Kisah-kisah para pendahulu kita
dari kalangan Bani Israil menyimpan banyak pelajaran berharga, salah satunya
adalah kisah Juraij, seorang ahli ibadah yang sangat tekun dan taat kepada
Allah Swt. Namun, kisahnya tidak hanya tentang ibadah semata, melainkan juga
tentang ujian kehidupan, adab kepada orang tua, serta keajaiban pertolongan
Ilahi. Dalam kisah ini, kita diajak untuk merenungi bagaimana kesalehan
spiritual tetap harus berjalan seiring dengan kebaikan sosial, khususnya
terhadap ibu yang telah melahirkan dan membesarkan kita dengan penuh kasih.
Pada
zaman Bani Israil dahulu (beberapa abad sebelum datangnya Islam), ada salah
seorang dari Bani Israil yang bernama “Juraij”. Beliau dikenal sebagai ahli
ibadah, sampai-sampai dijuluki ar-Rahib atau al-‘Abid. Setiap
harinya, beliau mampu melakukan shalat ratusan rakaat. Lebih dari itu, beliau
sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibunya.
Diceritakan
bahwa sekali waktu si Juraij sedang melakukan shalat sunnah seperti biasa. Di
saat beliau sedang nikmat bermunajat kepada Allah Swt. di dalam shalatnya,
tiba-tiba sang ibu memanggilnya, “Wahai Juraij . . wahai Juraij!” Sang ibu
memanggil Juraij dua atau tiga kali. Akan tetapi si Juraij tidak menjawabnya
lantaran saat itu beliau sedang shalat. Sebenarnya, beliau sempat bimbang.
Dalam hati kecilnya beliau bertanya-tanya, “Ya Rabb, apakah aku akan meneruskan
shalatku, atau aku batalkan saja demi menjawab panggilan ibuku?” Beliau berkata
seperti itu di dalam hatinya sambil meneruskan shalatnya. Ternyata, sang ibu
keburu mengutuknya lantaran terlalu jengkel. Karena panggilannya yang berulang
kali tidak digubris oleh sang putra, Juraij. Ia berdoa, “Ya Allah, janganlah
Engkau matikan si Juraij sebelum ia terkena fitnah dengan seorang pelacur.”
Ternyata
doa ibunya itu dikabulkan oleh Allah Swt, sehingga si Juraij benar-benar
terkena fitnah oleh pelacur. Konon, sekali waktu, pada saat Juraij berkhalwat
(menarik diri dari keramaian dan menyepi untuk mendekatkan diri kepada Allah),
datanglah seorang wanita memasuki tempat khalwat Juraij dan mengajaknya
melakukan zina. Terang saja, si Juraij menolak ajakan si wanita. Anehnya, si
wanita tetap memaksa Juraij melakukan perbuatan keji itu, akan tetapi Juraij
bersikeras menolaknya.
Ketika
si wanita merasa gagal merayu Juraij, maka si wanita melakukan perbuatan nista
itu dengan seorang pengembala kambing. Tak lama kemudian, si wanita hamil.
Setelah melahirkan, si wanita itu ditanya oleh warga, “Siapa yang menghamilimu?
Dan siapa ayah dari bayimu itu?” Si wanita menjawab, “Juraij pelakunya.” Tentu
saja Juraij menepisnya, akan tetapi warga tidak mempercayainya. Mereka pun
menghujat Juraij dan bahkan membakar tempat ibadahnya. Maka di saat itu pula,
Juraij sadar bahwa musibah yang menimpanya itu merupakan akibat dari kutukan
sang ibunda.
Akhirnya,
beliau melakukan shalat dua rakaat, kemudian memohon pertolongan kepada Allah
Swt. agar dirinya dibebaskan dari fitnah yang sangat memalukan itu. Tiba-tiba,
beliau mendapatkan ilham dari Allah Swt. agar menusukkan telunjuknya ke
tubuh bayi itu sambil menanyakannya. Maka Juraij pun melakukannya dan berkata,
“Hai bayi, siapakah ayahmu yang sebenarnya?” Maka bayi itu menjawab, “Ayahku
adalah (fulan) si pengembala.” Orang-orang tersentak kaget mendengarnya.
Sungguh ajaib, seorang bayi yang masih dalam buaian dapat berbicara dengan
jelas dan lugas.
Menyaksikan keajaiban itu, warga kampung mulai sadar bahwa ternyata mereka salah sangka. Akhirnya, mereka meminta maaf kepada Juraij dan berjanji akan mengganti tempat ibadahnya yang telah mereka hancurkan dengan bangunan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi Juraij menolaknya dan bertekad membangunnya sendiri.
Dari kisah Juraij, kita belajar bahwa setinggi apa pun derajat ibadah seseorang, tidak akan sempurna tanpa disertai bakti kepada orang tua. Doa seorang ibu, baik dalam kebaikan maupun dalam kemarahan, sangatlah dahsyat dan dapat mengubah jalan hidup anaknya. Namun demikian, ketika ujian datang, keikhlasan dan doa yang tulus kepada Allah Swt. akan membuka jalan keluar yang tidak disangka-sangka. Kisah ini menjadi cermin bagi kita untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang tua, serta mengajarkan untuk bersabar dalam menghadapi fitnah dan ujian kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar