Kebahagiaan adalah dambaan
setiap insan. Dalam pencariannya, banyak orang menempuh berbagai jalan: harta,
jabatan, popularitas, bahkan pengakuan dari manusia lain. Namun, sering kali
setelah semua itu tercapai, hati tetap merasa hampa. Dalam Islam, kebahagiaan
sejati bukanlah sekadar kesenangan lahiriah, melainkan kedamaian batin yang
muncul ketika seseorang hidup sesuai dengan fitrah dan hakikat dirinya.
Hidup sesuai dengan hakikat
diri berarti mengenali siapa kita, apa tujuan kita diciptakan, dan bagaimana
kita menjalani kehidupan ini dengan nilai-nilai yang benar. Allah Swt. telah
menciptakan manusia dengan potensi dan peran unik, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ketika seseorang hidup dengan tujuan untuk mengabdi kepada Allah dan
menjalankan amanah hidup sesuai dengan fitrahnya, maka di sanalah letak
kedamaian dan kebahagiaan sejati.
Sayangnya, banyak orang
terperangkap dalam ekspektasi sosial, standar kebahagiaan palsu, dan tekanan
lingkungan. Mereka berusaha menjadi seperti orang lain, meniru jalan hidup yang
bukan miliknya, dan mengabaikan suara hatinya sendiri. Padahal, kebahagiaan itu
bukan tentang menjadi lebih baik dari orang lain, tapi menjadi versi terbaik
dari diri sendiri yang telah Allah takdirkan. Seorang bijak pernah berkata, “Bila
engkau memaksa diri menjadi seperti orang lain, maka engkau akan kehilangan
jati dirimu dan tidak akan pernah bahagia.”
Hidup sesuai dengan hakikat
diri juga bermakna menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia
tidak menyuruh kita untuk pasrah dan berhenti berkembang, tetapi mendorong untuk
bertumbuh dengan kesadaran akan siapa diri kita sebenarnya. Ini adalah bentuk
syukur yang mendalam atas ciptaan Allah, karena setiap jiwa diciptakan dengan
kesempurnaan yang khas. Rasulullah Saw. bersabda,
طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ
عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ
“Beruntunglah orang yang disibukkan dengan aib dirinya daripada memikirkan aib orang lain” (HR. Al-Bazzar). Ini adalah panggilan agar kita lebih fokus membina diri sesuai dengan hakikat yang telah Allah tetapkan.
Bahagia bukanlah sesuatu yang dicari di luar, melainkan ditemukan ketika kita kembali ke dalam. Saat kita hidup dalam kejujuran terhadap diri sendiri, memaknai kehidupan dengan tujuan ilahiah, dan tidak memaksakan topeng-topeng duniawi, maka hati akan menemukan ketenangan yang tak tergantikan. Bahagia itu sederhana: ketika kita berdamai dengan diri sendiri, hidup sesuai dengan takdir dan potensi kita, dan berjalan dalam cahaya petunjuk-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar