Dalam kehidupan yang semakin
didominasi oleh kemampuan intelektual dan keterampilan berbicara, kita kerap
lupa bahwa adab jauh lebih utama daripada sekadar kecerdasan. Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah Saw. yang dikenal karena
kedalaman ilmunya, pernah berkata, “Jangan gunakan kefasihan bicaramu
(mendebat) di hadapan ibumu yang dahulu mengajarkanmu berbicara.” Ungkapan
ini bukan sekadar nasihat etika, melainkan pelajaran hidup tentang pentingnya
adab, penghormatan, dan kesadaran diri akan asal-usul kita. Ia mengingatkan
kita agar tidak terjebak dalam keangkuhan ilmu, terutama terhadap mereka yang
berperan besar dalam membentuk diri kita.
Nasihat ini memiliki makna
mendalam: sebesar apa pun kemampuan seseorang dalam berbicara, berdiplomasi,
atau berdebat, tidak sepantasnya ia menggunakan kemampuannya itu untuk
merendahkan atau mengalahkan orang tuanya, terlebih ibunya. Sebab, ibu adalah
orang pertama yang mengajarkan anak berbicara, mendidik sejak kecil, bahkan
sebelum anak itu mengenal huruf atau logika. Maka, ketika seseorang menggunakan
kemampuannya untuk membantah atau menyakiti hati ibunya, sesungguhnya ia sedang
mengkhianati sumber ilmunya sendiri. Ini adalah bentuk kesombongan yang halus,
tapi sangat tercela di mata Allah dan manusia.
Lebih jauh lagi, ucapan
Sayyidina Ali ini mengajarkan kita tentang pentingnya tawadhu’ (rendah
hati) dalam hubungan keluarga. Ibu bukan sekadar orang tua secara biologis,
tetapi simbol kasih sayang, pengorbanan, dan sumber kebijaksanaan. Adalah ironi
besar jika seseorang yang dihormati di luar rumah karena retorikanya justru
menjadi sosok keras dan membantah di depan ibunya sendiri. Kerendahan hati di
hadapan ibu adalah ukuran sejati dari kedewasaan spiritual seseorang, bukan
sekadar prestasi akademik atau kekuatan logika.
Kata-kata Sayyidina Ali juga merupakan peringatan bahwa ilmu harus dihiasi dengan adab. Kefasihan bicara adalah anugerah, tetapi ia bisa menjadi bencana bila digunakan tanpa kendali hati. Dalam Islam, ilmu tanpa akhlak adalah seperti pohon tanpa buah. Jika seseorang menempuh ilmu hanya untuk menang dalam perdebatan, bukan untuk membangun dan melayani, maka ia telah kehilangan ruh dari ilmu itu sendiri. Dalam konteks keluarga, adab kepada orang tua, khususnya ibu, adalah cerminan keberkahan ilmu yang sesungguhnya.
Nasihat ini menegaskan bahwa kedudukan ibu sangatlah agung, dan tidak layak bagi seorang anak (seberapa pun pintarnya) untuk meninggikan suara, apalagi mendebat dengan kesombongan. Bahkan jika kita merasa benar, menundukkan suara dan hati di hadapan ibu adalah bagian dari kesempurnaan iman. Semoga kita semua mampu menjadi anak-anak yang berilmu dan beradab, yang menjadikan kefasihan bicara sebagai alat untuk berbakti, bukan untuk membantah. Sebab, di balik segala pencapaian kita hari ini, ada doa, cucuran air mata, dan peluh seorang ibu yang tak pernah meminta balas.