Dalam khazanah nasihat para
ulama, terdapat ungkapan penuh makna: "لَنَا وَاعِظَانِ، نَاطِقٌ
وَصَامِتٌ. أَمَّا النَّاطِقُ فَهُوَ الْقُرْآنُ، وَأَمَّا الصَّامِتُ فَهُوَ الْمَوْتُ"
(Dua penasihat untuk kita: yang bicara dan yang diam. Adapun penasihat yang
bicara adalah Al-Qur’an, dan penasihat yang diam adalah kematian). Kalam hikmah ini sarat dengan pesan spiritual yang begitu dalam. Ia tidak hanya mengingatkan
manusia tentang pentingnya mendengarkan suara kebenaran, tetapi juga menuntun
kita untuk merenung melalui tanda-tanda kehidupan yang tampak jelas di depan
mata. Dalam setiap baitnya, kita diajak untuk mempertemukan wahyu dan kenyataan
hidup, agar kesadaran terhadap Allah semakin kuat.
Al-Qur’an disebut sebagai
penasihat yang berbicara karena di dalamnya terkandung firman Allah yang
memberi arahan, peringatan, dan petunjuk hidup bagi manusia. Kalam Ilahi ini
penuh dengan pesan moral, hukum, kisah teladan, serta janji dan ancaman yang
semuanya menghidupkan hati bagi siapa yang membacanya dengan iman. Ia seperti
suara yang terus menerus mengingatkan manusia, kapan pun ia membuka mushaf atau
mendengar lantunan ayatnya. Kehadiran Al-Qur’an sebagai penasihat membuat
manusia tidak pernah kehabisan sumber bimbingan untuk meniti jalan kebenaran.
Sementara itu, kematian disebut
sebagai penasihat yang diam. Ia tidak pernah berbicara dengan kata-kata, tetapi
kehadirannya nyata dan tak terbantahkan. Setiap kali kita mendengar kabar duka,
melihat pemakaman, atau menyaksikan usia yang berakhir, sebenarnya kita sedang
dinasihati dengan cara yang paling kuat: bahwa hidup ini fana. Kematian tidak
pernah berpidato, tetapi diamnya lebih fasih daripada seribu kalimat. Ia adalah
cermin kejujuran yang tidak bisa diingkari, karena setiap manusia pasti akan
menghadapinya, tanpa pandang usia, jabatan, ataupun kekayaan.
Gabungan dari dua penasihat ini (Al-Qur’an yang berbicara dan kematian yang diam) membentuk keseimbangan yang sempurna. Al-Qur’an mengajarkan kita bagaimana menyiapkan bekal kehidupan, sementara kematian mengingatkan kita untuk tidak menunda-nunda persiapan itu. Al-Qur’an memberi arahan, dan kematian memberi peringatan nyata. Jika keduanya benar-benar diresapi, maka manusia akan lebih bijak dalam memanfaatkan waktu, lebih rendah hati dalam hidup, dan lebih sabar dalam menghadapi cobaan.
Kalam hikmah ulama ini menjadi cahaya inspirasi agar kita tidak lengah dalam menjalani kehidupan. Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman sehari-hari, kita memperoleh nasihat yang hidup dan dinamis. Dengan menjadikan kematian sebagai pengingat, kita menjaga hati agar tidak terbuai dalam kelalaian. Pada akhirnya, manusia yang benar-benar bijak adalah mereka yang bisa mendengar “nasihat yang berbicara” dan memahami “nasihat yang diam”, sehingga setiap langkahnya tertuntun menuju ridha Allah dan kebahagiaan abadi di akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar