Setiap amal besar bermula dari
niat yang tersembunyi di kedalaman hati. Niat bukan sekadar keinginan,
melainkan cermin keikhlasan dan kemurnian tujuan. Dalam sejarah para salihin,
ada banyak kisah yang mengajarkan betapa pentingnya meluruskan niat sebelum
melakukan amal saleh. Salah satunya adalah kisah penuh hikmah dari Habib
Abdullah al-Haddad, seorang ulama besar yang terkenal dengan kebijaksanaan dan
ketajaman mata hatinya dalam menilai manusia.
Seorang laki-laki mengunjungi
Habib Abdullah al-Haddad.
“Aku ingin membangun sebuah
masjid,” kata laki-laki itu.
“Perbaiki niatmu.”
“Aku telah memperbaiki niatku.”
“Baiklah, jika niatmu telah benar, aku ingin
tanya, bagaimana jika setelah masjid selesai dibangun masyarakat menganggap
orang lain yang telah membangunnya? Mereka sama sekali tidak menyebut namamu,”
tanya beliau.
“Hal itu tentu akan terasa
berat bagiku,” jawabnya.
“Niatmu belum benar,” kata
Habib Abdullah al-Haddad.
Datang seorang lelaki lain.
“Aku ingin membangun masjid
ikhlas demi Allah.”
“Berikanlah kepadaku dana yang
telah kamu siapkan untuk membangun masjid. Nanti terserah pada Habibmu
Abdullah, ia akan gunakan uang itu untuk membangun masjid, makan atau
dibagi-bagikan. Tetapi, di akhirat nanti kamu akan memperoleh pahala membangun
masjid.”
“Akan
kupikir-pikir dahulu.”
Setelah
berpikir, akhirnya lelaki itu menolak usulan Habib Abdullah al-Haddad.
“Harta
tidak akan keluar kecuali sebagaimana datangnya,” kata Habib Abdullah
al-Haddad.
Seorang laki-laki lain datang
menemui Habib Abdullah al-Haddad.
“Wahai Habib, aku ini seorang
pedagang. Sudah lama aku berniat membangun masjid semata-mata karena Allah.
Untuk mewujudkan cita-citaku ini, aku menabung tiap kali memperoleh keuntungan.
Sekarang tabunganku telah cukup untuk membangun masjid.”
“Jika kamu benar-benar ingin
membangun masjid, berikanlah tabunganmu itu kepadaku, terserah Habibmu
Abdullah, akan ia gunakan uang itu untuk membangun masjid, menyedekahkannya
atau memakannya. Tetapi, di surga nanti kamu akan memperoleh pahala membangun
masjid dan pahala orang yang beribadah di dalamnya.”
“Wahai Habib, jika benar
ucapanmu itu, akan kuserahkan semua tabunganku kepadamu, dan aku tidak perlu
bersusah payah memikirkan pembangunan masjid. Aku akan pulang sekarang untuk
mengirimkan uang itu kepadamu. Gunakanlah uang itu sesukamu,” kata lelaki itu
kegirangan.
“Habibmu ini tidak membutuhkan tabunganmu. Ia hanya ingin menguji niatmu. Sekarang, bangunlah sebuah masjid dan umumkanlah rencana pembangunan itu kepada masyarakat, karena niatmu telah benar.”
Demikianlah, keikhlasan bukan hanya diucapkan, tetapi diuji melalui pengorbanan dan ketulusan. Siapa yang mampu melewati ujian niat, maka amalnya akan diterima dengan kemuliaan. Dari kisah ini kita belajar bahwa amal yang diterima di sisi Allah bukan sekadar amal yang besar bentuknya, tapi yang murni tujuannya. Maka luruskanlah niat, karena dari situlah segala keberkahan bermula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar