Hubungan anak dan orang tua
bukan sekadar ikatan darah, melainkan jalan menuju ridha Allah. Kisah Alqamah
membuka mata hati kita bahwa amal baik yang tampak sekalipun bisa tertahan
nilainya jika hak ibu dan ayah diabaikan. Betapa banyak orang menjaga
ibadahnya, tetapi melupakan ridhanya orang tua, padahal restu mereka adalah
pintu langit yang tak tergantikan. Di balik kasih seorang ibu, tersimpan rahmat
Allah yang begitu luas, dan ketika kasih itu terluka, dampaknya bisa
menghalangi kebaikan terbesar sekalipun, termasuk kalimat syahadat di akhir
hayat.
Alqamah
tidak pernah meninggalkan majelis Rasulullah Saw. Dia sangat jujur dalam urusan
uang dan timbangan. Sayang, ia memutuskan hubungan dengan ibunya, karena lebih
mengutamakan istrinya.
Sewaktu
sakit menjelang ajalnya, para sahabatnya menuntun dia mengucapkan kalimat
syahadat, tetapi dia tidak mampu menirukan. Anehnya, jika sahabatnya
menuntunnya mengucapkan kalimat lain, ia dapat menirukan. Kejadian ini kemudian
disampaikan kepada Rasulullah Saw.
“Wahai
Rasulullah, Alqamah tidak dapat mengucapkan kalimat syahadat padahal ia
sekarang sedang sekarat,” lapor teman-temannya.
Rasulullah
Saw. segera pergi menengok Alqamah. Beliau sendiri kemudian menuntun Alqamah
mengucapkan kalimat syahadat, namun Alqamah tak mampu menirukan. Permasalahan
Alqamah ini menjadi besar, karena Rasulullah Saw. sendiri tidak mampu
menuntunnya mengucapkan kalimat tauhid.
“Beritahu
kami, bagaimana keadaan suamimu dan bagaimana amalnya?” tanya Rasulullah Saw.
kepada istri Alqamah.
“Wahai
Rasulullah, semua amalnya baik kecuali satu hal,” jawabnya.
“Apa
itu?”
“Demi
cintanya kepadaku ia memutuskan hubungan dengan ibunya.”
“Jelaslah
sekarang. Itulah yang menyebabkan ia tidak dapat mengucapkan syahadat,” kata
Rasulullah Saw.
Rasulullah
Saw. kemudian mengutus seseorang untuk menemui ibu Alqamah.
“Sampaikan
salamku kepadanya dan tanyakan apakah ia mau datang kepadaku atau aku yang
datang mengunjunginya?”
Sesampainya
di rumah ibu Alqamah, utusan itu segera menyampaikan pesan Rasulullah Saw.
“Diriku
sebagai tebusan beliau, aku lebih berhak mengunjunginya,” jawab ibu Alqamah.
“Rasulullah
berada di rumah Alqamah,” kata utusan itu.
Ibu
Alqamah kemudian pergi ke rumah anaknya.
“Maafkanlah
anakmu,” pinta Rasulullah Saw. kepada sang ibu.
“Tidak,
wahai Rasulullah, aku tidak bisa memaafkannya. Luka hatiku ini terlalu dalam.
Tiap malam aku tak bisa tidur nyenyak karena perasaan marah yang bergolak di
dadaku. Sementara, ia tidur nyenyak di samping istrinya. Tidak, aku tak bisa
memaafkannya,” kata sang ibu.
Rasulullah
Saw. membujuk ibu ini agar mau meridhai anaknya, tetapi tidak berhasil.
Beliau
kemudian menemukan siasat.
“Kumpulkanlah
kayu,” perintah Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya. Tak berapa lama,
terkumpullah kayu dalam jumlah besar. Beliau kemudian memerintahkan untuk
membakar timbunan kayu itu.
Melihat
api yang menjilat-jilat, sang ibu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang hendak
engkau perbuat dengan api itu?”
“Kami
akan melemparkan Alqamah ke dalamnya.”
“Anakku,
buah hatiku akan engkau bakar?” jerit ibu Alqamah.
“Jika
engkau tidak bisa memaafkan, Allah akan membakarnya dengan api akhirat yang
jauh lebih dahsyat dan besar.”
Menyadari
hal ini, sang ibu akhirnya akan berkata, “Wahai Rasulullah, aku maafkan dia.”
Rasulullah
Saw. kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Tengoklah Alqamah! Bagaimana
keadaannya?”
Mereka segera bergegas ke dalam rumah Alqamah. Dan dari balik dinding, mereka mendengar Alqamah mengucapkan kalimat syahadat.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa surga benar-benar berada di bawah telapak kaki ibu, dan ridha Allah bergantung pada ridhanya orang tua. Tidak cukup menjadi baik di mata manusia jika belum benar di hadapan ibu dan ayah. Alqamah akhirnya mampu mengucap syahadat setelah hati ibunya luluh dan memaafkan, menunjukkan bahwa keretakan hubungan keluarga bisa menjadi penghalang antara kita dan akhir yang husnul khatimah. Semoga kisah ini menggerakkan kita untuk lebih berbakti, merendah, dan memuliakan kedua orang tua, sebelum terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar