Senin, 30 Juni 2025

Fasih Bicara, Tapi Tunduk di Hadapan Ibu

Dalam kehidupan yang semakin didominasi oleh kemampuan intelektual dan keterampilan berbicara, kita kerap lupa bahwa adab jauh lebih utama daripada sekadar kecerdasan. Sayyidina Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah Saw. yang dikenal karena kedalaman ilmunya, pernah berkata, “Jangan gunakan kefasihan bicaramu (mendebat) di hadapan ibumu yang dahulu mengajarkanmu berbicara.” Ungkapan ini bukan sekadar nasihat etika, melainkan pelajaran hidup tentang pentingnya adab, penghormatan, dan kesadaran diri akan asal-usul kita. Ia mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam keangkuhan ilmu, terutama terhadap mereka yang berperan besar dalam membentuk diri kita.

Nasihat ini memiliki makna mendalam: sebesar apa pun kemampuan seseorang dalam berbicara, berdiplomasi, atau berdebat, tidak sepantasnya ia menggunakan kemampuannya itu untuk merendahkan atau mengalahkan orang tuanya, terlebih ibunya. Sebab, ibu adalah orang pertama yang mengajarkan anak berbicara, mendidik sejak kecil, bahkan sebelum anak itu mengenal huruf atau logika. Maka, ketika seseorang menggunakan kemampuannya untuk membantah atau menyakiti hati ibunya, sesungguhnya ia sedang mengkhianati sumber ilmunya sendiri. Ini adalah bentuk kesombongan yang halus, tapi sangat tercela di mata Allah dan manusia.

Lebih jauh lagi, ucapan Sayyidina Ali ini mengajarkan kita tentang pentingnya tawadhu’ (rendah hati) dalam hubungan keluarga. Ibu bukan sekadar orang tua secara biologis, tetapi simbol kasih sayang, pengorbanan, dan sumber kebijaksanaan. Adalah ironi besar jika seseorang yang dihormati di luar rumah karena retorikanya justru menjadi sosok keras dan membantah di depan ibunya sendiri. Kerendahan hati di hadapan ibu adalah ukuran sejati dari kedewasaan spiritual seseorang, bukan sekadar prestasi akademik atau kekuatan logika.

Kata-kata Sayyidina Ali juga merupakan peringatan bahwa ilmu harus dihiasi dengan adab. Kefasihan bicara adalah anugerah, tetapi ia bisa menjadi bencana bila digunakan tanpa kendali hati. Dalam Islam, ilmu tanpa akhlak adalah seperti pohon tanpa buah. Jika seseorang menempuh ilmu hanya untuk menang dalam perdebatan, bukan untuk membangun dan melayani, maka ia telah kehilangan ruh dari ilmu itu sendiri. Dalam konteks keluarga, adab kepada orang tua, khususnya ibu, adalah cerminan keberkahan ilmu yang sesungguhnya.

Nasihat ini menegaskan bahwa kedudukan ibu sangatlah agung, dan tidak layak bagi seorang anak (seberapa pun pintarnya) untuk meninggikan suara, apalagi mendebat dengan kesombongan. Bahkan jika kita merasa benar, menundukkan suara dan hati di hadapan ibu adalah bagian dari kesempurnaan iman. Semoga kita semua mampu menjadi anak-anak yang berilmu dan beradab, yang menjadikan kefasihan bicara sebagai alat untuk berbakti, bukan untuk membantah. Sebab, di balik segala pencapaian kita hari ini, ada doa, cucuran air mata, dan peluh seorang ibu yang tak pernah meminta balas.

Minggu, 29 Juni 2025

Delima Amanah di Tangan Sang Mantan Raja

Dalam kehidupan ini, amanah bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga tentang integritas dan kejujuran dalam menjalankan tanggung jawab, sekecil apa pun itu. Kisah inspiratif tentang Ibrahim bin Adham, seorang raja yang meninggalkan singgasana demi mencari ketenangan jiwa dalam kesederhanaan, menggambarkan betapa mulianya hati yang bersih dan amanah. Melalui peran barunya sebagai tukang kebun, Ibrahim menunjukkan kepada kita semua bahwa kejujuran tetaplah prinsip yang agung, meskipun dalam hal yang tampak sepele seperti mencicipi buah delima.

Ibrahim bin Adham adalah seorang raja yang kekuasaannya sangat luas. Oleh karena kehidupan yang mewah dan serba cukup tidak membawa ketenangan kepada jiwanya. Beliau akhirnya memilih untuk hidup sebagai rakyat biasa dengan mengambil upah sebagai tukang kebun.

Kebun yang dijaga beliau banyak ditanami pohon delima. Beliau menjaga kebun itu dengan baik. Suatu hari tuan kebun itu datang dan meminta Ibrahim membawakan sebiji delima yang masak lagi manis. Ibrahim pun segera ke kebun delima untuk mencari buah delima yang paling masak. Ketika tuannya merasakan delima tersebut, air mukanya menjadi berubah dan kemudian berkata, “Wahai Ibrahim, tolong bawakan aku sebiji delima yang lebih manis!”. Sekali lagi Ibrahim pergi mencari buah delima yang lain tanpa mengetahui mengapa tuannya itu menyuruh dia membawakan sebiji lagi.

Setelah buah yang diberikan kepada tuannya itu dimakan, dengan spontan buah itu dibuang oleh tuannya. Ternyata buah yang dimakan tuannya masih masam sehingga ia sangat marah. Ia pun berkata dengan suara yang keras, “Wahai Ibrahim, heran sekali aku melihatmu. Sudah begitu lama kamu menjaga kebunku, apakah kamu tidak mengetahui mana buah delima yang masam dan manis?”

Jawab Ibrahim dengan suara yang lembut dan sopan, “Tuan, bukankah saya ini diamanahkan untuk menjaga kebun supaya selalu subur dengan bermacam-macam buah, tetapi selama ini tuan tidak memberi izin kepada saya untuk merasakan rasa buahnya.” Betapa terkejutnya tuannya itu saat mendengar jawaban tersebut. Tidak terduga sama sekali tukang kebunnya itu mempunyai sifat amanah yang sangat besar. Ia pun lantas takjub dan menghormati amanah yang dipegang oleh Ibrahim.

Kisah Ibrahim bin Adham memberi pelajaran penting bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh jabatan atau kekayaan, tetapi oleh akhlaknya dalam menjaga amanah dan prinsip hidup. Dalam dunia yang serba tergoda oleh kepentingan pribadi, kejujuran dan ketulusan seperti yang ditunjukkan Ibrahim adalah cahaya yang menuntun hati manusia kepada kedamaian sejati. Semoga kisah ini menjadi cermin bagi kita untuk selalu memegang teguh nilai-nilai kebaikan dalam setiap amanah yang dipercayakan kepada kita.

Sabtu, 28 Juni 2025

Hidup dalam Keaslian, Bahagia dalam Ketulusan

Kebahagiaan adalah dambaan setiap insan. Dalam pencariannya, banyak orang menempuh berbagai jalan: harta, jabatan, popularitas, bahkan pengakuan dari manusia lain. Namun, sering kali setelah semua itu tercapai, hati tetap merasa hampa. Dalam Islam, kebahagiaan sejati bukanlah sekadar kesenangan lahiriah, melainkan kedamaian batin yang muncul ketika seseorang hidup sesuai dengan fitrah dan hakikat dirinya.

Hidup sesuai dengan hakikat diri berarti mengenali siapa kita, apa tujuan kita diciptakan, dan bagaimana kita menjalani kehidupan ini dengan nilai-nilai yang benar. Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan potensi dan peran unik, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ketika seseorang hidup dengan tujuan untuk mengabdi kepada Allah dan menjalankan amanah hidup sesuai dengan fitrahnya, maka di sanalah letak kedamaian dan kebahagiaan sejati.

Sayangnya, banyak orang terperangkap dalam ekspektasi sosial, standar kebahagiaan palsu, dan tekanan lingkungan. Mereka berusaha menjadi seperti orang lain, meniru jalan hidup yang bukan miliknya, dan mengabaikan suara hatinya sendiri. Padahal, kebahagiaan itu bukan tentang menjadi lebih baik dari orang lain, tapi menjadi versi terbaik dari diri sendiri yang telah Allah takdirkan. Seorang bijak pernah berkata, “Bila engkau memaksa diri menjadi seperti orang lain, maka engkau akan kehilangan jati dirimu dan tidak akan pernah bahagia.”

Hidup sesuai dengan hakikat diri juga bermakna menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ia tidak menyuruh kita untuk pasrah dan berhenti berkembang, tetapi mendorong untuk bertumbuh dengan kesadaran akan siapa diri kita sebenarnya. Ini adalah bentuk syukur yang mendalam atas ciptaan Allah, karena setiap jiwa diciptakan dengan kesempurnaan yang khas. Rasulullah Saw. bersabda,

طُوْبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوْبِ النَّاسِ

“Beruntunglah orang yang disibukkan dengan aib dirinya daripada memikirkan aib orang lain” (HR. Al-Bazzar). Ini adalah panggilan agar kita lebih fokus membina diri sesuai dengan hakikat yang telah Allah tetapkan.

Bahagia bukanlah sesuatu yang dicari di luar, melainkan ditemukan ketika kita kembali ke dalam. Saat kita hidup dalam kejujuran terhadap diri sendiri, memaknai kehidupan dengan tujuan ilahiah, dan tidak memaksakan topeng-topeng duniawi, maka hati akan menemukan ketenangan yang tak tergantikan. Bahagia itu sederhana: ketika kita berdamai dengan diri sendiri, hidup sesuai dengan takdir dan potensi kita, dan berjalan dalam cahaya petunjuk-Nya.

Jumat, 27 Juni 2025

Hijrah Menyambut Harapan: Menjadi Lebih Baik di Tahun Baru Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah, yang dimulai pada 1 Muharam, bukan sekadar pergantian waktu dalam kalender Islam, tetapi merupakan momentum spiritual yang mengandung makna sangat mendalam. Tahun ini mengingatkan umat Islam pada peristiwa besar hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah. Hijrah ini bukan hanya perpindahan geografis, tetapi juga simbol dari perubahan menuju kondisi yang lebih baik: dari ketertindasan menuju kemerdekaan, dari keterasingan menuju persaudaraan, dan dari kegelapan menuju cahaya petunjuk Allah. Maka, 1 Muharam menjadi saat yang tepat untuk merenung, menata kembali niat, dan memperbarui komitmen dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan bernilai di sisi Allah.

Dalam menyambut Tahun Baru Hijriyah, umat Islam dianjurkan untuk mengisi hari-harinya dengan amalan yang penuh makna. Di antaranya adalah membaca doa akhir tahun sebelum matahari terbenam pada 29 atau 30 Dzulhijjah, dan doa awal tahun setelah Maghrib pada malam 1 Muharam. Doa-doa ini menjadi bentuk pengharapan kepada Allah agar segala kekhilafan di tahun sebelumnya diampuni dan agar diberikan kekuatan untuk memulai tahun baru dengan kebaikan dan keberkahan. Selain itu, memperbanyak zikir, shalawat, dan membaca Al-Qur’an juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan sebagai bentuk pensucian jiwa di awal tahun baru.

Momentum ini juga dapat dijadikan sebagai ajang muhasabah (introspeksi diri). Seperti halnya dalam dunia bisnis ada laporan tahunan, maka dalam kehidupan spiritual pun perlu ada evaluasi tahunan. Sejauh mana hubungan kita dengan Allah telah membaik? Seberapa besar peran kita dalam menyebarkan kebaikan kepada sesama? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk menetapkan resolusi hijrah spiritual dan sosial. Misalnya, tekad untuk lebih disiplin dalam shalat, lebih sering membantu sesama, atau lebih ikhlas dalam bekerja dan beribadah.

Tahun Baru Hijriyah juga dapat dimaknai dengan memperkuat hubungan sosial dan ukhuwah Islamiyah. Tradisi menggelar pengajian, doa bersama, atau santunan kepada fakir miskin di banyak tempat adalah manifestasi nyata semangat kebersamaan yang terinspirasi dari peristiwa hijrah. Rasulullah Saw. membangun masyarakat Madinah dengan fondasi persaudaraan antar-kaum, saling tolong-menolong, dan solidaritas. Maka, 1 Muharam menjadi waktu yang tepat untuk menumbuhkan kembali semangat gotong royong, saling memaafkan, dan menyatukan hati demi kemajuan umat.

Tahun Baru Hijriyah adalah ajakan untuk selalu berhijrah: dari lalai menuju sadar, dari malas menuju rajin, dari egoisme menuju kepedulian, dan dari dosa menuju tobat. Setiap orang memiliki medan hijrah masing-masing dalam hidupnya. Semoga kita semua termasuk hamba-hamba yang menyambut tahun baru ini dengan hati yang bersih, niat yang tulus, dan semangat yang membara untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Selamat Tahun Baru Hijriyah 1447, semoga keberkahan dan rahmat Allah senantiasa menyertai langkah kita, Aamiin.

Kamis, 26 Juni 2025

Menyambut Tahun Baru Hijriyah 1447 dengan Doa dan Harapan Baru

Tahun Baru Hijriyah 1447 adalah momen penting yang patut kita sambut dengan penuh syukur dan perenungan mendalam. Tahun Baru Islam ini mengajak umat Muslim untuk merenungi makna hijrah, bukan hanya dalam arti fisik seperti perpindahan Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah, tetapi juga hijrah spiritual dari gelapnya kesalahan menuju terang kebenaran. Ini adalah kesempatan bagi setiap pribadi untuk mengevaluasi diri, memperbarui niat, dan memperkuat komitmen dalam menapaki kehidupan yang lebih bermakna di bawah naungan ridha Allah.

Salah satu amalan yang dianjurkan dalam menyambut Tahun Baru Hijriyah adalah membaca doa akhir tahun sebelum matahari terbenam pada tanggal 29 atau 30 Dzulhijjah. Doa ini berfungsi sebagai bentuk istighfar, yakni permohonan ampun atas kesalahan dan kelalaian selama setahun yang telah berlalu. Melalui doa ini, kita diajak untuk merefleksikan segala amal perbuatan, memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama, serta menutup lembaran lama dengan harapan akan rahmat dan maghfirah-Nya. Dengan hati yang tunduk dan rendah diri, kita akui kelemahan kita sebagai hamba dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha Pengampun.

Doa Akhir Tahun

اَللّٰهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هٰذِهِ السَّنَةِ مَا نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ، وَحَمَلْتَ فِيْهَا عَلَيَّ بِفَضْلِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِي، وَدَعَوْتَنِي إِلَى التَّوْبَةِ مِنْ بَعْدِ جَرَاءَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ، فَإِنِّي أَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْلِي وَمَا عَمِلْتُ فِيْهَا مِمَّا تَرْضَى، وَوَعَدْتَنِي عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْأَلُكَ أَنْ تَتَقَبَّلَ مِنِّي وَلَا تَقْطَعْ رَجَائِي مِنْكَ يَا كَرِيْمُ.

“Tuhanku, aku meminta ampun atas perbuatanku di tahun ini yang termasuk Engkau larang, sementara aku belum sempat bertobat, perbuatanku yang Engkau maklumi karena kemurahan-Mu sementara Engkau mampu menyiksaku, dan perbuatan (dosa) yang Engkau perintahkan untuk tobat, sementara aku menerjangnya yang berarti mendurhakai-Mu. Tuhaku, aku berharap Engkau menerima perbuatanku yang Engkau ridhai di tahun ini dan perbuatanku yang terjanjikan pahala-Mu. Janganlah Engkau membuatku putus asa, wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.”

Setelah membaca doa akhir tahun, umat Islam juga dianjurkan membaca doa awal tahun setelah masuk tanggal 1 Muharram, idealnya setelah Maghrib pada malam pergantian tahun. Doa ini mengandung permohonan agar di tahun yang baru, Allah senantiasa melimpahkan hidayah, keberkahan, keselamatan, serta perlindungan dari godaan setan dan fitnah dunia. Ini adalah bentuk ikrar spiritual untuk memulai tahun baru dengan langkah-langkah yang lebih baik, lebih terarah, dan lebih dekat kepada nilai-nilai Islam. Dengan membacanya, seorang Muslim menunjukkan kesiapan hijrah dari kelemahan menjadi kekuatan, dari lalai menjadi taat, dan dari ragu menjadi yakin.

Doa Awal Tahun

اَللّٰهُمَّ أَنْتَ الْأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ الْأَوَّلُ، وَعَلَى فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَكَرِيْمِ جُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ، وَ هٰذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ أَقْبَلَ، أَسْأَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ، وَالْعَوْنَ عَلَى هٰذِهِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ، وَالْاِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِي إِلَيْكَ زُلْفَى، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ.

“Tuhanku, Engkau yang Abadi, Qadim, dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Engkau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan dan para walinya di tahun ini. Aku pun mengharap pertolongan-Mu dalam mengatasi nafsu yang kerap mendorongku berlaku jahat. Kepada-Mu, aku memohon bimbingan agar aktivitas keseharian mendekatkanku pada rahmat-Mu. Wahai Tuhan Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan.”

Tahun Baru Hijriyah bukanlah sekadar pergantian waktu, melainkan momentum pembaruan jiwa. Ia memberi ruang untuk bertanya pada diri kita: apakah kita telah menjadikan hidup kita sebagai persembahan terbaik kepada Allah? Apakah amalan kita selama ini telah memberi manfaat bagi sesama? Dengan semangat hijrah, kita diajak membangun kesadaran bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri, dari niat yang ikhlas, langkah yang istiqamah, hingga tekad untuk terus memperbaiki diri dalam bingkai ketaatan. Inilah makna terdalam dari hijrah: transformasi diri yang membawa kita lebih dekat kepada Allah dan tujuan hidup yang hakiki.

Mari kita sambut Tahun Baru Hijriyah 1447 dengan jiwa yang bersih, hati yang optimis, dan semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Mari jadikan momen ini sebagai titik awal hijrah kita menuju pribadi yang lebih berakhlak, lebih bijaksana, dan lebih bermanfaat bagi umat. Semoga Allah Swt. menerima segala amal kita, mengampuni kesalahan kita, dan memberkahi langkah-langkah kita di tahun yang baru. Selamat Tahun Baru Hijriyah 1447, wa kullu ‘am wa antum bikhoir.

Rabu, 25 Juni 2025

Belajar untuk Mengajar, Mengajar untuk Terus Belajar

Dalam dunia pendidikan, proses belajar-mengajar seringkali dianggap sebagai relasi satu arah, guru sebagai sumber pengetahuan dan murid sebagai penerima pasif. Namun, Paulo Freire, filsuf pendidikan revolusioner asal Brasil, melalui salah satu ucapannya yang paling reflektif menyatakan, "Mereka yang mengajar harus terus belajar. Mereka yang belajar harus terus mengajar." Kalimat ini bukan sekadar nasihat, melainkan manifestasi dari semangat “pendidikan dialogis” yang ia usung dalam Pedagogy of the Oppressed. Freire mengajak kita melihat pendidikan sebagai proses yang hidup, saling menghidupi, dan terus berkembang melalui interaksi yang setara antara pengajar dan pembelajar.

Bagi Freire, seorang guru sejati tidak pernah berhenti menjadi murid. Dunia berubah, ilmu berkembang, dan konteks sosial terus bergerak. Maka, seorang pendidik tidak bisa berpuas diri dengan pengetahuan masa lalu. Ia harus senantiasa membuka diri terhadap pengalaman, wacana baru, serta masukan dari para peserta didiknya. Dalam proses ini, guru bukan hanya menyampaikan, tetapi juga menyerap, merenung, dan memperbarui diri. Inilah yang membuat proses pengajaran menjadi dinamis dan autentik, bukan sekadar rutinitas.

Sebaliknya, mereka yang belajar pun tidak bisa hanya pasif menerima. Proses belajar yang sejati melibatkan keberanian untuk bertanya, menanggapi, dan bahkan membagikan pemahaman kepada orang lain. Dalam sudut pandang Freire, setiap orang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang bernilai, dan proses belajar yang sesungguhnya terjadi ketika pengetahuan itu dikomunikasikan. Saat murid mulai mengajar (entah dengan menjelaskan kepada teman, menyampaikan gagasan, atau merefleksikan pembelajaran) maka proses pendewasaan intelektual dan emosional pun terjadi.

Ucapan Freire ini juga mendorong kita untuk melihat pendidikan sebagai ruang dialogis, bukan hierarkis. Guru dan murid adalah mitra dalam pencarian makna, bukan penguasa dan yang dikuasai. Ketika keduanya saling belajar dan saling mengajar, tumbuhlah komunitas yang sadar dan kritis, tempat setiap individu merasa dihargai dan berkontribusi. Relasi ini menumbuhkan kepercayaan, kolaborasi, dan rasa tanggung jawab bersama atas pengetahuan dan tindakan.

Pesan ini menyiratkan bahwa pendidikan sejati tidak pernah berakhir. Mengajar dan belajar adalah siklus yang menyatu dalam kehidupan manusia. Seorang guru yang terus belajar akan menjadi inspirasi, dan seorang murid yang belajar untuk mengajar akan menjadi agen perubahan. Dalam dunia yang penuh tantangan, hanya mereka yang terus menghidupi semangat belajar dan mengajar inilah yang akan mampu bertahan, berkembang, dan menerangi jalan bagi orang lain. Inilah esensi pendidikan yang memanusiakan, bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi menghidupkan jiwa.

Selasa, 24 Juni 2025

Tetap Jernih dalam Badai: Seni Menemukan Ketenangan Sejati

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh tekanan, setiap orang mencari cara untuk meraih ketenangan jiwa. Di tengah hiruk-pikuk media sosial, tekanan akademik, kecemasan hidup, dan tuntutan sosial, suara hati sering kali tenggelam dalam kebisingan. Dalam konteks inilah, ucapan filsuf modern John Sellars "Ketenangan bukan berarti pasrah, tetapi kemampuan untuk tetap jernih dalam badai" menjadi sangat relevan. Ungkapan ini tidak hanya menjadi pengingat filosofis, tetapi juga sebuah petunjuk spiritual dan mental tentang bagaimana seharusnya kita menghadapi gejolak hidup dengan bijak dan tangguh.

Ketenangan sering disalahartikan sebagai bentuk kepasrahan yang pasif, tidak berbuat apa-apa, menyerah, atau membiarkan keadaan berjalan tanpa usaha. Padahal, sebagaimana dikatakan John Sellars, ketenangan yang sejati justru adalah sikap aktif: sebuah kemampuan untuk menjaga kejernihan pikiran, kestabilan emosi, dan kebeningan hati saat situasi sedang tidak ideal. Orang yang tenang bukanlah yang tidak pernah diterpa masalah, melainkan yang mampu tetap berpikir jernih dan mengambil keputusan tepat ketika badai datang. Ia bukan menghindar dari realitas, tetapi mampu berdiri di tengahnya dengan kedewasaan.

John Sellars mewarisi pandangan-pandangan bijak yang mengajarkan bahwa ketenangan batin muncul dari penguasaan diri, bukan dari keadaan luar. Dalam Islam pun, kita mengenal istilah sakinah, yakni ketenangan jiwa yang dianugerahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman dan berserah diri dalam arti positif: tetap berusaha sambil bersandar kepada kehendak-Nya. Maka, ketenangan adalah perpaduan antara kebijaksanaan dalam bersikap dan keyakinan dalam menghadapi ujian.

Ucapan ini sangat berguna dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan: ujian sekolah, konflik dalam keluarga, kegagalan bisnis, bahkan tekanan sosial yang datang dari luar. Mereka yang memiliki ketenangan bukan berarti tidak merasa sedih atau kecewa, tetapi mereka tidak dikendalikan oleh emosi tersebut. Dalam dunia pendidikan dan kepemimpinan, ketenangan semacam ini adalah kualitas yang sangat langka namun sangat dibutuhkan, karena hanya orang yang jernih pikirannya yang bisa menjadi pembawa solusi, bukan bagian dari masalah.

Menjadi pribadi yang tenang bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil latihan jiwa yang konsisten, melalui refleksi, pengendalian diri, doa, dan juga sikap menerima tanpa kehilangan semangat memperbaiki. Kita perlu belajar, bahwa hidup memang akan selalu menghadirkan badai, tetapi kita bisa memilih: tenggelam dalam kepanikan atau berdiri teguh dengan kejernihan dan harapan. Maka, pesan John Sellars bukan sekadar kutipan motivasi, melainkan ajakan untuk menjadi pribadi kuat yang tidak hanyut dalam kekacauan, tapi tetap tegak membawa cahaya ketenangan bagi diri dan lingkungan.

Senin, 23 Juni 2025

Shalawat yang Terlupa, Jawaban dari Langit

Kisah nyata yang mengharukan dan penuh hikmah datang dari Sultan Abdul Hamid. Suatu hari, pengawalnya yang dipanggil dengan nama Basya mendatangi ruangan Sultan. Dia melaporkan bahwa ada seseorang bernama Faisal yang mengaku bahwa Sultan berhutang kepadanya.

“Wahai Sultan Hamid, ada orang yang mengaku bahwa engkau punya hutang kepadanya. Saya sudah panggil dia ke istana dan memberinya sejumlah uang, tapi dia belum mau pergi juga,” kata Basya.

“Di mana dia?” tanya Sultan.

“Di depan pintu, wahai Sultan,” jawab Basya.

“Biarkan dia masuk,” ujar Sultan.

Basya pun menyuruh penjaga agar Faisal segera menghadap Sultan.

“Silahkan sampaikan keluhanmu!” kata Basya kepada Faisal.

Dengan penuh takzim, Faisal berkata kepada Sultan.

“Wahai Sultan, Anda punya hutang kepadaku.”

Dengan tenang Sultan bertanya, “Bagaimana dan sejak kapan saya berhutang kepadamu?”

“Sultan, aku adalah seorang pedagang. Lalu aku bangkrut. Aku berhutang hingga hutangku mencekikku. Kemudian aku berdoa kepada Allah setiap malam . . .”

Belum selesai Faisal bicara, Basya langsung menyanggahnya.

“Faisal, Sultan bertanya padamu bagaimana Sultan bisa berhutang padamu?” sanggah Basya.

Namun, Faisal tetap melanjutkan ucapannya, “Seperti yang aku katakan tadi, aku berdoa kepada Allah setiap malam sebelum tidur.”

“Dan kemarin, aku bertemu Nabi Muhammad Saw. dalam mimpiku,” lanjut Faisal.

Sontak, Sultan dan Basya terkejut mendengarnya.

Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” ucap Sultan dan Basya sambil meletakkan tangan kanannya di dada.

“Wahai Sultan, beliau bersabda, katakan pada Hamidku, bahwa ia biasanya bershalawat untukku setiap malam, tapi malam kemarin ia lupa. Datangilah Sultan, dan katakan keperluanmu kepadanya,” tutur Faisal.

Mendengar penjelasan Faisal, Sultan langsung berdiri. Tampak wajahnya begitu terharu.

“Bagaimana sabda beliau?” tanya Sultan.

“Hamidku . . .” jawab Faisal.

Belum selesai dia melanjutkan, Sultan mengisyaratkan Faisal untuk berhenti bicara. Sultan lalu membuka laci mejanya, dan memberikan Faisal sekantong uang.

“Bagaimana sabda beliau?” tanya Sultan.

“Hamidku . . .” jawab Faisal.

Belum selesai dia melanjutkan, Sultan kembali memotong dan mengambil sekantong uang, lalu diberikan kepada si pedagang itu.

Sultan kembali bertanya, “Bagaimana sabda beliau?”

Faisal menjawab, “Hamidku . . .”

Sultan lagi-lagi memberi isyarat kepada Faisal untuk berhenti bicara dan kembali memberikan Faisal sekantong uang.

Melihat hal itu, Basya segera menegur Faisal, “Wahai Faisal, tidakkah cukup apa yang Sultan telah berikan untukmu?”

Faisal yang sudah terlihat kerepotan memegang 3 kantong uang, menjawab “Sudah cukup wahai Basya, aku akan segera melunasi semua hutangku.”

Kedua mata Sultan Hamid pun mulai berkaca-kaca.

“Semoga Allah merahmatimu,” kata Sultan kepada Faisal yang langsung pamit dari istana.

“Wahai Sultan, hampir saja orang itu menghabisi seluruh uangmu,” kata Basya.

“Apa yang kau katakan Basya, bila dia meminta seluruh harta dan jabatanku, akan aku berikan seluruhnya untuk dia,” kata Sultan sembari menangis.

Malam kemarin, lanjut Sultan, aku bekerja hingga larut malam di meja kerja hingga aku tertidur dan lupa bershalawat. Padahal aku selalu rutin bershalawat setiap malam.

Basya yang mendengar cerita Sultan, tidak sanggup menahan air matanya. Keduanya pun menangis tak kuasa menahan haru.

Kisah ini mengajarkan bahwa tak ada doa yang sia-sia, tak ada shalawat yang tak didengar, dan tak ada cinta kepada Rasulullah Saw. yang tak berbalas. Dari seorang Sultan yang menangis karena lupa bershalawat, hingga seorang pedagang yang mendapatkan jalan keluar dari kesulitan melalui mimpi, semuanya menunjukkan bahwa Allah selalu membuka jalan bagi hamba-Nya yang tulus. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk terus menjaga hubungan dengan Allah dan Rasul-Nya, serta menumbuhkan keyakinan bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tak pernah kita duga.

Minggu, 22 Juni 2025

Menjemput Masa Depan dengan Cahaya Al-Qur’an

Wisuda kelulusan merupakan momen yang sangat berarti dalam dunia pendidikan, terutama bagi para peserta didik kelas VI MI, kelas IX SMP, dan Kelas XII SMA Tahfidz Asy Syadzili 4 Gondanglegi Malang yang melaksanakan tasyakuran wisuda purna siswa pada hari ini Ahad, 22 Juni 2025 dan bertempat di Aula PPTQ Asy Syadzili 4. Ini bukan sekadar seremoni, melainkan simbol dari perjuangan, kesabaran, dan kerja keras selama enam tahun bagi peserta didik kelas VI MI, dan selama tiga tahun bagi para peserta didik kelas IX SMP serta kelas XII SMA dalam menuntut ilmu. Bagi para santri tahfidz, wisuda juga bermakna lebih dalam, karena bukan hanya menyelesaikan pendidikan akademik, tetapi juga menunjukkan keberhasilan dalam menghafal dan memahami Al-Qur’an. Ini adalah bukti bahwa pendidikan yang dirancang di lembaga ini tidak hanya membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga menanamkan keteguhan spiritual dan karakter mulia.

MI, SMP, dan SMA Tahfidz Asy Syadzili 4 Gondanglegi Malang dikenal sebagai lembaga pendidikan yang memadukan kurikulum nasional dengan kurikulum tahfidzul Qur’an secara harmonis. Selama masa pendidikan, para peserta didik dibimbing tidak hanya untuk menguasai pelajaran umum, tetapi juga untuk menjadi hafizh dan hafidzah Al-Qur’an, membangun kebiasaan ibadah, serta menjunjung tinggi akhlak Islami. Dengan pendekatan pendidikan berbasis tauhid dan akhlak, sekolah ini telah berhasil membentuk pribadi-pribadi tangguh yang siap melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya dengan bekal ilmu, iman, dan adab.

Momen tasyakuran wisuda purna siswa  ini adalah saat yang penuh kebanggaan dan haru bagi para orang tua. Menyaksikan anak-anak mereka berdiri di atas panggung, mengenakan toga dengan wajah penuh semangat dan kepercayaan diri, adalah kebahagiaan yang tak ternilai. Namun di balik itu, terselip harapan besar agar ilmu yang telah mereka raih tidak berhenti di sini. Orang tua berharap anak-anaknya terus menjaga hafalan Al-Qur’an, mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan menjadi generasi yang mampu membawa cahaya Islam dalam lingkungan masyarakat. Pendidikan di MI, SMP, dan SMA Tahfidz Asy Syadzili 4 Gondanglegi Malang telah memberi fondasi kuat untuk melangkah menuju masa depan yang lebih gemilang, berlandaskan iman dan ilmu.

Kesuksesan yang diraih para peserta didik tidak lepas dari peran besar pengasuh, para guru, dan pembimbing. Dengan ketulusan dan kesabaran mereka, pengasuh dan para guru telah menjadi pemandu dalam perjalanan spiritual dan intelektual para peserta didik. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga teladan dalam adab, disiplin, dan cinta kepada Al-Qur’an. Lembaga ini telah membuktikan bahwa sekolah bisa menjadi tempat lahirnya generasi berkarakter Qur’ani. Semangat pembaruan dalam metode pendidikan, kedekatan emosional antara guru dan peserta didik, serta lingkungan yang kondusif untuk pembinaan akhlak, menjadi nilai lebih dari MI, SMP, dan SMA Tahfidz Asy Syadzili 4 Gondanglegi Malang.

Kelulusan ini adalah awal dari babak baru dalam perjalanan hidup para peserta didik. Dunia yang lebih luas telah menanti mereka, dengan tantangan yang tentu lebih berat. Namun, dengan bekal Al-Qur’an yang telah mereka hafal dan pahami, serta nilai-nilai Islam yang tertanam dalam hati, mereka diharapkan menjadi cahaya di tengah masyarakat. Harapannya, alumni MI, SMP, dan SMA Tahfidz Asy Syadzili 4 Gondanglegi Malang akan menjadi pemimpin masa depan yang amanah, ilmuwan yang rendah hati, dan da’i yang menyebarkan rahmat Islam. Semoga Allah Swt. senantiasa memberi keberkahan kepada para wisudawan, guru, orang tua, dan seluruh civitas sekolah dalam membangun peradaban yang berlandaskan ilmu dan iman. Alfu Mubarak wa Ma’an-najah!

Sabtu, 21 Juni 2025

Lebih dari Sekadar Kata: Dialog sebagai Jembatan Kemanusiaan

Ucapan Paulo Freire, "Dialog bukan hanya tentang berbicara dan mendengarkan, tetapi tentang cinta, kerendahan hati, dan harapan," merupakan pernyataan yang mencerminkan esensi pendidikan humanistik. Dalam dunia yang semakin dibentuk oleh kekuasaan dan dominasi, Freire mengajak kita kembali ke jantung kemanusiaan: dialog yang sejati. Ucapan ini bukan sekadar refleksi filosofis, tetapi juga seruan etis dan praksis bagi para pendidik, pemimpin, dan siapa pun yang ingin menjalin hubungan yang bermakna dalam konteks pendidikan atau kehidupan sosial.

Cinta dalam dialog versi Freire bukanlah cinta dalam arti romantik, melainkan kasih sayang yang mendalam terhadap sesama manusia. Pendidikan, bagi Freire, harus dimulai dari kepedulian yang tulus kepada orang lain sebagai subjek, bukan objek. Seorang pendidik yang mencintai murid-muridnya akan membuka ruang belajar yang aman, suportif, dan memanusiakan. Cinta menjadi landasan etis yang memotivasi kita untuk mendengarkan bukan untuk membantah, melainkan untuk memahami. Dalam pendidikan yang berlandaskan cinta, setiap orang diberi tempat dan dihargai dalam keberadaannya.

Kerendahan hati menjadi syarat penting dalam dialog karena tanpa kerendahan hati, percakapan berubah menjadi monolog. Freire menekankan bahwa dalam setiap interaksi, tak seorang pun memiliki semua jawaban. Guru pun harus belajar dari murid. Ketika kerendahan hati hadir, dialog menjadi setara. Hal ini membongkar struktur hierarkis dalam pendidikan tradisional dan membuka peluang tumbuhnya kesadaran kritis (critical consciousness), di mana peserta didik diberdayakan untuk berpikir, bertanya, dan mencipta pengetahuan bersama.

Harapan adalah dimensi transformatif dari dialog. Dalam konteks penindasan atau kemiskinan, harapan menjadi kekuatan yang mendorong perubahan sosial. Harapan bukanlah optimisme kosong, tetapi sikap aktif dan kritis terhadap dunia yang belum adil. Melalui dialog yang penuh harapan, individu dan komunitas dapat membayangkan masa depan yang lebih baik dan merancang tindakan untuk mencapainya. Freire percaya bahwa pendidikan sejati bukan hanya tentang isi pelajaran, tetapi tentang membangkitkan harapan akan kemungkinan baru.

Ucapan Freire ini sangat relevan untuk konteks Indonesia dan dunia saat ini, di mana dialog sering kali dibatasi oleh ego, dogma, dan kekuasaan. Pendidikan yang membebaskan hanya dapat terwujud jika kita menjadikan cinta, kerendahan hati, dan harapan sebagai dasar dari setiap percakapan. Dengan begitu, dialog tidak lagi menjadi alat untuk menyampaikan informasi semata, tetapi menjadi jembatan menuju transformasi diri dan masyarakat. Pesan Freire ini menginspirasi kita untuk memelihara kemanusiaan dalam setiap kata yang kita ucapkan dan setiap telinga yang kita pinjamkan.

Jumat, 20 Juni 2025

Saat Harta Tidak Dikenali, dan Al-Qur’an Tak Dihargai: Sebuah Renungan Tentang Al-Qur’an

Kisah ini membawa kita merenungi betapa seringnya manusia lalai terhadap nikmat dan harta berharga yang telah Allah titipkan dalam hidupnya. Terkadang, karena kurangnya ilmu atau perhatian, sesuatu yang seharusnya menyelamatkan justru diabaikan begitu saja. Melalui kisah seorang wanita pengemis yang tidak menyadari nilai sebenarnya dari apa yang dimilikinya, kita diajak untuk membuka mata hati dan pikiran agar tidak mengulangi kesalahan serupa, terutama terhadap anugerah terbesar yang telah Allah turunkan, yaitu Al-Qur’an.

Kita janganlah seperti “wanita pengemis” ini yang setiap hari duduk mengemis di depan pintu masjid. Imam masjid yang sering melihatnya bertanya, “Ibu, engkau adalah wanita mulia, anakmu rajin ke masjid, lalu kenapa mengemis?” Wanita itu menjawab, “Suamiku sudah wafat beberapa tahun yang lalu, satu-satunya anakku sejak 8 bulan yang lalu pergi merantau. Anakku meninggalkan uang untukku, tapi setelah uang itu habis, saya terpaksa mengemis.”

Imam masjid bertanya, “Apakah anakmu tidak mengirimkan uang untukmu?” Wanita itu menjawab, “Setiap bulan anakku mengirimkan aku ‘gambar warna-warni’, yang aku tempelkan di dinding sebagai kenangan.”

Imam masjid kemudian datang ke rumah wanita pengemis itu, dan Subhanallah ternyata lembaran warna-warni yang dia tempelkan itu adalah uang dolar, wanita tua itu TIDAK MENGERTI kalau itu adalah uang. Ada 8.000 dolar, karena anaknya mengirimkan 1.000 dolar setiap bulannya. Imam masjid mengambil uang itu dan menukarkannya, lalu menyerahkannya kepada wanita itu. Sejak saat itu, wanita tua tersebut tidak pernah lagi duduk mengemis di pintu masjid.

Kisah wanita ini hampir sama dengan sebagian kita. Kita memiliki Al-Qur’an (Kitabullah) pedoman hidup, sesuatu yang sangat berharga, pelindung kita, penyembuh kita, tetapi kita tidak tahu membacanya, tidak mengerti isinya, tidak paham bahwa ia adalah segalanya. Al-Qur’an hanya menjadi penghias lemari, atau kaligrafi yang ditempelkan di dinding, lalu kita mengemis ke timur dan ke barat, mencari pedoman hidup, padahal di tengah-tengah kita ada sesuatu yang sangat berharga, ada Al-Qur’an proteksi kita.

Seperti wanita itu yang tidak menyadari bahwa dirinya duduk di atas kekayaan, kita pun sering tidak sadar bahwa dalam genggaman kita terdapat Al-Qur’an, petunjuk hidup dari Tuhan semesta alam. Namun, karena tidak membacanya, tidak memahaminya, dan tidak mengamalkannya, kita menjadi miskin arah dan gersang jiwa. Maka, mari kita ubah cara pandang dan sikap kita terhadap Al-Qur’an: bukan sekadar simbol atau hiasan, melainkan sebagai sahabat harian yang menuntun, menenangkan, dan menyelamatkan.

Kamis, 19 Juni 2025

Dari Informasi ke Transformasi: Mewujudkan Pendidikan yang Membebaskan

Dalam dunia pendidikan yang terus berkembang, filsuf asal Brasil Paulo Freire menawarkan perspektif revolusioner yang tetap relevan hingga hari ini. Salah satu kutipan terkenalnya, “Pendidikan sejati bukanlah mengisi ember kosong, melainkan menyalakan api kesadaran,” menggugah kita untuk merenungkan kembali esensi dari proses belajar-mengajar. Ucapan ini bukan hanya sekadar metafora, melainkan pernyataan filosofis yang menantang sistem pendidikan yang mekanistik dan satu arah. Freire mengajak pendidik dan peserta didik untuk bergerak dari pola “deposito pengetahuan” menuju proses dialogis yang membebaskan, mencerdaskan, dan membangkitkan kesadaran kritis.

Makna utama dari kutipan tersebut terletak pada kritik Freire terhadap model pendidikan tradisional yang ia sebut sebagai “pendidikan gaya bank”. Dalam model ini, peserta didik dianggap sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh guru dengan informasi. Pendekatan ini menciptakan relasi yang timpang, di mana guru menjadi subjek yang aktif dan peserta didik hanya sebagai objek pasif. Freire menolak pandangan ini dan menekankan bahwa pendidikan haruslah proses timbal balik yang membangkitkan kesadaran, bukan sekadar transmisi pengetahuan. Tujuan pendidikan bukan membuat peserta didik patuh dan hafal, tetapi membentuk individu yang mampu berpikir kritis, memahami realitas, dan mengubahnya.

Ketika Freire menyebut “menyalakan api kesadaran”, ia merujuk pada kesadaran kritis, kemampuan untuk memahami realitas sosial secara mendalam dan bertindak untuk mengubahnya. Api kesadaran ini tidak hanya menerangi pikiran, tetapi juga menghangatkan hati dan membangkitkan keberanian moral. Pendidikan semacam ini tidak hanya mengajar tentang dunia, tetapi juga mengajak peserta didik untuk bertanya: “Mengapa dunia seperti ini? Apa yang bisa saya lakukan untuk menjadikannya lebih adil?.”

Inspirasi dari ucapan Freire sangat relevan dalam konteks pendidikan modern, terutama di tengah tantangan global seperti ketidaksetaraan, manipulasi informasi, dan krisis kemanusiaan. Guru yang memegang prinsip ini tidak hanya menyampaikan kurikulum, tetapi juga membimbing peserta didiknya untuk menjadi subjek yang sadar akan keberadaannya dan perannya dalam masyarakat. Sekolah, kampus, dan ruang belajar apa pun bisa menjadi tempat penyulut kesadaran, tempat lahirnya agen-agen perubahan yang berpikir mandiri dan berempati.

Kutipan ini mengingatkan kita bahwa pendidikan sejati harus bersifat “mencerahkan, membebaskan, dan memberdayakan”. Ia bukan proses pengisian kepala, melainkan penyulutan jiwa. Pendidikan adalah api yang harus terus dijaga agar tidak padam, karena dari api kesadaran inilah lahir keberanian untuk bertindak, kekuatan untuk mengubah, dan cinta untuk memperbaiki dunia. Dalam semangat Freire, marilah kita menjadi pendidik dan pembelajar yang tidak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga menyalakan harapan dan membangun masa depan yang lebih bermakna.

Rabu, 18 Juni 2025

Keberanian dan Akal Sehat: Kunci Menaklukkan Ketakutan dalam Hidup

Dalam dunia yang dipenuhi dengan ketidakpastian, tekanan mental, dan tantangan emosional, kata-kata Donald Robertson (seorang psikoterapis kognitif dan penulis buku How to Think Like a Roman Emperor) memberikan pencerahan yang membumi namun mendalam: "Jangan berusaha menghindari ketakutan, tetapi hadapilah dengan keberanian dan akal sehat." Ucapan ini bukan sekadar anjuran moral, tetapi ajakan filosofis untuk “menyingkirkan” rasa takut atau berpura-pura tak pernah takut, Robertson justru mengingatkan kita untuk menjadikannya bagian dari pertumbuhan batin.

Ketakutan, menurut Robertson, bukanlah musuh yang harus disingkirkan secara total, melainkan sinyal yang dapat ditata ulang maknanya. Ketika kita berusaha melarikan diri dari ketakutan, kita justru menyerahkan kendali pada emosi itu sendiri. Sebaliknya, menghadapi ketakutan secara sadar (dengan mengenali, memahami, dan menerimanya) adalah langkah awal menuju kemerdekaan batin. Di titik inilah keberanian lahir: bukan karena ketidakhadiran rasa takut, melainkan karena kita memilih untuk bertindak meskipun takut.

Namun, keberanian tanpa arah bisa menjadi nekat. Itulah sebabnya akal sehat menjadi penyeimbang utama dalam menghadapi ketakutan. Akal sehat dalam konteks ini bukan sekadar logika, melainkan kemampuan untuk berpikir jernih di tengah badai emosi. Robertson menekankan pentingnya refleksi dan penilaian rasional terhadap apa yang sebenarnya kita takutkan: apakah ketakutan itu proporsional? Apakah ia berdasarkan fakta atau asumsi yang berlebihan? Dengan akal sehat, kita belajar membedakan mana ketakutan yang layak dihadapi, mana yang perlu kita lepaskan, dan mana yang bisa kita ubah menjadi dorongan untuk bertumbuh.

Ucapan Robertson ini memberi inspirasi bagi siapa pun yang tengah berjuang menghadapi kecemasan, tekanan, atau perubahan besar dalam hidup. Ia mengajak kita untuk berhenti berlari dari ketakutan dan mulai menatapnya sebagai pintu menuju kematangan emosional. Dalam keberanian yang terkendali oleh akal sehat, kita bukan hanya mengatasi rasa takut, tetapi juga membentuk karakter tangguh yang mampu menghadapi hidup dengan integritas. Sebab, pada akhirnya, bukan ketakutan yang melemahkan kita, melainkan cara kita memilih untuk meresponsnya.

Selasa, 17 Juni 2025

Masjid dan Habib Abdullah Al-Haddad

Setiap amal besar bermula dari niat yang tersembunyi di kedalaman hati. Niat bukan sekadar keinginan, melainkan cermin keikhlasan dan kemurnian tujuan. Dalam sejarah para salihin, ada banyak kisah yang mengajarkan betapa pentingnya meluruskan niat sebelum melakukan amal saleh. Salah satunya adalah kisah penuh hikmah dari Habib Abdullah al-Haddad, seorang ulama besar yang terkenal dengan kebijaksanaan dan ketajaman mata hatinya dalam menilai manusia.

Seorang laki-laki mengunjungi Habib Abdullah al-Haddad.

“Aku ingin membangun sebuah masjid,” kata laki-laki itu.

“Perbaiki niatmu.”

“Aku telah memperbaiki niatku.”

“Baiklah, jika niatmu telah benar, aku ingin tanya, bagaimana jika setelah masjid selesai dibangun masyarakat menganggap orang lain yang telah membangunnya? Mereka sama sekali tidak menyebut namamu,” tanya beliau.

“Hal itu tentu akan terasa berat bagiku,” jawabnya.

“Niatmu belum benar,” kata Habib Abdullah al-Haddad.

Datang seorang lelaki lain.

“Aku ingin membangun masjid ikhlas demi Allah.”

“Berikanlah kepadaku dana yang telah kamu siapkan untuk membangun masjid. Nanti terserah pada Habibmu Abdullah, ia akan gunakan uang itu untuk membangun masjid, makan atau dibagi-bagikan. Tetapi, di akhirat nanti kamu akan memperoleh pahala membangun masjid.”

“Akan kupikir-pikir dahulu.”

Setelah berpikir, akhirnya lelaki itu menolak usulan Habib Abdullah al-Haddad.

“Harta tidak akan keluar kecuali sebagaimana datangnya,” kata Habib Abdullah al-Haddad.

Seorang laki-laki lain datang menemui Habib Abdullah al-Haddad.

“Wahai Habib, aku ini seorang pedagang. Sudah lama aku berniat membangun masjid semata-mata karena Allah. Untuk mewujudkan cita-citaku ini, aku menabung tiap kali memperoleh keuntungan. Sekarang tabunganku telah cukup untuk membangun masjid.”

“Jika kamu benar-benar ingin membangun masjid, berikanlah tabunganmu itu kepadaku, terserah Habibmu Abdullah, akan ia gunakan uang itu untuk membangun masjid, menyedekahkannya atau memakannya. Tetapi, di surga nanti kamu akan memperoleh pahala membangun masjid dan pahala orang yang beribadah di dalamnya.”

“Wahai Habib, jika benar ucapanmu itu, akan kuserahkan semua tabunganku kepadamu, dan aku tidak perlu bersusah payah memikirkan pembangunan masjid. Aku akan pulang sekarang untuk mengirimkan uang itu kepadamu. Gunakanlah uang itu sesukamu,” kata lelaki itu kegirangan.

“Habibmu ini tidak membutuhkan tabunganmu. Ia hanya ingin menguji niatmu. Sekarang, bangunlah sebuah masjid dan umumkanlah rencana pembangunan itu kepada masyarakat, karena niatmu telah benar.”

Demikianlah, keikhlasan bukan hanya diucapkan, tetapi diuji melalui pengorbanan dan ketulusan. Siapa yang mampu melewati ujian niat, maka amalnya akan diterima dengan kemuliaan. Dari kisah ini kita belajar bahwa amal yang diterima di sisi Allah bukan sekadar amal yang besar bentuknya, tapi yang murni tujuannya. Maka luruskanlah niat, karena dari situlah segala keberkahan bermula.

Berani Bermimpi Besar: Kunci untuk Hidup yang Lebih Bermakna

Dalam hidup ini, mimpi adalah bahan bakar utama yang menggerakkan langkah dan memberi arah pada tujuan. Mimpi membuat kita berani berharap...