Dalam khazanah keilmuan Islam,
adab menempati posisi yang sangat mulia, bahkan seringkali ditempatkan lebih
tinggi daripada ilmu itu sendiri. Para ulama salaf menyampaikan bahwa tidak
akan sempurna ilmu seseorang tanpa disertai dengan adab. Salah satu bentuk adab
yang paling agung adalah mahabbah (cinta) kepada guru atau syekh.
Ungkapan Arab klasik yang berbunyi “مَحَبَّةُ
الشَّيْخِ مَوْهِبَةٌ إِلٰهِيَّةٌ” (cinta kepada guru adalah karunia dari
Allah) mengandung makna mendalam bahwa cinta seorang murid kepada gurunya
bukan sesuatu yang biasa, melainkan sebuah anugerah ruhani yang diberikan
langsung oleh Allah Swt. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara murid dan guru
bukan sekadar formalitas akademik, tetapi sebuah ikatan spiritual yang penuh
keberkahan.
Cinta kepada guru adalah wujud
pengakuan akan kedudukan mulia seorang pendidik sebagai pewaris ilmu para nabi.
Dalam perspektif tasawuf maupun pendidikan Islam secara umum, cinta ini bukan
didasarkan pada kepribadian duniawi, tetapi pada peran ilahiah yang diemban
oleh sang guru dalam membimbing, mengarahkan, dan mentransformasikan jiwa
murid. Ketika Allah menanamkan rasa cinta di hati seorang murid kepada gurunya,
itu adalah tanda bahwa Allah sedang membukakan jalan kemudahan dalam pencapaian
ilmu, pemahaman yang benar, dan keberkahan dalam menuntut ilmu. Inilah makna
dari mawhibah ilahiyyah, karunia dari langit yang hanya Allah titipkan
kepada hamba yang dikehendaki-Nya.
Rasa cinta yang sejati kepada
guru akan tampak dalam sikap rendah hati, hormat, dan semangat belajar yang
tinggi. Seorang murid yang mencintai gurunya tidak akan menyela ucapannya,
tidak mencela kekurangannya, serta menjaga kehormatannya baik dalam kehadiran
maupun ketiadaan. Ia akan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, mendoakan
gurunya, dan menjadikan pesan-pesan gurunya sebagai pegangan hidup. Inilah
sebab mengapa para ulama terdahulu selalu mengajarkan agar murid mencintai
gurunya lebih dari mencintai ilmu itu sendiri, karena dengan cinta itulah ilmu
akan mudah menyerap dan memberikan pengaruh dalam kehidupan.
Sejarah para ulama Islam penuh dengan kisah cinta murid kepada gurunya. Imam Syafi’i, misalnya, sangat mencintai dan menghormati gurunya, Imam Malik, sampai ia tidak berani membalik halaman buku di hadapannya karena takut mengganggu. Imam Ahmad bin Hanbal pun tidak segan berjalan kaki jauh hanya untuk menimba ilmu dari gurunya, bahkan ketika usianya sudah lanjut. Cinta seperti ini melahirkan murid-murid yang bukan hanya cerdas, tetapi juga mulia akhlaknya dan kokoh imannya. Hal ini menunjukkan bahwa mahabbah kepada guru bukanlah pengkultusan, melainkan bentuk syukur kepada Allah atas wasilah ilmu-Nya.
Di era modern yang sarat dengan semangat individualisme dan kebebasan berekspresi, nilai-nilai seperti cinta dan hormat kepada guru kerap dianggap kuno. Namun sejatinya, ungkapan “مَحَبَّةُ الشَّيْخِ مَوْهِبَةٌ إِلٰهِيَّةٌ” justru sangat relevan sebagai pengingat bahwa keberhasilan belajar tidak cukup hanya dengan kecerdasan otak, tetapi juga ketulusan hati. Jika Allah mengaruniakan kita hati yang mencintai guru, maka itulah salah satu tanda keberkahan ilmu kita. Semoga generasi pelajar saat ini mampu menjaga tradisi mulia ini, menuntut ilmu dengan adab, membangun hubungan spiritual dengan guru, dan merawat cinta sebagai jalan menuju cahaya ilmu dan kedekatan dengan Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar