Dalam
tradisi Islam, akhlak selalu ditempatkan pada posisi utama sebagai cerminan
dari kualitas iman seseorang. Dalam dars (pelajaran) bersama Abuya
Shaleh Alaydrus, ungkapan “Akhlak adalah gambaran ketakwaan. Makin tinggi
akhlaknya, makin tinggi keimanannya. Maka jika ingin melihat ketakwaan
seseorang, yang dilihat bukan banyaknya ilmu, namun tingginya akhlak”
menjadi pengingat penting bahwa inti dari keberagamaan bukan sekadar pengetahuan,
melainkan perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ungkapan ini menuntun
kita untuk merenungkan kembali hubungan erat antara iman, ilmu, dan akhlak,
sehingga tidak terjebak pada formalitas keilmuan semata tanpa menghadirkan
kemuliaan akhlak dalam diri.
Pertama,
ungkapan ini menegaskan bahwa akhlak adalah “manifestasi dari ketakwaan”. Takwa
bukanlah sesuatu yang hanya diucapkan di lisan atau disimpan dalam hati,
melainkan diwujudkan dalam sikap, tutur kata, dan tindakan sehari-hari. Orang
yang benar-benar bertakwa akan tampak dari kesabarannya menghadapi cobaan,
kejujurannya dalam berinteraksi, serta kasih sayangnya kepada sesama makhluk.
Dengan demikian, akhlak menjadi cermin paling jujur dari kualitas iman
seseorang.
Kedua,
penekanan dalam ungkapan ini bahwa “keimanan diukur dengan akhlak, bukan
sekadar ilmu”, memberikan pelajaran berharga bagi para penuntut ilmu. Ilmu
memang penting, bahkan menjadi pintu utama menuju pemahaman agama yang benar.
Namun, ilmu tanpa akhlak ibarat cahaya tanpa penerangan, ia ada, tetapi tidak
memberi manfaat. Sebaliknya, ilmu yang disertai akhlak mulia akan melahirkan
pribadi yang rendah hati, arif, dan memberi teladan.
Ketiga, ajaran ini juga mengingatkan kita untuk “tidak terjebak pada ukuran-ukuran lahiriah” dalam menilai seseorang. Banyaknya ilmu, banyaknya amal ibadah, bahkan status sosial keagamaan seseorang, belum tentu mencerminkan ketakwaan sejati. Justru sikap sederhana, kesediaan memaafkan, keikhlasan memberi, serta kelembutan dalam berinteraksi adalah tanda-tanda nyata dari keimanan yang kokoh. Dengan akhlak mulia, ilmu akan menemukan ruhnya, dan iman akan terjaga dalam keseimbangan.
Ungkapan dalam dars bersama Abuya Shaleh Alaydrus ini memberi inspirasi untuk menjadikan akhlak sebagai prioritas utama dalam perjalanan spiritual. Semakin tinggi akhlak seseorang, semakin dekat ia dengan derajat ketakwaan yang sejati. Dengan akhlak, ilmu menjadi bermanfaat, amal menjadi tulus, dan iman semakin hidup. Maka, jalan menuju kemuliaan bukanlah dengan mengumpulkan gelar atau memperbanyak pengetahuan semata, tetapi dengan berusaha menghadirkan akhlak terbaik dalam setiap aspek kehidupan. Inilah yang akan membuat seseorang bukan hanya berilmu, tetapi juga benar-benar bertakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar