Kalam hikmah dari Imam Fudhail
bin Iyadh adalah mutiara yang dalam dan sangat relevan untuk menata hati
seorang hamba. Beliau berkata,
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ
حَقِيْقَةَ الْإِيْمَانِ حَتَّى يَعُدَّ الْبَلَاءَ نِعْمَةً وَالرَّخَاءَ مُصِيْبَةً
وَحَتَّى لَا يُحِبَّ أَنْ يُحْمَدَ عَلَى عِبَادَةِ اللهِ.
"Seorang hamba tidak akan mencapai
hakikat iman yang sejati hingga ia menganggap musibah sebagai nikmat, dan
kelapangan sebagai ujian, serta tidak suka dipuji karena ibadahnya kepada Allah."
Kalimat ini bukan sekadar nasihat, tetapi sebuah peta perjalanan spiritual
menuju kedewasaan iman. Dengan memaknai pesan ini, kita diajak untuk melihat
kehidupan bukan semata dari sudut pandang duniawi, melainkan dari sudut pandang
hati yang dipenuhi tauhid dan ketundukan pada Allah.
Pertama, Imam Fudhail bin Iyadh
mengajarkan bahwa musibah harus dipandang sebagai nikmat. Musibah seringkali
menyakitkan, namun justru di sanalah Allah menguji kesabaran, membersihkan
dosa, dan meninggikan derajat hamba-Nya. Orang yang beriman akan melihat
musibah bukan sebagai beban, tetapi sebagai jalan penyucian jiwa. Dengan
pandangan ini, hati tidak larut dalam kesedihan, melainkan menemukan ketenangan
karena yakin bahwa setiap ketentuan Allah mengandung kebaikan.
Kedua, kelapangan justru
dianggap sebagai ujian. Banyak orang mudah terlena ketika berada dalam
kelapangan harta, waktu, atau kesehatan. Padahal, di saat itulah Allah sedang
menguji apakah seorang hamba tetap bersyukur, rendah hati, dan menggunakan
kelapangan itu untuk kebaikan. Hakikat iman sejati adalah ketika seseorang
mampu menjaga diri di tengah kelapangan, tidak sombong, dan tetap merasa
bergantung kepada Allah. Kelapangan, tanpa kesadaran ini, bisa menjadi jebakan yang
melalaikan.
Ketiga, seorang hamba yang matang imannya tidak suka dipuji karena ibadahnya. Pujian adalah ujian yang lebih halus daripada musibah, karena bisa menumbuhkan riya dan membusukkan amal. Ibadah sejati bukanlah untuk mendapatkan pengakuan manusia, melainkan hanya untuk Allah semata. Dengan menolak ketergantungan pada pujian, seorang hamba menjaga keikhlasan dan kemurnian niatnya. Ia sadar bahwa sekecil apapun ibadahnya tidak akan berarti tanpa rahmat Allah, dan sebesar apapun amalnya tidak perlu diketahui manusia.
Kalam hikmah Imam Fudhail bin Iyadh ini mengajak kita untuk menempuh jalan iman yang hakiki: bersabar dalam musibah, bersyukur dalam kelapangan, dan menjaga keikhlasan dalam ibadah. Hakikat iman tidak terletak pada banyaknya amal, melainkan pada cara kita memaknai kehidupan dengan pandangan hati yang lurus kepada Allah. Bila seorang hamba mampu menghayati ketiga hal ini, ia akan merasakan kedamaian sejati yang tidak tergoyahkan oleh pujian maupun cemooh manusia, karena seluruh kehidupannya hanya tertuju kepada Sang Pencipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar