Dalam kehidupan sehari-hari,
kita kerap terjebak dalam penilaian yang didasarkan pada rupa, latar belakang,
atau status sosial seseorang. Akibatnya, kita menolak kebenaran hanya karena
datang dari mulut orang yang kita anggap tidak layak. Padahal, kebenaran
tetaplah kebenaran, siapa pun yang mengucapkannya. Ucapan bijak Sayyidina Ali
bin Abi Thalib karramallahu wajhah, اُنْظُرْ إِلَى مَا
قَالَ، وَلَا تَنْظُرْ إِلَى مَنْ قَالَ “Lihatlah apa yang ia katakan, dan
janganlah melihat siapa yang berkata”, menjadi nasihat emas yang menuntun
kita untuk menjadi pribadi yang adil dan bijaksana dalam menerima ilmu,
nasihat, atau kritik.
Sayyidina Ali mengajarkan kita
untuk mengedepankan substansi daripada sosok. Ucapan ini bukan sekadar petuah,
melainkan prinsip intelektual dan moral yang tinggi. Dalam dunia ilmu,
kebenaran tidak mengenal kasta. Ia bisa muncul dari siapa saja: seorang anak kecil,
orang biasa, bahkan dari orang yang kita anggap musuh. Jika kita terus menolak
kebenaran karena ego atau prasangka, maka kita menutup pintu hidayah dan
pembelajaran yang luas dari Allah.
Di balik nasihat ini terkandung
pelajaran mendalam tentang kerendahan hati dan keterbukaan. Hanya orang yang
rendah hati yang bisa menerima kebenaran meski datang dari orang yang lebih
rendah derajatnya secara duniawi. Dan hanya hati yang lapang yang sanggup
mengakui kesalahan lalu menerima nasihat, meskipun datang dari orang yang tidak
disukainya. Inilah esensi kebijaksanaan sejati: tidak memilih-milih siapa yang
layak didengar, tetapi menimbang dengan adil apa yang dikatakan.
Dalam konteks sosial dan dakwah, petuah ini juga mengajarkan toleransi dan kesetaraan. Ia menghapus sekat-sekat yang membatasi manusia dalam belajar dan mendengar. Kadang, orang yang baru bertobat bisa memberi nasihat yang menyentuh, atau seorang yang biasa bisa mengucapkan hikmah yang menenangkan jiwa. Jika kita hanya melihat siapa yang bicara, kita bisa kehilangan mutiara-mutiara berharga hanya karena kemasan luarnya tampak sederhana.
Mari kita biasakan diri untuk menilai sesuatu dari isi, bukan dari siapa yang menyampaikannya. Mungkin saja Allah menyampaikan kebenaran kepada kita lewat mulut orang yang tak kita duga. Jangan sampai kita menolak cahaya hanya karena datang dari lentera yang kita anggap kusam. Sebab bisa jadi, justru lewat merekalah Allah sedang mendidik dan menyentuh hati kita. Bersikap adil terhadap ilmu dan nasihat adalah tanda bahwa hati kita masih hidup dan siap menerima kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar