Dalam perjalanan hidup dan
ilmu, tak jarang perbedaan pendapat menjadi ujian bagi kelapangan dada dan
kebesaran jiwa. Kisah berikut ini menghadirkan teladan luar biasa dari Imam
Syafi’i, seorang ulama besar yang tidak hanya agung dalam ilmu, tetapi juga
luhur dalam akhlak. Dengan kelembutan hati dan kebijaksanaannya, beliau
mengajarkan makna sejati dari ukhuwah, adab dalam perbedaan, dan pentingnya
menjaga hubungan antarsesama. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah,
melainkan pelita hikmah yang menuntun kita untuk lebih bijak dalam menyikapi
perbedaan dan lebih lembut dalam membangun persaudaraan.
Diriwayatkan
bahwa Yunus bin Abdi al-A’la berselisih pendapat dengan sang guru, yaitu
Al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i) saat beliau mengajar di
masjid. Hal ini membuat Yunus bangkit dan meninggalkan majelis itu dalam
keadaan marah.
Kala
malam menjelang, Yunus mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia berkata, “Siapa di
pintu?” Orang yang mengetuk menjawab, “Muhammad bin Idris”.
Seketika
Yunus berusaha untuk mengingat semua orang yang ia kenal dengan nama itu,
hingga ia yakin tidak ada siapapun yang bernama Muhammad bin Idris yang ia
kenal, kecuali Imam Syafi’i. Saat ia membuka pintu, ia sangat terkejut dengan
kedatangan sang guru besar yaitu Imam Syafi’i.
Imam
Syafi’i berkata, “Wahai Yunus, selama ini kita disatukan dalam ratusan masalah,
apakah karena satu masalah saja kita harus berpisah? Janganlah engkau berusaha
untuk menjadi pemenang dalam setiap perbedaan pendapat. Terkadang, meraih hati
orang lain itu lebih utama daripada meraih kemenangan atasnya. Jangan pula
engkau hancurkan jembatan yang telah engkau bangun dan engkau lewati di atasnya
berulang kali, karena boleh jadi kelak satu hari nanti engkau akan
membutuhkannya kembali. Berusahalah dalam hidup ini agar engkau selalu membenci
perilaku orang yang salah, tetapi jangan pernah engkau membenci orang yang
melakukan kesalahan itu.”
Imam
Syafi’i melanjutkan perkataannya, “Engkau harus marah saat melihat kemaksiatan,
tapi berlapang dadalah dan bimbinglah para pelaku kemaksiatan. Engkau boleh
mengkritik pendapat yang berbeda, namun tetap menghormati terhadap orang yang
berbeda pendapat. Karena tugas kita dalam kehidupan ini adalah menghilangkan
penyakit, dan bukan membunuh orang yang sakit. Maka apabila ada orang yang
datang meminta maaf kepadamu, maka segera maafkan. Apabila ada orang yang
tertimpa kesedihan, maka dengarkanlah keluhannya. Apabila datang orang yang membutuhkan,
maka penuhilah kebutuhannya sesuai dengan yang Allah berikan kepadamu. Apabila
datang orang yang menasihatimu, maka berterima kasihlah atas nasihat yang ia
sampaikan kepadamu. Bahkan seandainya satu hari nanti engkau hanya menuai duri,
tetaplah engkau untuk senantiasa menanam bunga. Karena sesungguhnya balasan
yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Dermawan jauh lebih
baik dari balasan apapun yang mampu diberikan oleh manusia.”
Beliau pun menangis dan merangkul sang imam sembari memohon maaf dan berterima kasih atas nasihatnya.
Dari peristiwa kecil yang sarat makna ini, kita belajar bahwa kemenangan sejati bukanlah saat kita menang dalam debat, melainkan saat kita mampu merangkul dengan kasih sayang di tengah perbedaan. Imam Syafi’i menunjukkan bahwa ilmu tanpa akhlak akan kehilangan arah, dan perbedaan tanpa cinta akan melahirkan perpecahan. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk lebih bijak dalam bersikap, lebih lembut dalam berkata, dan lebih besar dalam memaafkan, agar hidup kita menjadi jembatan kebaikan, bukan tembok pemisah di antara sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar