Kamis, 10 Juli 2025

Saat Ilmu Bertemu Akhlak: Kisah Keteladanan Imam Syafi’i

Dalam perjalanan hidup dan ilmu, tak jarang perbedaan pendapat menjadi ujian bagi kelapangan dada dan kebesaran jiwa. Kisah berikut ini menghadirkan teladan luar biasa dari Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang tidak hanya agung dalam ilmu, tetapi juga luhur dalam akhlak. Dengan kelembutan hati dan kebijaksanaannya, beliau mengajarkan makna sejati dari ukhuwah, adab dalam perbedaan, dan pentingnya menjaga hubungan antarsesama. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pelita hikmah yang menuntun kita untuk lebih bijak dalam menyikapi perbedaan dan lebih lembut dalam membangun persaudaraan.

Diriwayatkan bahwa Yunus bin Abdi al-A’la berselisih pendapat dengan sang guru, yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i) saat beliau mengajar di masjid. Hal ini membuat Yunus bangkit dan meninggalkan majelis itu dalam keadaan marah.

Kala malam menjelang, Yunus mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia berkata, “Siapa di pintu?” Orang yang mengetuk menjawab, “Muhammad bin Idris”.

Seketika Yunus berusaha untuk mengingat semua orang yang ia kenal dengan nama itu, hingga ia yakin tidak ada siapapun yang bernama Muhammad bin Idris yang ia kenal, kecuali Imam Syafi’i. Saat ia membuka pintu, ia sangat terkejut dengan kedatangan sang guru besar yaitu Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i berkata, “Wahai Yunus, selama ini kita disatukan dalam ratusan masalah, apakah karena satu masalah saja kita harus berpisah? Janganlah engkau berusaha untuk menjadi pemenang dalam setiap perbedaan pendapat. Terkadang, meraih hati orang lain itu lebih utama daripada meraih kemenangan atasnya. Jangan pula engkau hancurkan jembatan yang telah engkau bangun dan engkau lewati di atasnya berulang kali, karena boleh jadi kelak satu hari nanti engkau akan membutuhkannya kembali. Berusahalah dalam hidup ini agar engkau selalu membenci perilaku orang yang salah, tetapi jangan pernah engkau membenci orang yang melakukan kesalahan itu.”

Imam Syafi’i melanjutkan perkataannya, “Engkau harus marah saat melihat kemaksiatan, tapi berlapang dadalah dan bimbinglah para pelaku kemaksiatan. Engkau boleh mengkritik pendapat yang berbeda, namun tetap menghormati terhadap orang yang berbeda pendapat. Karena tugas kita dalam kehidupan ini adalah menghilangkan penyakit, dan bukan membunuh orang yang sakit. Maka apabila ada orang yang datang meminta maaf kepadamu, maka segera maafkan. Apabila ada orang yang tertimpa kesedihan, maka dengarkanlah keluhannya. Apabila datang orang yang membutuhkan, maka penuhilah kebutuhannya sesuai dengan yang Allah berikan kepadamu. Apabila datang orang yang menasihatimu, maka berterima kasihlah atas nasihat yang ia sampaikan kepadamu. Bahkan seandainya satu hari nanti engkau hanya menuai duri, tetaplah engkau untuk senantiasa menanam bunga. Karena sesungguhnya balasan yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Dermawan jauh lebih baik dari balasan apapun yang mampu diberikan oleh manusia.”

Beliau pun menangis dan merangkul sang imam sembari memohon maaf dan berterima kasih atas nasihatnya.

Dari peristiwa kecil yang sarat makna ini, kita belajar bahwa kemenangan sejati bukanlah saat kita menang dalam debat, melainkan saat kita mampu merangkul dengan kasih sayang di tengah perbedaan. Imam Syafi’i menunjukkan bahwa ilmu tanpa akhlak akan kehilangan arah, dan perbedaan tanpa cinta akan melahirkan perpecahan. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk lebih bijak dalam bersikap, lebih lembut dalam berkata, dan lebih besar dalam memaafkan, agar hidup kita menjadi jembatan kebaikan, bukan tembok pemisah di antara sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saat Ilmu Bertemu Akhlak: Kisah Keteladanan Imam Syafi’i

Dalam perjalanan hidup dan ilmu, tak jarang perbedaan pendapat menjadi ujian bagi kelapangan dada dan kebesaran jiwa. Kisah berikut ini me...