Dalam dunia yang kerap memuja
gelar dan prestasi, kisah para salafus-saleh mengajarkan bahwa kemuliaan sejati
terletak pada akhlak, bukan hanya ilmu. Salah satu akhlak luhur yang mulai
pudar di zaman ini adalah penghormatan mendalam kepada guru. Kisah Syekh
Syamsuddin ad-Dimyati yang menolak berkendara di hadapan orang tua buta hanya
karena pernah belajar satu ayat darinya menjadi potret keteladanan yang langka.
Ini bukan sekadar adab, melainkan cerminan kerendahan hati yang lahir dari
kesadaran akan pentingnya ilmu dan siapa pun yang menjadi perantaranya.
Dikatakan
di dalam kitab “Tanbih al-Mughtarrin”, “Dan di antara akhlak para
salafus-saleh adalah sangat beradab kepada orang yang telah mengajarinya surat
maupun satu ayat dari Al-Qur’an, padahal itu dilakukan waktu masih kecil.
Mereka selalu beradab kepada guru mereka yang telah mengajar satu surat, ayat
atau bab suatu ilmu sampai tidak mau berjalan dengan kendaraan di depan gurunya
atau tidak berani menikahi istri guru yang sudah dicerainya sekalipun mereka
sudah menjadi ulama Islam atau guru tarekat.”
Imam
Sya’rani rahimahullah pernah berkata, “Suatu hari aku bersama Syekh
Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah (w. 918 H). Syekh Syamsuddin melihat
orang tua buta yang dituntun oleh anak perempuannya, tiba-tiba Syekh Syamsuddin
turun dari kendaraannya dan mencium tangannya dan mengantarkannya dalam
perjalanan yang jauh. ‘Saat pulang aku bertanya kepadanya mengenai orang tua
tadi.’ Dan Syekh Syamsuddin berkata, ‘Aku pernah belajar ayat Al-Qur’an kepada
orang tua itu sehingga aku tidak bisa untuk berjalan di hadapannya sedangkan
aku berkendaraan.”
Syekh Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah adalah seorang yang diberi kedudukan (tinggi) di hadapan para raja, juga dianugerahi keyakinan, ilmu, dan kebaikan. Menurut Imam Sya’rani, “Aku tidak pernah melihat seorang ulama dari temannya yang seperti beliau. Pada suatu hari aku melihatnya berada di antara dua raja dan masyarakat berdesakan untuk mencium tangan Syekh Syamsuddin. Sedangkan untuk orang-orang yang tidak bisa sampai kepadanya mereka membentangkan kain agar bisa bersentuhan dengan pakaian Syekh Syamsuddin kemudian mencium kain tersebut sebagaimana jamaah haji melakukannya saat di Ka’bah dan hal tersebut terjadi saat ia melewati kota Kairo.”
Dari kisah ini kita belajar bahwa kehormatan seorang murid tidak terletak pada tingginya jabatan atau luasnya ilmu, tetapi pada bagaimana ia menjaga adab kepada guru, sekecil apa pun jasa sang guru kepadanya. Akhlak Syekh Syamsuddin adalah cermin keagungan jiwa yang menjadikan ilmu sebagai jalan menuju Allah, bukan sekadar sarana pengakuan dunia. Semoga kita bisa mewarisi semangat ini, menjaga adab dalam setiap langkah, dan menghormati para guru kita sebagai bagian dari penghambaan kepada Sang Maha Pemberi Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar