Halaman

Minggu, 14 Desember 2025

Ketika Bacaan Al-Qur’an Mengangkat Kedudukan di Surga

Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama senantiasa menekankan pentingnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoman hidup yang harus diamalkan. Banyak nasihat para salaf yang menjelaskan hubungan erat antara kualitas membaca Al-Qur’an dan kedudukan seseorang di akhirat. Di antara nasihat tersebut adalah perkataan ulama yang dikutip dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah mengenai tingkatan surga yang berbanding lurus dengan jumlah ayat Al-Qur’an. Nasihat ini kemudian diperjelas oleh Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad, salah satu ulama besar Yaman, yang memberikan penekanan pada syarat penting agar seseorang benar-benar layak mencapai derajat tinggi melalui Al-Qur’an.

Perkataan ulama dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah menyebutkan bahwa “jumlah anak tangga di surga adalah sebanyak jumlah ayat Al-Qur’an”, dan setiap pembaca Al-Qur’an akan dinaikkan tingkatannya sesuai dengan ayat yang ia baca. Artinya, seseorang yang membaca Al-Qur’an secara lengkap memiliki peluang untuk mencapai kedudukan surga tertinggi. Gambaran ini bukan sekadar metafora, melainkan motivasi untuk menunjukkan bahwa setiap bacaan ayat membawa seseorang selangkah lebih dekat menuju kemuliaan akhirat. Hal ini sejalan dengan banyak hadis yang menyatakan bahwa pembaca Al-Qur’an akan dipanggil dan dikatakan kepadanya: "Bacalah dan naiklah!"

Namun, Imam al-Haddad memberi penegasan penting bahwa derajat yang tinggi itu hanya berlaku bagi orang yang membaca Al-Qur’an dengan baik dan mengamalkan kandungannya. Beliau menolak anggapan bahwa sekadar membaca, tanpa ketelitian maupun pengamalan, sudah cukup untuk meraih kedudukan agung di surga. Menurut Imam al-Haddad, bacaan yang baik mencakup tajwid yang benar, adab ketika membaca, serta menghadirkan kekhusyukan hati. Sementara itu, pengamalan mencakup menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman akhlak, hukum, dan jalan hidup sehari-hari. Dengan demikian, hakikat kemuliaan itu muncul dari perpaduan antara bacaan yang benar dan amal perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Allah.

Imam al-Haddad juga menegaskan bahwa pembaca yang berbuat salah dan lalai tidak termasuk dalam kategori yang dijanjikan derajat tinggi. Maksud “berbuat salah” di sini bukanlah kesalahan kecil yang manusiawi, tetapi sikap yang meremehkan Al-Qur’an: membaca tanpa mempedulikan makna, tidak berusaha memperbaiki bacaan, apalagi mengabaikan perintah dan larangan yang terdapat dalam ayat-ayatnya. Sementara “lalai” berarti membaca dengan hati kosong, tanpa kesadaran, dan tanpa upaya menjadikan Al-Qur’an sebagai cahaya kehidupan. Orang-orang seperti ini tidak berada pada jalan agung yang dimaksudkan oleh para ulama, karena tujuan utama membaca Al-Qur’an adalah transformasi diri, bukan sekadar meraih predikat sebagai pembaca.

Dengan demikian, perkataan para ulama dalam kitab Al-Nashâih al-Dîniyyah dan penjelasan Imam al-Haddad menjadi pengingat penting bahwa kemuliaan derajat surga bukan sekadar hadiah bagi suara yang melafalkan ayat, tetapi anugerah untuk hati yang tunduk dan amal yang taat. Setiap ayat yang dibaca hendaknya menjadi pijakan menuju akhlak yang lebih baik, ibadah yang lebih sempurna, dan kehidupan yang lebih dekat kepada Allah. Maka, siapa pun yang membaca Al-Qur’an dengan kesungguhan dan mengamalkan ajarannya sesungguhnya sedang menapaki anak tangga surga sejak di dunia ini. Inilah hakikat yang ingin ditegaskan oleh para ulama: bacalah Al-Qur’an, tapi bacalah dengan hati yang hidup dan amal yang mengikuti.

Sabtu, 13 Desember 2025

Jalan Menuju Persahabatan yang Menguatkan Iman

Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama memberikan perhatian besar terhadap adab pergaulan dan pemilihan teman. Imam al-Ghazali, seorang tokoh besar dalam tasawuf dan etika Islam, menekankan bahwa kualitas lingkungan sosial sangat mempengaruhi kebersihan hati dan perkembangan spiritual seseorang. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau memberi nasihat berharga tentang bagaimana seharusnya seseorang memilih teman dekat. Nasihat ini tidak sekadar etika sosial, tetapi juga metode menjaga diri agar tetap berada di jalan kebaikan.

Hal pertama yang ditekankan Imam al-Ghazali adalah akal. Seorang teman hendaknya memiliki akal yang sehat, karena akal adalah alat untuk membedakan yang benar dari yang salah. Berteman dengan orang yang kurang menggunakan akalnya berpotensi menyeret seseorang ke dalam tindakan ceroboh atau keputusan tidak bijak. Teman yang berakal akan memberi nasihat yang lurus, memahami situasi dengan proporsional, dan tidak bertindak gegabah. Hal ini penting karena hubungan pertemanan sering kali melibatkan saling memengaruhi, dan kecerdasan akal menjadi landasan kedewasaan dalam bertindak.

Syarat kedua adalah akhlak yang baik. Bagi Imam al-Ghazali, akhlak yang buruk lebih menular daripada penyakit. Teman yang buruk akhlaknya akan menunjukkan perilaku negatif yang mudah ditiru atau memicu kerusakan hubungan. Teman berakhlak baik tidak hanya menjaga lisan dan perbuatannya, tetapi juga menghadirkan ketenangan bagi orang di sekitarnya. Ia mendorong kepada kebaikan, menjaga kehormatan sahabatnya, serta tidak menambah beban hidup orang lain dengan kelakuan yang menyakitkan atau merugikan.

Ketiga adalah kesalehan, yang berarti menjalankan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa teman yang saleh akan membawa sahabatnya mendekat kepada Allah, bukan menjauh. Mereka saling menasihati dalam kebenaran dan saling mengingatkan ketika tergelincir. Kesalehan juga menjadi indikator kejujuran dalam beramal dan ketulusan hati dalam pergaulan. Bersahabat dengan orang yang lalai dalam agama dapat perlahan-lahan melemahkan komitmen spiritual seseorang tanpa disadari.

Keempat, seorang teman hendaknya tidak serakah terhadap harta. Sifat tamak dapat merusak hubungan, menimbulkan kecurigaan, dan bahkan mendorong seseorang melakukan tindakan tercela. Orang yang tamak cenderung memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadi. Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa pertemanan yang didasari atau dicampuri ketamakan tidak akan langgeng dan sulit melahirkan ketulusan. Teman yang tidak serakah justru akan membawa ketenangan, karena hubungan tidak dibayangi kepentingan materi.

Terakhir, Imam al-Ghazali memperingatkan agar tidak berteman dengan pembohong. Kebohongan menghancurkan kepercayaan, dan tanpa kepercayaan tidak ada hubungan yang sehat. Pembohong dapat menggambarkan yang jauh seolah dekat dan yang dekat seolah jauh, menciptakan fitnah, dan menimbulkan kerusakan sosial. Oleh karena itu, memilih teman yang jujur adalah perlindungan bagi kehormatan, ketenangan jiwa, dan keselamatan agama. Melalui lima kriteria ini, Imam al-Ghazali memberikan panduan yang sangat mendalam agar seseorang tidak salah memilih teman dan selalu berada dalam lingkungan yang menuntun kepada kebaikan.

Jumat, 12 Desember 2025

Ketika Akhlak Menjadi Karamah Terindah

Dalam tradisi tasawuf, para sufi tidak hanya menekankan aspek lahiriah peribadatan, tetapi juga kedalaman batin berupa penyucian akhlak dan pengendalian jiwa. Banyak kalam hikmah para tokoh sufi klasik menegaskan bahwa kemuliaan seorang hamba tidak diukur dari kemampuan supranatural atau hal-hal luar biasa, tetapi dari sejauh mana ia mampu memperbaiki diri. Di antara ungkapan yang sangat berpengaruh adalah hikmah Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi agung abad ke-3 H. Beliau berkata: “Sebesar-besarnya karamah adalah ketika engkau mampu merubah akhlak yang jelek dari akhlak-akhlakmu.” Kalimat ini menjadi penegasan bahwa perjalanan spiritual sejati tidak terletak pada fenomena ajaib, tetapi pada transformasi batin yang mendalam.

Sahl al-Tusturi ingin menegaskan bahwa karamah yang sesungguhnya bersifat internal, bukan eksternal. Dalam pandangan banyak orang awam, karamah sering dipahami sebagai kemampuan melakukan sesuatu yang luar biasa seperti mengetahui hal gaib atau melakukan tindakan di luar nalar. Namun menurut para sufi, hal-hal semacam itu tidak menjadi tolok ukur kedekatan seseorang dengan Allah. Justru, perubahan akhlak adalah keajaiban terbesar karena ia menuntut perjuangan melawan hawa nafsu, konsistensi dalam mujahadah, serta kesadaran spiritual yang tinggi. Mengubah sifat buruk menjadi baik adalah tanda kemenangan seseorang atas dirinya sendiri, dan itu jauh lebih mulia daripada fenomena fisik yang mengundang kekaguman.

Ungkapan ini juga menunjukkan bahwa akhlak merupakan cermin hakikat spiritual seseorang. Seseorang yang mendapatkan kemuliaan batin dari Allah akan tampak pada kemuliaan perangainya, bukan pada keanehan atau kekuatan supernatural. Sahl al-Tusturi menyadarkan bahwa perbaikan akhlak membutuhkan usaha yang tidak pernah berhenti, seperti mengendalikan amarah, menahan ego, melatih kesabaran, dan menjauhi kesombongan. Semua itu adalah medan jihad terbesar seorang hamba. Bila seseorang mampu menaklukkan dirinya, maka ia telah meraih apa yang oleh para sufi dianggap sebagai karamah yang paling tinggi nilainya.

Selain itu, hikmah ini sekaligus menjadi kritik halus terhadap mereka yang berambisi mencari karamah dhahir. Sahl al-Tusturi menekankan bahwa tujuan perjalanan spiritual bukanlah meraih kemampuan luar biasa, tetapi kedekatan hati dengan Allah melalui adab dan akhlak yang luhur. Karamah eksternal bahkan bisa menjadi ujian atau sebab kelalaian bila seseorang tidak matang secara akhlak. Sementara perubahan moral yang mendalam pasti membawa manfaat nyata: memperbaiki hubungan dengan sesama, menenangkan jiwa, dan memantapkan ketakwaan. Karena itu, transformasi akhlak bukan hanya karamah, tetapi juga bukti nyata kedewasaan spiritual.

Akhirnya, kalam hikmah Sahl bin Abdullah al-Tusturi mengajarkan bahwa jalan para wali dan orang-orang saleh adalah jalan pembinaan diri. Tidak ada karamah yang lebih sulit daripada memperbaiki kebiasaan buruk, menata hati, dan menjaga perilaku dari segala bentuk kejelekan. Apa yang tampak kecil di mata manusia—seperti sabar, jujur, rendah hati, dan menahan diri dari maksiat—hakikatnya sangat besar di sisi Allah. Oleh karena itu, siapa pun yang sungguh-sungguh berusaha memperbaiki akhlaknya telah memasuki wilayah karamah yang paling agung. Hikmah ini menjadi pedoman abadi bahwa perubahan batin adalah mukjizat yang dapat dicapai oleh setiap hamba yang bersungguh-sungguh.

Kamis, 11 Desember 2025

Bahaya Tersembunyi di Balik Rusaknya Hubungan Keluarga

Dalam khazanah tasawuf dan etika Islam, kalam hikmah para Ahlul Bait memiliki kedudukan istimewa sebagai panduan moral yang menyentuh aspek batin dan sosial kehidupan. Salah satu di antaranya adalah pesan Sayyidina Ali Zainal Abidin, cucu Sayyidina Husain dan imam yang dikenal dengan sebutan Zain al-‘Abidin karena ketekunannya dalam ibadah. Dalam kitab Al-Nashā’i al-Dīniyyah, beliau menyampaikan sebuah peringatan agar tidak bergaul dengan orang yang memutus hubungan kekeluargaan, karena terdapat tiga tempat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kemurkaan Allah terhadap pelaku dosa tersebut. Pesan ini bukan hanya bersifat normatif, tetapi juga mengandung kedalaman psikologis dan sosial bagi pembentukan karakter seorang Muslim.

Ungkapan لَا تُصَاحِبْ قَاطِعَ الرَّحِمِ، فَإِنِّي وَجَدْتُهُ مَلْعُوْنًا فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ janganlah engkau bergaul dengan pemutus hubungan kekeluargaan (qāthi‘ al-raim) karena aku mendapatinya dilaknat di 3 tempat dalam Kitabullah” mengandung makna bahwa pergaulan memiliki pengaruh kuat terhadap pembentukan sikap, moral, dan spiritual seseorang. Sayyidina Ali Zainal Abidin menekankan bahwa seseorang yang menjadikan pelaku dosa besar sebagai teman dekat akan terdampak oleh nilai-nilai buruk yang dibawanya. Putusnya silaturahim bukan hanya menunjukkan lemahnya kasih sayang dan kepedulian sosial, tetapi juga mencerminkan sebuah penyakit batin berupa kesombongan, kedengkian, dan kekikiran. Karena itu, menjauhi pergaulan semacam ini adalah langkah perlindungan diri agar tidak ikut terseret dalam dosa dan kerusakan moral.

Beliau kemudian menegaskan bahwa pelaku pemutus hubungan kekeluargaan “dilaknat di tiga tempat dalam Kitabullah.” Para ulama memaknai bahwa “tiga tempat” itu merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas memberikan ancaman keras kepada mereka yang memutuskan tali kekeluargaan. Di antara ayat yang sering disebut adalah surat Muhammad ayat 22–23 yang menyatakan bahwa Allah melaknat mereka yang merusak hubungan kekeluargaan; surat Al-Baqarah ayat 27 yang menggambarkan pelaku pemutusan tali rahim sebagai orang fasik; serta surat Ar-Ra‘d ayat 25 yang menyebutkan bahwa bagi mereka disediakan kebinasaan di dunia dan akhirat. Ketiga ayat ini menunjukkan tingkat keseriusan dosa tersebut, sehingga layak dijadikan dasar peringatan oleh para ulama dan ahli hikmah.

Makna “laknat” dalam konteks ini bukan sekadar kutukan, tetapi pengusiran dari rahmat Allah, yaitu hilangnya taufik, ketenangan, dan keberkahan dalam hidup. Ketika seseorang memutus hubungan keluarga, ia bukan hanya merusak struktur sosial, tetapi juga memotong salah satu saluran rahmat Allah yang memang sengaja diletakkan dalam hubungan kekerabatan. Hal ini selaras dengan banyak hadis Nabi Muhammad Saw. yang menegaskan bahwa silaturahim adalah sebab panjang umur, bertambahnya rezeki, dan turunnya keberkahan. Dengan demikian, memutus tali kekeluargaan berarti menutup pintu kebaikan bagi diri sendiri sebelum menimbulkan kerusakan bagi orang lain.

Kalam hikmah Sayyidina Ali Zainal Abidin ini bukan hanya bersifat peringatan, tetapi juga pedoman etika sosial dalam membangun komunitas yang penuh kasih. Dengan menjauhi para pemutus silaturahim, seorang Muslim diarahkan untuk memilih lingkungan yang mendorong kedamaian, kasih sayang, dan solidaritas. Hikmah ini juga mengajarkan bahwa menjaga hubungan kekeluargaan bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi bentuk nyata ketaatan kepada Allah dan bagian dari penyempurnaan akhlak. Dengan memahami kedalaman pesan ini, diharapkan setiap individu terdorong untuk selalu memperbaiki hubungan keluarga, menghindari konflik, serta menebarkan kebaikan demi terwujudnya kehidupan yang harmonis dan dirahmati.

Rabu, 10 Desember 2025

Bahasa yang Menghubungkan Surga dan Bumi: Inspirasi dari Perayaan Hari Bahasa Arab 2025

Pusat Pengembangan Bahasa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang kembali menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan dan memajukan studi bahasa Arab melalui penyelenggaraan “Perayaan Hari Bahasa Arab Se-Dunia 2025” pada Selasa, 9 Desember 2025. Kegiatan ini menjadi momentum penting bagi sivitas akademika untuk memperkuat kecintaan dan apresiasi terhadap bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan, budaya, dan wahyu. Tahun ini, Pusat Pengembangan Bahasa menghadirkan narasumber internasional, Prof. Dr. Najib Ali Abdullah Al-Saudi, Ketua Badan Internasional Bahasa Arab di Amerika Serikat, yang memberikan ceramah inspiratif kepada para peserta.

Kegiatan Perayaan Hari Bahasa Arab Se-Dunia 2025 yang dilaksanakan secara hybird (offline di aula gedung C dan online di kelas masing-masing) dihadiri langsung oleh Kepala Pusat Pengembangan Bahasa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Ibu Dr. Hj. Mamluatul Hasanah, M.Pd, Ketua PKPBA Dr. Nur Qomari, M.Pd, serta dua dosen asing dari Sudan Prof. Dr. Faisol Mahmoud Adam, MA dan Prof. Dr. Bakri Muhammed Bakhiet, MA. Perayaan Hari Bahasa Arab Se-Dunia ini juga diikuti oleh para mahasiswa Program Khusus Perkuliahan Bahasa Arab (PKPBA) yang berjumlah sekitar 4.971 mahasiswa yang terbagi di kampus 1, 2, dan 3.

Dalam pemaparannya, Prof. Najib menegaskan bahwa Perayaan Hari Bahasa Arab Se-Dunia adalah tuannya hari dalam setahun, yakni hari yang memiliki kedudukan istimewa untuk meneguhkan peran bahasa Arab di tengah dinamika global. Beliau menjelaskan bahwa bahasa Arab adalah pilar peradaban yang telah melahirkan tradisi keilmuan, sastra, dan intelektualisme yang sangat berpengaruh dalam sejarah umat manusia.

Lebih lanjut, beliau mengutip hadis yang menganjurkan untuk mencintai bahasa Arab karena tiga alasan: أَحِبُّوا الْعَرَبَ لِثَلَاثٍ: لِأَنِّي عَرَبِيٌّ، وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ، وَكَلَامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِي الْجَنَّةِ عَرَبِيٌّ Cintailah bangsa Arab karena tiga hal: karena aku (nabi) orang Arab, Al-Qur’an berbahasa Arab, dan penghuni surga juga berbicara dengan bahasa Arab” (HR. Al-Thabarani). Menurutnya, kecintaan terhadap bahasa Arab bukan hanya bernilai budaya, tetapi juga spiritual, karena bahasa tersebut menjadi medium wahyu Ilahi dan identitas umat Islam di seluruh dunia.

Prof. Najib kemudian menekankan bahwa pemahaman mendalam terhadap Al-Qur’an dan hadis tidak mungkin dicapai tanpa penguasaan bahasa Arab. Terjemahan, meskipun membantu, tidak dapat sepenuhnya menggantikan keindahan tekstual, kedalaman makna, serta nilai retorika yang hanya dapat dirasakan melalui bahasa asalnya. Karena itu, mempelajari bahasa Arab menjadi kebutuhan ilmiah bagi siapa pun yang ingin memahami ajaran Islam secara komprehensif.

Dalam paparan berikutnya, Prof. Najib menunjukkan bahwa bahasa Arab pada hakikatnya adalah bahasa yang mudah dipelajari. Ia memberikan contoh sederhana tentang penyusunan kata dari huruf-huruf hijaiyah seperti  (أ + ب = أب), (أ + م = أم), (أ + خ = أخ), (ع + م = عم), (ج + د = جد). Contoh tersebut menjelaskan bahwa struktur dasar bahasa Arab sangat logis dan mudah dikenali. Bahkan, kata-kata tersebut dapat langsung digunakan dalam kalimat dengan menambahkan kata tunjuk seperti هٰذَا أَبٌ dan هٰذِهِ أُمٌّ, menunjukkan betapa praktisnya bahasa Arab untuk pembelajar pemula.

Beliau juga menegaskan bahwa bahasa Arab adalah لُغَةُ الْمُمَارَسَةِ وَلُغَةُ التَّكَلُّمِ (bahasa praktik dan bahasa komunikasi langsung). Pembelajaran bahasa Arab akan berhasil jika dipraktikkan secara aktif, sebagaimana seseorang mempelajari bahasa ibu atau bahasa lokal. Oleh karena itu, metode yang menekankan latihan, interaksi, dan penggunaan bahasa dalam konteks nyata merupakan pendekatan yang paling efektif.

Prof. Najib mengingatkan bahwa pembelajar seharusnya lebih fokus pada “belajar bahasa” (تَعَلُّمُ اللُّغَةِ) daripada “belajar tentang bahasa” (التَّعَلُّمُ عَنِ اللُّغَةِ). Artinya, pengajaran bahasa Arab tidak boleh hanya berpusat pada teori dan kaidah, tetapi harus mendorong pembelajar untuk berbicara, menulis, mendengar, dan berinteraksi langsung menggunakan bahasa Arab.

Di akhir ceramahnya, Prof. Najib memberikan metode praktis untuk meningkatkan penguasaan kosakata, yaitu dengan menghafal dua kosakata setiap hari dan menyusunnya menjadi dua kalimat. Dengan konsistensi, seorang pembelajar dapat menguasai puluhan kosakata setiap bulan dan ratusan kosakata dalam setahun. Metode sederhana ini dianggap sangat efektif untuk membangun dasar komunikasi bahasa Arab yang kuat.

Perayaan Hari Bahasa Arab Se-Dunia 2025 ini ditutup dengan pesan Prof. Najib agar para dosen, mahasiswa, dan seluruh pecinta bahasa Arab menjadikan momentum ini sebagai sarana memperkuat komitmen belajar dan mengamalkan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Pusat Pengembangan Bahasa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berharap kegiatan ini dapat melahirkan generasi baru pembelajar bahasa Arab yang aktif, percaya diri, dan mampu berkontribusi dalam pengembangan studi bahasa Arab di tingkat nasional maupun internasional.

Tekad yang Menggugah, Niat yang Menghidupkan Ibadah

Dalam disiplin fikih dan tasawuf, pembahasan mengenai niat memiliki kedudukan yang sangat penting karena ia menjadi penentu sah dan tidaknya suatu amal. Penjelasan dalam Syarah Safinatun Najah memberikan rincian yang sangat berharga tentang perbedaan antara ‘azm (tekad) dan niyyah (niat). Banyak orang mengira bahwa keduanya sama, padahal dalam ilmu syariat terdapat perbedaan yang jelas. Memahami perbedaan ini akan membantu seseorang beramal dengan lebih sadar, lebih terarah, dan lebih sesuai dengan tuntunan ilmu agama.

Menurut penjelasan ulama dalam Syarah Safinatun Najah, عَزْم (‘azm atau tekad) adalah dorongan hati yang muncul sebagai keinginan untuk melakukan suatu perbuatan, namun dorongan itu belum diwujudkan dalam tindakan nyata. Tekad ibarat percikan awal yang memunculkan motivasi, semangat, dan keinginan, tetapi masih berada dalam ruang batin. Seseorang yang baru bertekad berarti baru sampai pada tahap “ingin melakukannya”, tanpa ada aktivitas lahiriah. Tekad ini penting karena menjadi fondasi pertama dari sebuah amal, tetapi ia belum memiliki konsekuensi hukum karena masih berupa niat batin yang belum diwujudkan.

Berbeda dengan tekad,  نِيَّة(niat) didefinisikan oleh para ulama sebagai قَصْدُ الشَّيْءِ مُقْتَرِنًا بِفِعْلِهِmaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan perbuatan.” Artinya, niat bukan sekadar dorongan hati, melainkan dorongan hati yang sudah terhubung dengan tindakan nyata. Ketika seseorang mulai melakukan amal (seperti mengangkat tangan takbir dalam shalat atau mulai berpuasa), di situlah niat bekerja. Niat adalah tekad yang telah naik tingkat: dari keinginan batin menjadi tindakan ibadah yang nyata. Karena itu, niat memiliki kedudukan hukum: ia menentukan sah atau tidaknya suatu amal ibadah.

Perbedaan paling mendasar antara tekad dan niat terletak pada keterikatannya dengan perbuatan. ‘Azm adalah fenomena batin yang berdiri sendiri tanpa memerlukan aksi lahiriah. Seseorang boleh memiliki banyak tekad dan rencana, namun tidak semuanya dianggap sebagai amal. Sedangkan niat tidak dianggap ada kecuali ketika tekad itu muncul beriringan atau melekat pada tindakan. Inilah mengapa dalam ibadah seperti wudhu, shalat, puasa, dan lainnya, niat harus hadir pada saat perbuatan dimulai. Tanpa amal, tekad tidak berubah menjadi niat, dan tanpa niat, amal tidak dianggap sah.

Dalam fikih, niat berpengaruh langsung terhadap penilaian amal: ia menentukan keabsahan, jenis ibadah, bahkan besarnya pahala. Misalnya, seseorang tidak dianggap shalat Zuhur kecuali ia berniat Zuhur; ia tidak dianggap puasa Ramadan kecuali berniat Ramadan. Sementara itu, ‘azm atau tekad tidak membawa konsekuensi hukum karena ia belum menjadi amal yang sesungguhnya. Seseorang boleh memiliki tekad untuk berpuasa, namun selama ia tidak berniat pada malam hari dan tidak memulai puasanya, maka tekad itu belum dihitung. Dengan demikian, niat berada pada posisi menentukan, sedangkan tekad berada pada posisi memulai.

Secara ruhani, perbedaan antara tekad dan niat mengajarkan bahwa setiap amal yang benar harus dimulai dari dorongan hati yang jujur (tekad), kemudian diwujudkan dalam tindakan dengan kesadaran penuh (niat). Tekad menunjukkan kesiapan hati, sementara niat menunjukkan kesungguhan untuk mempersembahkan amal kepada Allah. Dari sinilah seseorang dapat menjaga keikhlasan, fokus, dan tujuan dari setiap ibadah. Proses ini mengajarkan bahwa amal tidak tiba-tiba muncul begitu saja; ia lahir dari perjalanan hati menuju tindakan. Inilah hikmah besar yang ingin ditegaskan oleh para ulama melalui perbedaan keduanya.

Selasa, 09 Desember 2025

Ketika Ibadah Menipu: Bahaya Halus Kesombongan Rohani

Nasihat dari dars Abuya Shaleh Alaydrus "Tanda humuq (dungu) seseorang adalah ia beribadah dan merasa tinggi dari manusia serta merasa diterima amalnya. Sedang ahlu ma'rifah selalu merasa khauf (takut) jika amal baiknya tidak diterima oleh Allah" adalah cermin untuk setiap hati yang sedang menempuh jalan menuju Allah. Perkataan ini bukan ditujukan untuk merendahkan siapa pun, tetapi sebagai lentera yang menunjukkan bahaya licin di jalan ibadah: ketika amal justru melahirkan angkuh, bukan tunduk. Dengan memahami hikmah di balik kalimat tersebut, seorang hamba dapat menjaga perjalanan spiritualnya tetap bersih dari ketertipuan diri dan dekat dengan rahmat Allah.

Nasihat ini mengingatkan bahwa tanda kedunguan rohani adalah beribadah sambil merasa lebih tinggi dari manusia lain. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah sejatinya bukan sekadar gerakan dan kata-kata, tetapi cermin bagi ketundukan hati. Bila seseorang merasa mulia karena ibadahnya, itu berarti hatinya telah terperdaya oleh ilusi keistimewaan. Padahal, ibadah yang seharusnya mengangkat derajat justru bisa menjadi sebab kejatuhan ketika ia menumbuhkan kesombongan, sesuatu yang Allah benci walaupun hanya sebesar biji sawi.

Bagian nasihat ini juga menyentuh sisi yang lebih lembut namun berbahaya: merasa bahwa amal sudah pasti diterima oleh Allah. Ini adalah bentuk kelalaian batin, karena penerimaan amal adalah rahasia Allah, bukan milik manusia untuk dihakimi sendiri. Ketika seseorang yakin amalnya telah diterima, ia mudah berhenti memperbaiki niat, berhenti mengevaluasi diri, dan menjadikan ibadah sebatas “prestasi”. Inilah tipu daya yang sangat halus, karena seseorang merasa berada di puncak padahal mungkin ia belum melangkah ke apa pun.

Berbeda dengan orang yang tertipu amalnya, ahlu ma‘rifah—para pecinta Allah yang mengenal-Nya—senantiasa diliputi rasa khauf (takut) jika amal mereka tidak diterima. Rasa takut ini bukan ketakutan yang melemahkan, tetapi penjaga yang membuat hati selalu waspada dan lembut. Mereka tahu bahwa nilai ibadah bukan diukur dari banyaknya gerakan, tetapi dari kejernihan niat dan limpahan taufik. Karena itulah, semakin mereka beramal, semakin mereka khawatir akan ketidaklayakan diri, sebab mereka sadar bahwa segala amal hanyalah setitik kecil dari lautan anugerah-Nya.

Para ahli ma’rifah memahami bahwa bisa beribadah adalah rahmat sebelum ia menjadi amal. Tidak ada yang dapat sujud kecuali karena Allah mengizinkannya. Kesadaran ini membuat mereka rendah hati; mereka tidak melihat amal sebagai keunggulan, tetapi sebagai kesempatan. Semakin banyak ibadah, semakin besar rasa syukur, bukan kebanggaan. Mereka melihat bahwa semua kebaikan datang dari Allah, sementara diri mereka hanyalah wadah lemah yang diberi kehormatan untuk menyebut nama-Nya.

Nasihat ini ingin membimbing manusia agar selamat dalam perjalanan menuju Allah: jangan tertipu oleh ibadah, jangan merasa lebih dari orang lain, dan jangan menganggap amal sudah pasti diterima. Sikap hati yang benar adalah memadukan harapan dan ketakutan, rasa syukur atas taufik untuk beramal dan rasa hina karena menyadari kekurangan diri. Dengan demikian, ibadah tidak menjadi alasan untuk sombong, tetapi menjadi tangga untuk semakin dekat kepada Allah. Inilah jalan para kekasih Allah: hati yang senantiasa tunduk, takut, dan berharap kepada-Nya.

Senin, 08 Desember 2025

Ketika Gerak Menjadi Nyala Motivasi

Dalam dunia pengembangan diri, banyak orang merasa terhambat untuk memulai tindakan karena menunggu hadirnya motivasi. Padahal, motivasi bukanlah sesuatu yang selalu datang terlebih dahulu. Ia sering muncul setelah seseorang memulai langkah awal. Ungkapan “Jangan tunggu motivasi untuk bergerak. Bergeraklah, maka motivasi akan datang” adalah sebuah nasihat universal yang menekankan pentingnya tindakan sebagai pemicu energi, semangat, dan keberanian. Ungkapan ini mengingatkan bahwa perubahan besar tidak dimulai dengan perasaan semangat, tetapi dengan tindakan kecil yang dilakukan secara konsisten.

Ungkapan ini mengandung makna bahwa tindakan mendahului motivasi, bukan sebaliknya. Banyak penelitian psikologi modern menyebutkan bahwa ketika seseorang mulai melakukan sebuah pekerjaan, otak menghasilkan dorongan-dorongan kecil yang menciptakan rasa nyaman dan puas. Rasa puas inilah yang kemudian berubah menjadi motivasi. Artinya, motivasi tidak perlu ditunggu; ia dapat diciptakan melalui tindakan. Ketika kita diam terlalu lama menunggu mood atau inspirasi, kita justru semakin jauh dari tujuan serta membuat hambatan terlihat lebih besar.

Selain itu, bergerak terlebih dahulu menciptakan momentum, yaitu keadaan ketika seseorang mulai merasakan aliran energi positif dari aktivitas yang ia lakukan. Momentum sangat kuat dalam mendorong produktivitas dan ketekunan. Seperti roda yang berat di awal namun ringan setelah mulai berputar, demikian pula diri manusia. Saat memulai suatu tindakan, meski kecil, kita mulai membangun ritme yang membuat langkah berikutnya terasa lebih mudah. Momentum ini seringkali jauh lebih efektif daripada motivasi yang datang sesekali dan mudah hilang.

Ungkapan tersebut juga mengajarkan bahwa “disiplin lebih penting daripada motivasi”. Motivasi bersifat naik-turun, terpengaruh suasana hati, kondisi lingkungan, maupun keadaan fisik. Sebaliknya, disiplin adalah komitmen yang tetap berjalan meski seseorang tidak sedang bersemangat. Dengan bergerak terlebih dahulu, kita melatih disiplin dan keteguhan diri. Disiplin inilah yang akhirnya menumbuhkan motivasi yang lebih stabil dan tahan lama. Orang-orang sukses dalam berbagai bidang tidak menunggu motivasi; mereka bertindak secara konsisten sampai tindakan itu sendiri menjadi kebiasaan.

Akhirnya, ungkapan ini mengajak kita untuk membangun kehidupan yang proaktif, bukan reaktif. Menunggu motivasi berarti membiarkan hidup dikendalikan oleh suasana hati, sedangkan bertindak terlebih dahulu berarti mengambil kendali penuh atas arah hidup kita. Bahkan langkah kecil—seperti menuliskan rencana, mulai membaca satu halaman, atau berdiri untuk memulai tugas—sudah cukup untuk membangkitkan motivasi. Dengan memahami ini, kita menyadari bahwa gerakan kecil kita hari ini dapat menjadi pemicu bagi perubahan besar esok hari. Maka, jangan tunggu motivasi; mulailah bergerak, karena motivasi sedang menunggu untuk muncul setelah tindakan Anda.

Minggu, 07 Desember 2025

Hati yang Bersih, Amal yang Naik

Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali adalah salah satu pedoman akhlak dan adab yang sangat dalam maknanya bagi mereka yang ingin memperbaiki perjalanan menuju Allah. Salah satu nasihat emas di dalamnya adalah bahwa amal ibadah tidak akan sampai kepada Allah sebelum bersih dari penyakit-penyakit hati seperti iri, riya’, sombong, dan sebagainya. Nasihat ini mengingatkan kita bahwa kualitas ibadah tidak hanya ditentukan oleh gerakan dan lafadz, tetapi terutama oleh kebersihan hati, tempat di mana Allah memandang hamba-Nya. Memahami hikmah ini membuat seseorang menempatkan ibadah bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai jalan penyucian diri.

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa ibadah tidak akan sampai kepada Allah jika hati masih penuh penyakit. Hal ini karena ibadah bukan sekadar ritual lahiriah, melainkan persembahan batin. Ibarat seseorang memberikan hadiah bernilai tinggi namun dikotori oleh noda, maka hadiah itu kehilangan makna. Begitu pula ibadah yang dilakukan dengan hati yang masih dipenuhi iri, dengki, riya’, atau sombong. Allah tidak melihat bentuk lahirnya, tetapi melihat apa yang tersembunyi dalam hati hamba-Nya.

Penyakit seperti iri dan dengki merusak hubungan antar manusia, tetapi juga merusak hubungan dengan Allah. Riya’ membuat ibadah kehilangan keikhlasan, karena dilakukan untuk makhluk, bukan untuk Allah. Kesombongan membuat seseorang memandang dirinya lebih tinggi dan menganggap ibadahnya sebagai alasan untuk merasa mulia. Semua penyakit ini menjadi tabir yang menutupi cahaya ibadah, sehingga amal yang seharusnya menjadi sarana mendekat, justru membuat seseorang jauh tanpa ia sadari.

Dalam tradisi tasawuf dan akhlak, hati adalah pusat kedekatan dengan Allah. Hadis Nabi menjelaskan bahwa Allah tidak melihat rupa dan harta, tetapi melihat hati dan amal. Maka ketika Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hati adalah tempat pandangan Allah, beliau mengingatkan bahwa kualitas batin jauh lebih utama daripada kuantitas amal. Betapa banyak orang yang ibadahnya sedikit namun diterima karena hatinya bersih, dan betapa banyak yang ibadahnya banyak tetapi tertolak karena hatinya rusak. Bersihnya hati adalah kunci utama penerimaan amal.

Penyucian hati (tazkiyatun nafs) bukan sekadar ajaran tambahan dalam Islam, tetapi fondasi yang membuat ibadah bernilai. Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam banyak karyanya bahwa membersihkan hati dari penyakit lebih sulit daripada memperbanyak ibadah. Namun justru upaya inilah yang memurnikan hubungan hamba dengan Tuhannya. Ketika hati bersih, amal yang sedikit pun menjadi bercahaya; namun ketika hati kotor, amal yang banyak pun menjadi gelap. Karena itu, penyucian hati harus berjalan seiring dengan pelaksanaan ibadah lahiriah.

Pesan Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa perjalanan menuju Allah memerlukan dua sayap: ibadah lahiriah dan kebersihan batin. Tanpa salah satu dari keduanya, perjalanan itu tidak akan sempurna. Ibadah adalah bentuk ketaatan, sementara hati yang bersih adalah tempat bersemayamnya niat yang tulus. Jika keduanya bersatu, maka amal akan naik kepada Allah dengan cahaya yang murni. Inilah inti ajaran para ulama: bahwa keberhasilan seorang hamba bukan diukur dari banyaknya amal, tetapi dari keikhlasan hati yang menyertai amal tersebut. 

Sabtu, 06 Desember 2025

Setiap Hari adalah Guru: Bahagia Menguatkan, Sulit Mengajarkan

Ungkapan “Jangan pernah menyesali sehari dalam hidupmu. Hari-hari baik memberimu kebahagiaan dan hari-hari buruk memberimu pengalaman” adalah pesan motivasi yang mengajak kita untuk memandang hidup secara lebih arif dan positif. Setiap hari yang kita jalani—baik yang menyenangkan maupun yang penuh tantangan—adalah bagian dari perjalanan yang membentuk diri kita menjadi lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih matang. Ungkapan ini mengajarkan bahwa hidup tidak selalu tentang mencari kenyamanan, tetapi tentang belajar dari setiap peristiwa yang kita alami.

Bagian pertama dari ungkapan tersebut menyerukan agar kita tidak menyesali satu hari pun dalam hidup. Penyesalan sering kali muncul ketika kita merasa kurang puas dengan apa yang terjadi, atau ketika suatu peristiwa berjalan tidak sesuai harapan. Namun, ungkapan ini menegaskan bahwa setiap hari memiliki nilainya sendiri. Dengan tidak menyesali hari yang sudah berlalu, kita belajar menerima kenyataan secara lebih lapang dan memulai hari berikutnya dengan hati yang lebih ringan.

 “Hari-hari baik memberimu kebahagiaan” menunjukkan bahwa pengalaman positif adalah anugerah yang menambah semangat hidup. Hari-hari ketika segala sesuatu berjalan lancar menciptakan motivasi, rasa syukur, dan energi yang membantu kita melihat dunia dengan lebih optimis. Kebahagiaan dari hari-hari baik juga menjadi penyemangat yang memperkaya pengalaman emosional kita, memberikan kekuatan untuk menghadapi hari-hari yang lebih sulit.

Sebaliknya, “hari-hari buruk memberimu pengalaman” menegaskan bahwa kesulitan bukanlah musuh, melainkan guru yang mengasah diri. Hari-hari buruk mengajarkan kita ketabahan, kesabaran, kemampuan mengambil keputusan, hingga keahlian untuk bangkit kembali setelah terjatuh. Pengalaman pahit justru menjadi pelajaran berharga yang tidak pernah kita dapatkan dari situasi yang serba mudah. Dengan memahami nilai dari hari-hari sulit, kita dapat melihatnya sebagai bagian penting dari pertumbuhan diri, bukan sebagai sesuatu yang harus dihindari atau disesali.

Pada akhirnya, ungkapan ini mengajak kita untuk menjalani kehidupan dengan sikap positif dan penuh penerimaan. Kebahagiaan dan pengalaman adalah dua sisi yang saling melengkapi dalam perjalanan hidup manusia. Dengan tidak menyesali satu hari pun, kita menghargai proses yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik. Hari baik menguatkan hati, hari buruk memperkokoh jiwa, dan keduanya bersama-sama menjadikan hidup lebih berarti. Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa setiap detik kehidupan adalah pelajaran yang patut disyukuri.

Jumat, 05 Desember 2025

Rumah Bisa Dipilih, Tetangga Sulit Diganti

Peribahasa Arab klasik الْجَارُ قَبْلَ الدَّارِ (al-jāru qabla al-dār) “Perhatikan siapa tetangga (lingkungan) dulu sebelum memilih tempat tinggal” merupakan ungkapan penuh hikmah yang menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam kehidupan seseorang. Ungkapan ini telah lama menjadi pedoman dalam tradisi Arab dan Islam, karena ia tidak hanya berbicara tentang tetangga secara fisik, tetapi juga mengajarkan kita untuk memperhatikan kualitas pergaulan, suasana masyarakat, dan karakter lingkungan sebelum memilih tempat tinggal. Dalam konteks modern, amtsal ini tetap relevan, mengingat keadaan lingkungan sangat mempengaruhi kenyamanan hidup, perkembangan akhlak, bahkan ketenangan jiwa. Dengan memahami nasihat ini, seseorang dapat membuat keputusan yang lebih bijak demi keberkahan kehidupan.

Secara lahiriah, amtsalal-jāru qabla al-dār” berarti bahwa seseorang hendaknya memeriksa dan mempertimbangkan siapa yang akan menjadi tetangganya sebelum ia memutuskan untuk tinggal di suatu tempat. Rumah yang indah, mewah, atau strategis tidak akan memberikan kenyamanan jika lingkungan sekitarnya penuh masalah, keributan, atau orang-orang yang tidak baik akhlaknya. Dengan kata lain, nilai suatu tempat tinggal bukan hanya pada bangunan, tetapi pada manusia-manusia di sekelilingnya.

Lingkungan tempat seseorang tinggal sangat berpengaruh terhadap perilaku dan pembentukan karakter. Manusia adalah makhluk sosial, dan tanpa disadari, ia mudah terpengaruh oleh kebiasaan, gaya hidup, dan akhlak orang-orang di sekitarnya. Jika seseorang tinggal di lingkungan yang baik, penuh keramahan, amanah, dan saling menjaga, maka hal itu akan memudahkan dirinya untuk menjadi pribadi yang baik pula. Sebaliknya, lingkungan yang buruk dapat menjadi sebab seseorang ikut terjerumus dalam kebiasaan negatif. Inilah alasan mengapa dalam Islam, pemilihan lingkungan baik dan tetangga yang saleh sangat dianjurkan.

Dalam kehidupan modern, peribahasa ini tidak hanya digunakan dalam konteks mencari tempat tinggal, tetapi juga dalam memilih lingkungan kerja, komunitas, sekolah untuk anak-anak, bahkan dalam memilih lingkungan pertemanan di dunia digital. Lingkungan yang baik akan menumbuhkan kedamaian, sementara lingkungan yang buruk akan membawa kecemasan. Oleh sebab itu, sebelum seseorang memutuskan untuk tinggal di suatu daerah atau berkumpul dalam suatu komunitas, penting baginya untuk mengetahui bagaimana karakter masyarakat di sana, apakah ramah, saling membantu, menjaga norma, dan memiliki suasana spiritual atau sosial yang sehat.

Tetangga yang baik adalah salah satu nikmat besar dalam kehidupan. Banyak hadis Nabi Muhammad Saw. yang menekankan pentingnya berbuat baik kepada tetangga, bahkan sampai beliau diperintahkan Jibril untuk terus memperhatikan hak-hak tetangga. Ini menunjukkan bahwa hubungan harmonis dengan tetangga adalah kunci ketenangan. Rumah yang sederhana akan terasa seperti istana jika dikelilingi tetangga baik, sementara rumah mewah pun akan terasa seperti penjara bila dikelilingi tetangga yang bermasalah. Maka memilih lingkungan adalah bagian dari menjaga ketenteraman jiwa dan keluarga.

Akhirnya, amtsal ini mengajarkan bahwa keberkahan hidup tidak hanya ditentukan oleh materi, tetapi oleh interaksi sosial dan kondisi batin. Memilih tempat tinggal yang lingkungannya baik berarti menjaga keselamatan, kenyamanan, dan perkembangan akhlak keluarga. Peribahasa “al-jāru qabla al-dār” menjadi kaidah hidup yang mengingatkan manusia agar tidak tergiur oleh bentuk luar semata, tetapi melihat esensi lingkungan dan manusia yang ada di sekitarnya. Dengan mengikuti hikmah ini, seseorang akan lebih mudah mendapatkan kehidupan yang tentram, harmonis, dan penuh keberkahan.

Kamis, 04 Desember 2025

Memberi untuk Hidup Lebih Bermakna

Ungkapan “Kapan pun kita meminta, di sana akan kita temukan ketidakpuasan. Namun, kapan pun kita memberi, di sana pasti ada kepuasan” merupakan refleksi mendalam tentang sifat dasar manusia dan nilai luhur dalam memberi. Kalimat ini mengajak kita merenungkan kembali makna kebahagiaan sejati: apakah ia datang dari hal-hal yang kita peroleh, atau justru dari hal-hal yang kita berikan kepada orang lain. Sebagai pedoman moral, ungkapan ini menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan yang paling murni seringkali hadir bukan melalui apa yang kita dapatkan, melainkan melalui kontribusi yang kita berikan bagi sesama.

Bagian pertama dari ungkapan tersebut menyoroti kecenderungan manusia untuk tidak pernah benar-benar puas ketika selalu berada pada posisi meminta. Orang yang terbiasa meminta cenderung merasa kurang, karena keinginannya akan selalu muncul dan berkembang tanpa batas. Ketika satu permintaan terpenuhi, keinginan lain akan mengikuti. Ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada permintaan membuat hati sulit merasa tenang. Ketidakpuasan muncul karena fokus kita tertuju pada apa yang belum dimiliki, bukan pada apa yang telah ada.

Sebaliknya, bagian kedua dari ungkapan tersebut menegaskan bahwa memberi melahirkan rasa kepuasan yang lebih dalam dan lebih tulus. Ketika kita memberi, ada nilai kebajikan yang mengalir keluar dari diri kita, entah dalam bentuk materi, perhatian, tenaga, atau kasih sayang. Memberi membuat seseorang merasa berarti karena dirinya mampu membawa manfaat bagi orang lain. Ada rasa hangat dan lega yang sulit dijelaskan dengan kata-kata, seakan-akan hati dipenuhi oleh ketenangan yang tidak diperoleh dari meminta.

Kepuasan dalam memberi juga muncul karena tindakan tersebut selaras dengan fitrah kemanusiaan yang mencintai kebaikan. Tindakan memberi memperluas empati, menumbuhkan kepekaan sosial, dan menciptakan hubungan yang lebih harmonis antarindividu. Bahkan dalam banyak ajaran moral dan agama, memberi dianggap sebagai salah satu sumber pahala, keberkahan, dan ketenteraman jiwa. Dengan memberi, seseorang tidak sekadar membantu orang lain, tetapi juga membangun karakter yang lebih bijaksana dan penuh kasih.

Dengan demikian, ungkapan ini mengajarkan bahwa kepuasan sejati bukan terletak pada seberapa banyak kita menerima, tetapi pada seberapa banyak kita memberikan. Ketika kita berhenti berfokus pada kekurangan dan mulai menebarkan kebermanfaatan, hati menjadi lebih tenang dan hidup terasa lebih bermakna. Memberi menjadikan seseorang merasa cukup, kuat, dan berharga. Pada akhirnya, ungkapan ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan tidak datang dari menumpuk permintaan, melainkan dari berbagi apa yang kita punya dengan ketulusan.

Rabu, 03 Desember 2025

Serunya Language Camp! Belajar Arab–Inggris Jadi Menyenangkan!

Kegiatan Language Camp (بهجة اللغة) dengan tema “Fun with Language: From Salam to Hello” merupakan program yang dirancang untuk menumbuhkan kecintaan peserta didik terhadap bahasa Arab dan bahasa Inggris melalui pendekatan yang menyenangkan, komunikatif, dan aplikatif. Kegiatan ini menjadi bagian dari Pengabdian Masyarakat Pusat Pengembangan Bahasa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang langsung didampingi oleh Kepala Pusat Pengembangan Bahasa Ibu Dr. Hj. Mamluatul Hasanah, M.Pd, bekerja sama dengan KKM serta MGMP Bahasa Arab Kecamatan Lekok Kabupaten Pasuruan. Dengan menghadirkan berbagai aktivitas interaktif, kegiatan ini memberikan pengalaman belajar bahasa yang berbeda dari proses pembelajaran formal di kelas, karena peserta benar-benar diajak “bermain sambil belajar” dalam suasana yang penuh semangat.

Program Language Camp (بهجة اللغة) yang dilaksanakan pada Sabtu, 29 November 2025 di MI Darul Hikmah Branang Lekok Pasuruan ini diikuti oleh para peserta didik kelas 4–6 dari tiga madrasah, yaitu MI Darul Hikmah, MI Darul Ulum, dan MI Miftahul Ulum. Kegiatan ini bertujuan memperkuat keterampilan komunikasi dasar dalam bahasa Arab dan Inggris secara praktis, memberikan motivasi bagi peserta untuk lebih percaya diri berbicara dalam dua bahasa tersebut, serta menumbuhkan atmosfer kebahasaan yang hidup di lingkungan madrasah. Kolaborasi bersama Pusat Pengembangan Bahasa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan para mitra pendidikan memastikan kegiatan berlangsung lebih terarah dan berkualitas.

Sesi pertama adalah Arabic Time yang mengusung tema “Marhaban bil-Lughah al-‘Arabiyyah”. Pada sesi ini, para peserta diajak mengenal dan mempraktikkan ungkapan-ungkapan sederhana dalam bahasa Arab, seperti salam, perkenalan diri, dan dialog ringan, serta mengenal nama beberapa hewan dalam bahasa Arab. Pendekatan yang digunakan bersifat komunikatif, lebih banyak berlatih berbicara daripada menghafal. Para fasilitator juga menampilkan gerakan dan suara dari kosakata hewan, yang selanjutnya dipraktikkan oleh peserta untuk ditebak oleh para peserta yang lain sehingga suasana belajar menjadi lebih hidup, ceria, dan mudah dipahami oleh peserta yang masih berada pada usia sekolah dasar.

Bersamaan dengan sesi bahasa Arab, di kelas yang lain juga berlangsung sesi English Time bertema “Let’s Speak English”. Dalam sesi ini peserta dididik untuk membiasakan diri mengucapkan frasa-frasa dasar dalam bahasa Inggris dan berbagai ekspresi komunikasi ringan yang dekat dengan kehidupan mereka. Dengan metode role play dan dialog berpasangan, para peserta belajar menggunakan bahasa Inggris tanpa rasa takut salah. Tujuannya adalah agar peserta lebih berani berbicara dan menyadari bahwa bahasa Inggris dapat dipelajari melalui latihan yang menyenangkan.

Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan sesi rotasi permainan bahasa atau Language Games Rotation. Peserta dibagi dalam kelompok dan berpindah dari satu pos permainan ke pos berikutnya agar mereka merasakan berbagai bentuk kegiatan. Rotasi ini membuat suasana belajar tidak monoton dan memberikan ruang bagi setiap peserta untuk berpartisipasi aktif. Setiap pos dirancang untuk melatih aspek keterampilan bahasa yang berbeda, mulai dari kosakata, pemahaman, ekspresi kreatif, hingga kemampuan berkomunikasi dalam konteks sederhana.

Pada pos Story Corner, peserta diajak mendengarkan dan menceritakan kembali kisah sederhana dalam bahasa Inggris. Aktivitas ini bertujuan melatih kemampuan mendengar (listening) sekaligus kemampuan berbicara (speaking). Dengan bantuan gambar, kartu cerita, dan alur yang mudah dipahami, peserta dimotivasi untuk menyampaikan kembali isi cerita dengan kalimat sederhana sesuai kemampuan mereka. Pos ini menjadi salah satu bagian favorit karena anak-anak dapat mengekspresikan diri sambil berimajinasi.

Pos berikutnya adalah Arabic Art Corner, yaitu kegiatan seni yang memadukan kreativitas dengan pembelajaran bahasa Arab. Peserta menulis huruf Arab yang benar dan mewarnai kaligrafi sederhana. Melalui kegiatan ini, peserta tidak hanya belajar bahasa, tetapi juga menumbuhkan kecintaan terhadap estetika bahasa Arab. Pendekatan kreatif semacam ini sangat efektif bagi anak-anak usia sekolah dasar yang belajar lebih cepat melalui stimulasi visual dan aktivitas manual.

Pada pos Language Hunt, peserta berkeliling mencari kartu-kartu kosakata yang disembunyikan di berbagai area madrasah. Setelah menemukan kartu, mereka harus membaca, mengucapkan, dan mencocokkan kosakata tersebut dengan gambar atau ekspresi yang sesuai. Aktivitas ini menggabungkan unsur permainan, kolaborasi kelompok, dan latihan bahasa sekaligus. Kegiatan ini mendorong peserta didik aktif bergerak sambil tetap melatih kemampuan kebahasaan dalam suasana penuh kegembiraan.

Puncak kegiatan adalah Language Performance bertajuk “I Can Speak!”, di mana peserta tampil di depan teman-temannya untuk menunjukkan kemampuan berbicara dalam bahasa Arab maupun Inggris. Mereka memperkenalkan diri, menyampaikan dialog singkat, atau menampilkan mini drama sederhana. Momen ini dirancang untuk melatih keberanian, kepercayaan diri, dan kemampuan komunikasi peserta. Acara kemudian ditutup dengan pembagian hadiah bagi peserta paling aktif dan kreatif, paling percaya diri, paling ekspresif dan komunikatif, serta paling fasih dan lancar dalam dua bahasa. Penghargaan ini menjadi motivasi tambahan agar peserta terus berlatih dan mencintai bahasa sebagai bagian dari pengembangan diri.

Bijak Menerima Informasi: Cermin Kedewasaan Berpikir

Ungkapan “Orang yang mudah percaya dengan isu, sebelum membuktikan kebenarannya adalah orang yang paling menyedihkan dalam kehidupan ini. Apalagi cepat berkomentar, sekaligus menunjukkan kualitas cara berpikirnya” mengandung pesan moral yang kuat mengenai cara seseorang bersikap di era informasi. Dalam masyarakat yang serba cepat seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis, menahan diri, serta memverifikasi informasi menjadi kebutuhan penting. Ungkapan ini menjadi pengingat bahwa kematangan seseorang tidak hanya terlihat dari pengetahuannya, tetapi juga dari caranya menilai, menyikapi, dan merespons suatu informasi.

Bagian pertama dari ungkapan tersebut menyoroti bahaya mudah percaya pada isu tanpa menyelidiki kebenarannya. Orang yang langsung menerima informasi tanpa pertimbangan biasanya terjebak dalam bias, prasangka, atau bahkan manipulasi. Sikap ini membuat seseorang rentan dipermainkan oleh kabar bohong atau provokasi. Ketidakmampuan membedakan fakta dan opini bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat merusak hubungan sosial karena ikut menyebarkan informasi yang tidak benar.

Ungkapan ini juga menyentil sikap tergesa-gesa dalam berkomentar. Dengan semakin terbukanya ruang publik, terlebih di media sosial, banyak orang merasa terdorong untuk memberikan pendapat tanpa berpikir panjang. Komentar yang muncul dari informasi yang belum jelas kebenarannya seringkali justru memicu konflik, kesalahpahaman, atau mempermalukan diri sendiri. Dalam konteks ini, kecepatan berkomentar tidak menunjukkan kedewasaan, melainkan ketidakmampuan mengontrol emosi dan kurangnya kehati-hatian.

Lebih jauh, ungkapan tersebut menekankan bahwa cara seseorang merespons isu mencerminkan kualitas pikirannya. Orang yang matang secara intelektual akan menggunakan akal sehat, mencari bukti, dan mempertimbangkan dampak dari tiap ucapan. Sebaliknya, seseorang yang mudah percaya dan cepat bicara memperlihatkan cara berpikir yang dangkal, lebih mengandalkan emosi daripada logika. Sikap seperti ini menunjukkan kurangnya refleksi diri dan minimnya kebiasaan berpikir kritis.

Dengan demikian, ungkapan tersebut mengajarkan pentingnya menahan diri, berpikir jernih, dan memeriksa informasi sebelum mengambil sikap. Dalam kehidupan yang kompleks, kemampuan memilah informasi, bersikap hati-hati, serta menunda komentar sampai memahami konteks merupakan tanda kedewasaan dan integritas. Orang yang mampu bersikap demikian tidak hanya terhindar dari kesalahan, tetapi juga dihormati karena kebijaksanaannya. Pada akhirnya, kualitas berpikir seseorang tidak diukur dari seberapa cepat ia berbicara, tetapi dari seberapa dalam ia memahami.

Selasa, 02 Desember 2025

Jejak Kehidupan: Bermimpi di Awal, Berjuang di Tengah, Bijaksana di Akhir

Ungkapan “Kehidupan yang sempurna itu adalah ketika kita di masa muda mencurahkan seluruh waktu kita untuk ambisi-ambisi kita, ketika di masa dewasa mencurahkan seluruh waktu kita untuk berjuang, dan ketika kita di masa tua mencurahkan seluruh waktu kita untuk merenung” mengandung filosofi mendalam tentang perjalanan hidup manusia. Ungkapan ini tidak hanya menggambarkan fase-fase kehidupan secara biologis, tetapi juga menunjukkan bagaimana semestinya kita memaknai setiap tahapan hidup agar memiliki kualitas yang utuh, seimbang, dan bermakna. Di dalamnya, tersirat pesan bahwa kesempurnaan hidup bukan terletak pada panjangnya umur, melainkan pada kemampuan kita memaksimalkan setiap fase dengan peran dan kesadaran yang tepat.

Pada masa muda, seseorang berada pada tahap penuh energi, mimpi, dan idealisme. Masa ini dicirikan dengan keberanian untuk mencoba hal baru dan semangat mengejar ambisi tanpa terlalu banyak rasa takut terhadap risiko. Ungkapan tersebut menekankan bahwa masa muda adalah waktu terbaik untuk menetapkan tujuan besar, memperluas wawasan, dan membangun fondasi masa depan. Mencurahkan waktu untuk ambisi bukan berarti sekadar mengejar materi atau kedudukan, tetapi juga mengembangkan karakter, menggali potensi, dan merintis jalan hidup yang akan ditempuh di masa mendatang.

Memasuki masa dewasa, seseorang memasuki fase perjuangan. Ambisi yang dibentuk di masa muda kini diuji dengan kenyataan hidup yang lebih kompleks. Pada tahap ini, perjuangan bukan hanya soal bekerja keras secara fisik, tetapi juga menjaga komitmen, menghadapi tantangan mental, dan menyelesaikan tanggung jawab yang semakin besar. Ungkapan tersebut mengajarkan bahwa kesempurnaan hidup tidak datang dengan sendirinya; ia lahir dari perjuangan yang sungguh-sungguh. Masa dewasa adalah waktu untuk mewujudkan apa yang pernah dicita-citakan, sekaligus membangun stabilitas bagi diri dan orang-orang yang kita cintai.

Sementara itu, masa tua digambarkan sebagai fase merenung. Inilah tahap ketika seseorang telah melewati banyak pengalaman hidup, baik suka maupun duka, dan mulai menoleh untuk melihat kembali perjalanan panjang yang telah ditempuh. Merenung bukan berarti pasif atau menyerah, tetapi menjadi proses evaluasi dan pendalaman makna hidup. Pada fase ini, seseorang biasanya menemukan kebijaksanaan yang tidak bisa diperoleh ketika masih muda atau dewasa, karena waktu merenung memberikan ruang untuk memahami makna di balik setiap perjuangan dan pencapaian.

Dengan demikian, ungkapan tersebut menggambarkan bahwa kesempurnaan hidup tercapai ketika kita mampu memaknai setiap fase kehidupan dengan tugas dan kesadarannya masing-masing. Masa muda untuk bermimpi, masa dewasa untuk berjuang, dan masa tua untuk memetik hikmah. Ketika setiap fase dijalani dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, hidup menjadi lebih utuh, tidak sia-sia, dan penuh makna. Filosofi ini mengajak kita untuk tidak terburu-buru ingin cepat dewasa atau menyesali masa lalu, melainkan menjalani setiap tahap kehidupan sesuai porsinya, karena setiap fase memiliki keindahan dan pelajarannya sendiri.

Senin, 01 Desember 2025

Tetap Melangkah, Jangan Pernah Menyerah

Ungkapan “Kejar impianmu dengan gigih. Jangan pernah menyerah” merupakan salah satu nasihat motivatif yang memiliki kekuatan besar dalam membangkitkan semangat seseorang. Kalimat ini tidak sekadar mendorong seseorang untuk memiliki cita-cita, tetapi juga mengingatkan bahwa jalan menuju impian tidak selalu mudah dan memerlukan ketekunan, kegigihan, serta keyakinan yang kuat. Dalam kehidupan yang penuh tantangan, pesan sederhana ini mampu menjadi penguat mental agar seseorang tetap melangkah meskipun dihadapkan pada rintangan.

Mengejar impian adalah proses panjang yang melibatkan keyakinan diri, perencanaan, dan konsistensi. Impian tidak hanya sekadar keinginan, tetapi visi yang membentuk arah hidup seseorang. Ketika seseorang bertekad mengejar impiannya, ia sedang menata masa depan dan menegaskan nilai hidup yang ingin ia raih. Karena itu, nasihat ini mengingatkan bahwa langkah pertama dalam meraih impian adalah keberanian untuk menyatakannya dan memulai perjalanan menuju ke sana.

Kegigihan merupakan inti dari ungkapan tersebut. Tidak ada impian besar yang tercapai tanpa usaha yang terus-menerus. Kegigihan berarti tetap melangkah meskipun hasil belum terlihat, tetap belajar meski sering gagal, dan tetap berusaha ketika orang lain ragu. Kualitas inilah yang membedakan orang yang berhasil dengan yang berhenti di tengah jalan. Dengan gigih, seseorang membangun karakter kuat yang siap menghadapi berbagai ujian dalam perjalanan meraih tujuan.

Ungkapan “Jangan pernah menyerah” muncul karena kenyataannya setiap impian pasti menghadapi hambatan. Terkadang rintangan itu berupa kegagalan, penolakan, rasa lelah, atau bahkan keraguan dari diri sendiri. Namun justru tantangan ini menjadi batu loncatan yang membuat seseorang lebih matang dan lebih siap. Orang yang tidak menyerah adalah mereka yang melihat kendala bukan sebagai akhir, tetapi sebagai proses pembelajaran dan penguatan diri.

Tidak menyerah bukan hanya soal fisik yang terus berusaha, tetapi juga kekuatan batin. Seseorang membutuhkan keyakinan bahwa impiannya layak diperjuangkan. Mentalitas positif membantu seseorang menatap peluang di balik setiap kesulitan. Dengan pikiran yang optimis, seseorang akan lebih mudah bangkit setelah jatuh, lebih mampu menemukan jalan baru saat terhambat, dan lebih teguh menjaga mimpinya meskipun prosesnya panjang.

Pada akhirnya, ungkapan ini mengajarkan bahwa buah dari kegigihan adalah pencapaian yang memuaskan dan penuh makna. Bahkan jika impian tidak tercapai sepenuhnya, proses panjang yang dilalui akan membentuk pribadi yang lebih kuat, berpengalaman, dan percaya diri. Tidak menyerah berarti memberi diri sendiri kesempatan terbaik untuk berkembang. Dengan terus berusaha dan gigih, seseorang memperbesar peluang untuk meraih apa yang ia cita-citakan dan menikmati perjalanan hidup dengan penuh kebanggaan.

Ketika Bacaan Al-Qur’an Mengangkat Kedudukan di Surga

Dalam tradisi keilmuan Islam, para ulama senantiasa menekankan pentingnya Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tetapi juga sebagai pedoma...