar