Jumat, 12 September 2025

Tiga Pilar Kebahagiaan: Cinta Ilahi, Cahaya Al-Qur’an, dan Ingatan pada Akhir

Dalam khazanah tasawuf Islam, terdapat banyak kalam hikmah yang mengandung kedalaman makna dan mampu menggugah hati untuk kembali kepada Allah. Salah satunya adalah kalam hikmah dari Fudhail bin Iyadh, seorang ulama besar yang dikenal dengan kezuhudan dan ketajaman nasihatnya. Beliau berkata: "كَفَى بِاللهِ مُحِبًّا، وَبِالْقُرْآنِ مُؤْنِسًا، وَبِالْمَوْتِ وَاعِظًا" yang berarti “Cukuplah Allah sebagai tempat mencurahkan cinta, Al-Qur'an sebagai teman yang menghibur, dan kematian sebagai pemberi nasihat yang menyadarkan.” Kalam hikmah ini mengajarkan prinsip hidup yang sederhana namun sangat mendalam, terutama bagi mereka yang ingin meraih kebahagiaan sejati dan ketenangan hati.

Pertama, Fudhail bin Iyadh menekankan bahwa “cukuplah Allah sebagai tempat mencurahkan cinta”. Ini bermakna bahwa cinta yang paling murni, tulus, dan tak bertepi hanyalah kepada Allah. Segala cinta selain kepada-Nya akan fana dan penuh keterbatasan. Ketika seorang hamba menambatkan cintanya kepada Allah, maka seluruh cinta yang lain akan menjadi lebih terarah, lebih ikhlas, dan penuh keberkahan. Inilah rahasia mengapa para kekasih Allah mampu menjalani kehidupan dengan lapang, karena mereka menaruh cinta pada Zat yang tak pernah mengecewakan.

Kedua, disebutkan bahwa ”Al-Qur’an adalah teman yang menghibur”. Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, tetapi cahaya dan petunjuk yang selalu memberi ketenangan jiwa. Di saat gelisah, Al-Qur’an mampu menenangkan; di saat bingung, ia memberi arahan; dan di saat jauh dari jalan kebenaran, ia menjadi penuntun. Orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sahabat akan merasakan kebersamaan yang abadi, sebab setiap ayatnya seolah berbicara langsung dengan hati. Inilah sumber penghiburan sejati yang tidak pernah pudar oleh waktu.

Ketiga, “kematian sebagai pemberi nasihat”. Fudhail bin Iyadh mengingatkan bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju kehidupan yang lebih kekal. Dengan menjadikan kematian sebagai nasihat, manusia diajak untuk selalu introspeksi dan tidak terbuai oleh dunia yang sementara. Kematian menyadarkan kita bahwa hidup ini singkat, sehingga harus diisi dengan amal saleh, ibadah, dan kebaikan. Orang yang selalu mengingat mati akan lebih bijak dalam mengelola waktu, lebih berhati-hati dalam berbuat, dan lebih tulus dalam beramal.

Keempat, perpaduan antara tiga hal ini (Allah sebagai cinta, Al-Qur’an sebagai sahabat, dan kematian sebagai nasihat) membentuk fondasi hidup yang kokoh. Hati yang dipenuhi cinta kepada Allah akan selalu tenang. Jiwa yang ditemani Al-Qur’an akan selalu cerah. Dan akal yang diingatkan kematian akan selalu bijak dalam memilih jalan. Inilah resep kehidupan yang menuntun manusia menuju kedamaian batin dan keselamatan akhirat.

Kalam hikmah Fudhail bin Iyadh adalah ajakan untuk kembali menyederhanakan hidup dan menata hati. Kita diajak untuk tidak berlebihan mencintai dunia, tetapi menaruh cinta kepada Allah, memperbanyak berinteraksi dengan Al-Qur’an, serta menjadikan kematian sebagai pengingat agar tidak lalai. Dengan menjalani hidup berdasarkan hikmah ini, seorang hamba akan mampu meraih kebahagiaan sejati yang tidak bergantung pada dunia, melainkan bersumber dari kedekatannya dengan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Langkah Kecil Hari Ini, Lompatan Besar di Masa Depan

Setiap manusia sering kali terjebak pada penyesalan masa lalu atau kekhawatiran berlebihan akan masa depan. Padahal, yang benar-benar kita...