Minggu, 15 Juni 2025

Menimbang dengan Jujur, Bukan Membenarkan dengan Ego

Dalam kehidupan sosial yang sarat dinamika emosi, opini, dan relasi kuasa, sering kali manusia terjebak dalam ekstrem perasaan (mencintai atau membenci secara membabi buta). Ungkapan “Cinta buta menutup mata terhadap kesalahan, dan benci buta menutup mata terhadap kebenaran. Keduanya bukan cermin keadilan, tapi bayangan ego yang menyamar sebagai prinsip,” adalah refleksi mendalam tentang bagaimana emosi ekstrem dapat mengaburkan objektivitas dan menjauhkan kita dari nilai-nilai keadilan sejati. Ungkapan ini mengajak kita untuk mengoreksi diri: apakah yang kita bela benar karena memang benar, atau karena kita menyukainya? Apakah yang kita benci benar-benar salah, atau hanya karena kita membencinya?

Cinta buta adalah bentuk keterikatan emosional yang menolak melihat kelemahan atau kesalahan pada apa atau siapa yang dicintai. Dalam konteks ini, cinta tidak lagi menjadi kekuatan yang membangun, tetapi menjadi tirai yang menghalangi pandangan jernih. Kita membenarkan apa pun yang dilakukan orang yang kita dukung, bahkan ketika jelas-jelas keliru. Ini dapat terjadi dalam hubungan pribadi, fanatisme politik, hingga dukungan terhadap tokoh publik. Dalam cinta yang buta, keadilan menjadi timpang karena kebenaran tidak lagi diukur dari prinsip, melainkan dari loyalitas.

Sebaliknya, benci buta menutup jalan bagi pengakuan terhadap kebaikan atau kebenaran yang datang dari pihak yang tidak kita sukai. Emosi negatif yang tak terkendali ini membuat kita menolak melihat sisi baik dari sesuatu yang berbeda atau berseberangan. Bahkan ketika musuh melakukan sesuatu yang benar, kita tetap akan menolaknya hanya karena berasal dari mereka. Dalam kondisi ini, kita tidak lagi mencari kebenaran, tetapi hanya ingin menegaskan posisi, memperkuat ego, dan menjatuhkan yang kita benci. Ini adalah bentuk penolakan terhadap keadilan yang sesungguhnya.

Ungkapan ini menegaskan bahwa baik cinta maupun benci yang buta hanyalah manifestasi ego yang menyamar sebagai prinsip. Ego yang merasa paling benar akan mencari pembenaran bukan pada kejujuran atau nilai, melainkan pada siapa yang diuntungkan. Inilah sebabnya mengapa kita sering melihat seseorang tampak membela nilai tertentu, padahal yang diperjuangkannya adalah egonya sendiri. Prinsip sejati harus berdiri di atas keseimbangan, kejujuran, dan keberanian untuk mengakui kebenaran meski datang dari lawan, serta mengakui kesalahan meski berasal dari yang kita dukung.

Sebagai manusia yang ingin hidup adil dan bijak, kita ditantang untuk mencintai dengan mata terbuka dan membenci dengan hati yang sadar. Keadilan tidak pernah lahir dari fanatisme, tetapi dari keberanian untuk menimbang dengan jujur. Ungkapan ini mengajak kita menjadi pribadi yang tidak mudah dikendalikan oleh emosi ekstrem, tetapi tetap berpijak pada kesadaran moral dan etika. Di tengah dunia yang kerap mempolarisasi, keadilan yang sejati hanya mungkin tumbuh dalam jiwa yang jernih dan hati yang bersih dari topeng ego.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dari Informasi ke Transformasi: Mewujudkan Pendidikan yang Membebaskan

Dalam dunia pendidikan yang terus berkembang, filsuf asal Brasil Paulo Freire menawark...