Dalam kehidupan sosial yang sarat
dinamika emosi, opini, dan relasi kuasa, sering kali manusia terjebak dalam
ekstrem perasaan (mencintai atau membenci secara membabi buta). Ungkapan “Cinta
buta menutup mata terhadap kesalahan, dan benci buta menutup mata terhadap
kebenaran. Keduanya bukan cermin keadilan, tapi bayangan ego yang menyamar
sebagai prinsip,” adalah refleksi mendalam tentang bagaimana emosi ekstrem
dapat mengaburkan objektivitas dan menjauhkan kita dari nilai-nilai keadilan
sejati. Ungkapan ini mengajak kita untuk mengoreksi diri: apakah yang kita bela
benar karena memang benar, atau karena kita menyukainya? Apakah yang kita benci
benar-benar salah, atau hanya karena kita membencinya?
Cinta buta adalah
bentuk keterikatan emosional yang menolak melihat kelemahan atau kesalahan pada
apa atau siapa yang dicintai. Dalam konteks ini, cinta tidak lagi menjadi
kekuatan yang membangun, tetapi menjadi tirai yang menghalangi pandangan
jernih. Kita membenarkan apa pun yang dilakukan orang yang kita dukung, bahkan
ketika jelas-jelas keliru. Ini dapat terjadi dalam hubungan pribadi, fanatisme
politik, hingga dukungan terhadap tokoh publik. Dalam cinta yang buta, keadilan
menjadi timpang karena kebenaran tidak lagi diukur dari prinsip, melainkan dari
loyalitas.
Sebaliknya, benci buta
menutup jalan bagi pengakuan terhadap kebaikan atau kebenaran yang datang dari
pihak yang tidak kita sukai. Emosi negatif yang tak terkendali ini membuat kita
menolak melihat sisi baik dari sesuatu yang berbeda atau berseberangan. Bahkan
ketika musuh melakukan sesuatu yang benar, kita tetap akan menolaknya hanya
karena berasal dari mereka. Dalam kondisi ini, kita tidak lagi mencari
kebenaran, tetapi hanya ingin menegaskan posisi, memperkuat ego, dan
menjatuhkan yang kita benci. Ini adalah bentuk penolakan terhadap keadilan yang
sesungguhnya.
Ungkapan ini menegaskan bahwa baik cinta maupun benci yang buta hanyalah manifestasi ego yang menyamar sebagai prinsip. Ego yang merasa paling benar akan mencari pembenaran bukan pada kejujuran atau nilai, melainkan pada siapa yang diuntungkan. Inilah sebabnya mengapa kita sering melihat seseorang tampak membela nilai tertentu, padahal yang diperjuangkannya adalah egonya sendiri. Prinsip sejati harus berdiri di atas keseimbangan, kejujuran, dan keberanian untuk mengakui kebenaran meski datang dari lawan, serta mengakui kesalahan meski berasal dari yang kita dukung.
Sebagai manusia yang ingin hidup adil dan bijak, kita ditantang untuk mencintai dengan mata terbuka dan membenci dengan hati yang sadar. Keadilan tidak pernah lahir dari fanatisme, tetapi dari keberanian untuk menimbang dengan jujur. Ungkapan ini mengajak kita menjadi pribadi yang tidak mudah dikendalikan oleh emosi ekstrem, tetapi tetap berpijak pada kesadaran moral dan etika. Di tengah dunia yang kerap mempolarisasi, keadilan yang sejati hanya mungkin tumbuh dalam jiwa yang jernih dan hati yang bersih dari topeng ego.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar