Malu merupakan salah satu sifat
yang diajarkan dalam Islam sebagai bagian dari adab dan akhlak yang baik. Malu
bisa menjadi pendorong bagi seseorang untuk menjaga dirinya dari perbuatan
buruk dan dosa. Namun, ada kalanya rasa malu justru menjadi penghalang untuk
melakukan kebaikan, menuntut ilmu, dan menjalankan perintah Allah. Dalam dars
Abuya Al-Habib Shaleh Alaydrus, beliau mengingatkan kita bahwa ada bentuk malu
yang tercela, yaitu ketika rasa malu justru menyia-nyiakan hak Allah dan
menghalangi kita dari meraih kebaikan. Hal ini sangat relevan untuk kita
renungkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal menuntut
ilmu dan menjalankan kewajiban agama.
Malu yang tercela adalah malu
yang menghalangi kita untuk menuntut ilmu. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Imam Mujahid, لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا
مُسْتَكْبِرٌ "Tidak akan mendapatkan
ilmu, orang yang malu dan orang yang sombong." Dalam hal ini, malu
yang dimaksud adalah rasa malu yang berlebihan hingga membuat seseorang enggan
bertanya, mencari ilmu, atau mengembangkan dirinya. Padahal, menuntut ilmu
adalah kewajiban setiap Muslim. Rasa malu yang tidak pada tempatnya justru akan
mengekang perkembangan diri dan menjauhkan kita dari sumber kebaikan yang telah
diperintahkan oleh Allah. Dalam mencari ilmu, kita harus berani melawan rasa
malu yang tidak berdasar dan tidak membiarkan rasa takut untuk tampak bodoh
atau tidak tahu menghalangi kita.
Selain itu, malu yang tercela
juga dapat muncul dalam hal amar ma'ruf nahi munkar (menganjurkan yang
baik dan mencegah yang buruk). Sebagian orang merasa malu untuk menegur teman
atau orang lain yang melakukan perbuatan salah, meskipun dalam hatinya dia tahu
bahwa itu adalah kewajiban. Rasa malu seperti ini mengabaikan tanggung jawab
kita sebagai umat Islam untuk saling mengingatkan dan menegakkan kebaikan.
Padahal, dalam hadis Nabi Muhammad Saw. disebutkan bahwa "Barang siapa
di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan
tangan, atau dengan lisan, atau dengan hati." Malu yang menghalangi
kita untuk melaksanakan tugas mulia ini adalah bentuk kekeliruan, karena kita
lebih mementingkan perasaan pribadi daripada kewajiban agama.
Malu yang tercela juga bisa
terjadi dalam “menjalankan sunnah”. Ada sebagian orang yang merasa malu untuk
melaksanakan sunnah-sunnah Nabi yang dianggap kecil, seperti sunnah berdoa
sebelum makan, melakukan shalat tahajud, atau berzikir setelah shalat. Padahal,
sunnah Nabi adalah jalan yang membawa kita kepada kedekatan dengan Allah dan
meraih pahala yang besar. Rasa malu ini seharusnya ditanggalkan karena hal-hal
tersebut bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan bentuk penghambaan kita
kepada Allah Yang Maha Mulia. Jika kita malu untuk mengikuti sunnah Nabi, kita
telah menyia-nyiakan kesempatan berharga untuk meningkatkan kualitas ibadah
kita.
Imam Mujahid menyatakan bahwa orang yang malu dan sombong tidak akan mendapatkan ilmu. Kedua sifat ini adalah penghalang besar dalam pencarian ilmu dan perbaikan diri. Malu yang berlebihan akan membuat seseorang merasa tidak layak untuk bertanya atau belajar, padahal proses belajar adalah hal yang harus terus dilakukan sepanjang hidup. Sementara itu, kesombongan akan menutupi hati seseorang dari kebenaran. Dalam hal ini, kita harus bisa menghilangkan rasa malu yang menghalangi kemajuan diri dan menghindari sifat sombong yang menghalangi kita untuk menerima ilmu dan perbaikan.
Kesimpulannya, “malu yang tercela” adalah rasa malu yang tidak pada tempatnya, yang justru menghalangi kita untuk melakukan kebaikan dan meraih ilmu yang bermanfaat. Sebagai umat Islam, kita harus belajar untuk memisahkan antara rasa malu yang menjaga kehormatan dan rasa malu yang menghalangi kemajuan diri. Dalam menuntut ilmu, menjalankan sunnah, serta amar ma'ruf nahi munkar, kita harus berani untuk mengabaikan rasa malu yang tidak produktif. Dengan itu, kita akan dapat memperoleh ilmu, menegakkan kebaikan, dan meningkatkan kualitas ibadah, serta hidup sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar