Rabu, 23 Juli 2025

Berani Bermimpi Besar: Kunci untuk Hidup yang Lebih Bermakna

Dalam hidup ini, mimpi adalah bahan bakar utama yang menggerakkan langkah dan memberi arah pada tujuan. Mimpi membuat kita berani berharap, berusaha, dan bertumbuh. Ungkapan “Jangan takut bermimpi besar. Takutlah jika kita tidak punya mimpi sama sekali” mengingatkan kita bahwa yang perlu ditakuti bukanlah kegagalan karena mimpi terlalu tinggi, melainkan hidup tanpa arah karena tidak berani bermimpi sama sekali. Mimpi besar bukan sekadar angan, tapi cita-cita yang membangkitkan semangat dan mengubah kehidupan.

Bermimpi besar berarti berani keluar dari zona nyaman dan membayangkan sesuatu yang lebih dari apa yang tampak mungkin. Mimpi besar menuntut kita untuk berkembang, belajar, dan bekerja lebih keras. Walau jalan menuju pencapaian itu tidak mudah, justru di sanalah nilai dan keindahannya: kita didorong untuk menjadi versi terbaik dari diri kita. Tanpa mimpi besar, kita hanya berjalan di tempat, merasa cukup dengan apa adanya, dan kehilangan potensi luar biasa yang kita miliki.

Sebaliknya, orang yang takut bermimpi besar seringkali kehilangan arah dalam hidup. Ia hanya mengikuti arus, hidup seadanya, dan enggan mengambil risiko. Padahal, sejarah mencatat bahwa perubahan besar di dunia ini lahir dari orang-orang yang berani bermimpi besar: para penemu, pemimpin, seniman, dan pemikir yang tidak takut dikritik atau ditertawakan. Mereka tahu bahwa mimpi besar memang mengundang rintangan, tetapi juga membuka jalan menuju pencapaian yang luar biasa.

Tentu saja, mimpi besar harus disertai tekad dan tindakan nyata. Mimpi yang hanya disimpan dalam kepala tidak akan mengubah apa pun. Namun, ketika mimpi besar menjadi bahan bakar dari setiap langkah, ia mampu menyalakan semangat bahkan di tengah kelelahan. Dengan mimpi besar, kita memiliki alasan kuat untuk bangun setiap pagi, untuk terus berjuang meski jatuh berkali-kali, dan untuk tetap berharap meski hasil belum terlihat.

Jangan takut jika mimpi kita terlalu tinggi. Takutlah jika kita hidup tanpa arah, tanpa cita-cita, dan tanpa harapan. Mimpi besar adalah awal dari perjalanan hebat. Ia mungkin tampak jauh, tapi dengan keyakinan dan kerja keras, tak ada yang mustahil. Maka, jangan tunda lagi, tulislah mimpimu, kejar dengan sepenuh hati, dan percayalah bahwa Tuhan telah menanamkan kemampuan besar dalam dirimu untuk mewujudkannya.

Selasa, 22 Juli 2025

Lebih Baik Hujan daripada Guntur: Buktikan, Jangan Hanya Bicara

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui orang yang pandai berkata-kata namun minim tindakan nyata. Ungkapan bijak dalam bahasa Jawa “Kakehan gludug kurang udan” secara harfiah berarti “kebanyakan guntur, tapi kurang hujan.” Ungkapan ini menyindir sikap seseorang yang terlalu banyak berbicara, berjanji, atau menyampaikan gagasan besar, namun tidak pernah diiringi dengan tindakan atau hasil nyata. Seperti guntur yang menggelegar namun tidak membawa hujan, kata-kata yang tanpa bukti hanya akan menjadi gema kosong yang kehilangan makna.

Ungkapan ini menjadi pengingat bahwa nilai sejati seseorang bukan terletak pada seberapa hebat ia berbicara, melainkan seberapa besar ia bisa mewujudkan apa yang ia katakan. Dunia tidak butuh lebih banyak suara, tetapi lebih banyak aksi. Orang bijak memilih untuk berbicara seperlunya, namun bertindak sebesar mungkin. Mereka menyadari bahwa kepercayaan dibangun bukan dari kata-kata indah, tetapi dari integritas dalam menepati ucapan dan konsistensi dalam bertindak.

Sering kali, terlalu banyak bicara justru menjadi penghalang bagi diri sendiri. Semakin banyak janji atau klaim yang diucapkan tanpa bukti, semakin berkurang pula kepercayaan orang lain terhadap kita. Dalam dunia kerja, hubungan sosial, maupun kepemimpinan, orang-orang yang dihargai adalah mereka yang diam-diam bekerja dan menunjukkan hasil. Karena itu, lebih baik menjadi pribadi yang “sedikit bicara, banyak bekerja” daripada sebaliknya.

Ungkapan bijak “kakehan gludug kurang udan” mengajarkan kita tentang pentingnya kejujuran, konsistensi, dan keteladanan dalam bertindak. Kata-kata memang memiliki kekuatan, tetapi hanya jika dibarengi dengan tindakan nyata. Mari kita biasakan untuk tidak tergoda menebar janji atau berbicara besar tanpa rencana dan usaha. Biarkan tindakan kita berbicara lebih nyaring daripada mulut kita. Sebab, dari hujanlah bumi menjadi subur, bukan dari suara guntur yang keras namun kosong.

Senin, 21 Juli 2025

Kepercayaan Diri: Busana Elegan yang Tak Pernah Usang

Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerap memikirkan apa yang akan kita kenakan sebelum keluar rumah. Kita memilih baju terbaik, merapikan penampilan, dan memastikan semuanya tampak pantas di mata orang lain. Namun, ada satu "pakaian" yang jauh lebih penting daripada semua itu, yaitu kepercayaan diri. Ungkapan “Kepercayaan diri adalah pakaian terbaik yang bisa kamu kenakan setiap hari” mengandung pesan mendalam bahwa tidak peduli seperti apa penampilan luar kita, rasa percaya pada diri sendirilah yang akan memancarkan kecantikan dan kekuatan sejati dari dalam.

Kepercayaan diri tidak datang dari penampilan fisik atau kemewahan materi. Ia tumbuh dari penerimaan terhadap diri sendiri, kesadaran akan potensi, dan keberanian untuk menghadapi tantangan. Orang yang percaya diri tidak harus sempurna. Justru mereka berani berjalan dengan segala kekurangan, karena tahu bahwa nilai diri tidak ditentukan oleh pendapat orang lain. Percaya diri membuat seseorang berdiri lebih tegak, berbicara lebih lantang, dan mengambil langkah tanpa ragu, sekalipun dunia belum memberikan jaminan keberhasilan.

Layaknya pakaian yang nyaman dan pas di tubuh, kepercayaan diri membuat kita lebih leluasa dalam menjalani hari-hari. Kita tidak mudah terpengaruh oleh komentar negatif atau perbandingan dengan orang lain. Sebaliknya, kita mampu fokus pada tujuan, membangun relasi yang sehat, dan memberikan dampak positif bagi sekitar. Ketika orang lain melihat pancaran kepercayaan diri dari dalam diri kita, mereka pun akan lebih menghargai dan mempercayai kita.

Namun, kepercayaan diri bukanlah sesuatu yang otomatis hadir setiap hari. Ia perlu dilatih dan dipelihara. Salah satunya dengan berbicara positif kepada diri sendiri, memaafkan kesalahan masa lalu, serta merayakan setiap langkah kecil yang kita capai. Membangun kepercayaan diri adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen, ketekunan, dan kasih sayang terhadap diri sendiri. Semakin kita mengenal dan menerima siapa diri kita, semakin kokoh kepercayaan diri itu akan berdiri.

Kita perlu menyadari bahwa dalam dunia yang sering memaksa kita untuk mengikuti standar tertentu, mengenakan kepercayaan diri adalah tindakan berani. Ia mencerminkan kebebasan dan kekuatan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Maka, setiap kali kita merasa ragu atau tak cukup berharga, ingatlah: tak ada pakaian yang lebih indah, lebih elegan, dan lebih menawan daripada kepercayaan diri yang kita kenakan dengan bangga.

Minggu, 20 Juli 2025

Empat Pilar Kehidupan yang Bernilai: Manfaat, Martabat, Kenyamanan, dan Nasihat

Dalam hidup ini, manusia sering mengejar hal-hal yang tampak menggiurkan di permukaan, kekayaan, ilmu, rumah megah, dan banyak teman. Namun, tidak semua harta mendatangkan manfaat, tidak semua ilmu mengangkat derajat, tidak semua rumah memberi kenyamanan, dan tidak semua teman menuntun pada kebaikan. Ungkapan “Sebaik-baik harta yang kita miliki adalah yang memberikan manfaat. Seagung-agungnya ilmu yang kita miliki adalah yang mengangkat derajat. Sebaik-baik rumah adalah yang memberikan keleluasaan. Dan sebaik-baik sahabat adalah yang menasihati kita” mengajak kita untuk menilai segala sesuatu bukan dari bentuknya, tapi dari nilainya yang hakiki.

Harta yang terbaik bukanlah yang menumpuk dalam rekening, tetapi yang memberi manfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Harta yang digunakan untuk membantu, membangun, dan memberdayakan jauh lebih mulia daripada kekayaan yang disimpan untuk diri sendiri. Dalam Islam dan banyak ajaran kebijaksanaan, keberkahan harta terletak pada seberapa besar ia mampu memberi manfaat. Maka, tidak perlu kaya raya untuk menjadi dermawan, cukup niat tulus dan keberanian untuk berbagi.

Ilmu yang agung adalah ilmu yang mengangkat derajat, bukan hanya secara sosial, tetapi juga secara moral dan spiritual. Ilmu sejati membentuk karakter, memperluas wawasan, dan menuntun seseorang menjadi lebih bijak dan rendah hati. Ilmu yang tidak diamalkan atau hanya digunakan untuk kepentingan pribadi adalah ilmu yang mati. Sebaliknya, ilmu yang dibagikan dan dimanfaatkan untuk kebaikan bersama akan menjadi cahaya yang menerangi banyak jalan kehidupan.

Rumah terbaik bukan hanya yang luas dan mewah, tetapi yang memberikan keleluasaan: ruang untuk tumbuh, ruang untuk berdamai, dan ruang untuk saling memahami. Rumah yang baik bukan dinilai dari ukuran fisiknya, tapi dari kualitas hubungan antarpenghuninya. Di rumah yang demikian, seseorang merasa aman untuk menjadi diri sendiri, merasa nyaman untuk berbicara, dan merasa damai untuk pulang. Inilah rumah yang sesungguhnya: tempat di mana jiwa bisa beristirahat.

Sahabat terbaik adalah mereka yang berani menasihati kita, bukan hanya yang menemani saat senang. Nasihat dari sahabat sejati mungkin terasa pahit, tapi di sanalah tanda cintanya. Mereka tidak membiarkan kita jatuh dalam kesalahan atau terjebak dalam kepalsuan. Mereka hadir untuk membimbing, bukan menjilat; untuk mengingatkan, bukan membenarkan segalanya. Sahabat seperti ini adalah anugerah, karena mereka membantu kita menjadi lebih baik, bukan hanya merasa lebih baik.

Maka dari itu, marilah kita mengevaluasi kembali apa yang kita miliki. Harta, ilmu, rumah, dan sahabat, semuanya akan menjadi sumber kebaikan jika kita memahami esensinya. Bukan seberapa banyak, tapi seberapa bermakna. Bukan seberapa besar, tapi seberapa bermanfaat. Sebab pada akhirnya, yang paling berharga dalam hidup bukan apa yang kita kumpulkan, tetapi apa yang kita gunakan untuk menebar kebaikan.

Sabtu, 19 Juli 2025

Melangkah Lewat Gagal, Menuju Sukses yang Hakiki

Dalam perjalanan hidup, kegagalan seringkali dianggap sebagai akhir dari segalanya. Ketika rencana tidak berjalan sesuai harapan atau usaha tak membuahkan hasil, kita merasa jatuh dan kehilangan arah. Namun sesungguhnya, kegagalan bukanlah titik berhenti, melainkan bagian penting dari proses menuju keberhasilan. Ungkapan “Setiap kegagalan membawamu satu langkah lebih dekat pada kesuksesan” mengajarkan bahwa setiap kegagalan bukanlah kemunduran sejati, tapi pijakan menuju pencapaian yang lebih besar.

Kegagalan adalah guru terbaik yang tidak mengajarkan teori, tetapi pengalaman. Ia menunjukkan kesalahan, mengungkap kekurangan, dan membuka ruang untuk perbaikan. Setiap kali kita gagal, kita belajar tentang cara yang tidak berhasil, dan itu berarti kita telah mengeliminasi satu kemungkinan yang keliru. Seperti Thomas Alva Edison yang gagal ribuan kali sebelum menemukan bola lampu, kita pun dituntut untuk terus mencoba, karena setiap kegagalan membawa pelajaran yang semakin mematangkan kita.

Lebih dari sekadar proses belajar, kegagalan juga melatih mental dan membentuk karakter. Ia mengajarkan ketabahan, kesabaran, dan keberanian untuk bangkit kembali. Orang yang tidak pernah gagal bisa jadi belum pernah mencoba sesuatu yang benar-benar besar. Maka, jangan pernah malu dengan kegagalan. Justru, hadapilah dengan kepala tegak dan hati yang kuat, karena keberhasilan besar hanya datang kepada mereka yang tidak menyerah ketika gagal.

Kita harus melihat kegagalan sebagai bagian dari peta perjalanan, bukan sebagai dinding penghalang. Setiap kegagalan mendekatkan kita pada kesuksesan, asal kita mau terus belajar, memperbaiki diri, dan tidak berhenti berjalan. Ingatlah, kesuksesan sejati bukan hanya soal hasil akhir, tapi juga tentang seberapa banyak kita bertumbuh melalui setiap kegagalan yang kita hadapi. Maka, jangan takut gagal, karena di balik setiap kegagalan, tersimpan satu langkah penting menuju mimpi yang sedang menanti.

Jumat, 18 Juli 2025

Manisnya Ibadah, Tanda Hati yang Hidup

Dalam kesibukan dunia yang menumpuk, kita sering kali menjalani ibadah sekadar sebagai rutinitas. Shalat dilakukan terburu-buru, Al-Qur’an dibaca tanpa penghayatan, dan zikir hanya berupa lantunan bibir tanpa getar jiwa. Imam Hasan Al-Bashri, salah satu tokoh besar dalam dunia tasawuf dan ilmu hati, mengingatkan kita dengan ucapannya yang dalam:

تَفَقَّدُوا الْحَلَاوَةَ فِي ثَلَاثٍ: فِي الصَّلَاةِ، وَفِي الْقُرْآنِ، وَفِي الذِّكْرِ، فَإِنْ وَجَدْتُمُوْهَا فَامْضُوْا وَأَبْشِرُوْا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْهَا فَاعْلَمْ أَنَّ بَابَكَ مُغْلَقٌ

Carilah manisnya amal dalam tiga hal: dalam shalat, dalam Al-Qur’an, dan dalam zikir. Jika kalian mendapatkannya dalam tiga perkara ini, maka berbahagialah. Namun jika tidak, ketahuilah bahwa pintumu tertutup.” Ungkapan ini bukan sekadar nasihat, tapi juga parameter bagi kesehatan spiritual kita.

Manisnya amal bukan berarti kita selalu merasa senang saat beribadah secara fisik, tetapi adanya ketenangan, kehadiran hati, dan rasa dekat kepada Allah saat melakukannya. Shalat yang manis bukan hanya gerakan yang benar, melainkan hati yang larut dalam munajat. Al-Qur’an yang manis bukan hanya bacaan tartil, tapi ketika setiap ayatnya menyentuh jiwa dan menasihati diri. Zikir yang manis bukan hanya suara lirih yang terucap, melainkan hati yang benar-benar hadir bersama nama Allah. Inilah rasa "halawah" (manis) yang dimaksudkan oleh para salaf.

Namun jika ketiganya (shalat, Al-Qur’an, dan zikir) kita lakukan namun tak membekas di hati, tidak menumbuhkan rasa tunduk, tenang, atau rindu pada Allah, maka Imam Hasan Al-Bashri menyatakan dengan tegas bahwa "pintu kita sedang tertutup". Artinya, ada hijab antara hati kita dan Allah. Entah karena dosa yang belum disadari, hati yang terlalu sibuk dengan dunia, atau keikhlasan yang mulai memudar. Ungkapan ini adalah panggilan untuk muhasabah, bukan putus asa, sebab tertutupnya pintu bukan berarti tak bisa dibuka, melainkan butuh ketukan dan ketulusan lebih dalam.

Kita diajak untuk jujur kepada diri sendiri: apakah shalat masih menjadi pelipur lara, Al-Qur’an menjadi cahaya hati, dan zikir menjadi pengingat yang membekas? Jika tidak, maka bukan amalnya yang salah, tapi mungkin hati kita yang telah mengeras. Maka solusinya bukan meninggalkan amal, melainkan membersihkan hati dan memperbanyak tobat serta doa agar pintu itu terbuka kembali. Terkadang, seseorang bisa membaca seribu ayat tanpa rasa, tapi satu istighfar yang tulus mampu menggugurkan hijab yang lama menutupi jiwanya.

Nasihat Imam Hasan Al-Bashri ini menjadi cermin bagi siapa pun yang ingin merasakan kenikmatan ibadah sejati. Ia bukan sekadar ajakan untuk meningkatkan amal, tapi juga seruan untuk mendekatkan hati. Manisnya shalat, Al-Qur’an, dan zikir bukanlah hal yang mustahil, ia adalah karunia Allah bagi hati yang tulus mencari-Nya. Maka teruslah mengetuk pintu itu dengan amal dan air mata, sebab tidak ada hati yang terus terhijab jika ia sungguh-sungguh ingin kembali pada-Nya.

Kamis, 17 Juli 2025

Bekerja dalam Diam, Berhasil tanpa Menjatuhkan

Dalam kehidupan yang serba cepat dan kompetitif, banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan, terkadang dengan mengabaikan nilai-nilai luhur. Namun dalam kearifan lokal Jawa, terdapat ungkapan bijak yang memberikan panduan hidup penuh makna: “Sepi ing pamrih, rame ing gawe, banter tan mblancangi, dhuwur tan nungkuli.” Ungkapan ini mengajarkan kita untuk bekerja keras dan penuh semangat tanpa pamrih, melangkah cepat tanpa mendahului orang lain secara tidak etis, serta meraih posisi tinggi tanpa harus menjatuhkan atau mengungguli orang lain. Sebuah prinsip yang sarat makna dan relevan di segala zaman.

Sepi ing pamrih, rame ing gawe berarti seseorang harus bekerja dengan sungguh-sungguh, tanpa mengharapkan pujian atau imbalan semata. Ketulusan dalam berkarya akan menciptakan kepuasan batin dan keberkahan dalam hasil. Orang yang tidak sibuk mencari pengakuan, tapi terus bergerak dalam diam, justru seringkali menjadi sosok yang paling berdampak. Semangat ini melahirkan integritas dan ketulusan, dua hal yang sangat dibutuhkan dalam dunia kerja maupun kehidupan sosial.

Banter tan mblancangi mengajarkan bahwa bergerak cepat itu penting, namun tidak dengan cara menyalip orang lain secara tidak adil. Dalam prinsip ini terkandung nilai etika dan sportivitas. Kita diajak untuk menghargai proses dan menjaga etika bersaing. Kecepatan dan ketepatan adalah kekuatan, tetapi harus disertai dengan kesadaran bahwa tidak semua hal harus dimenangkan dengan cara terburu-buru atau mengorbankan orang lain.

Dhuwur tan nungkuli adalah simbol kerendahan hati meski telah mencapai puncak. Orang yang benar-benar mulia tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, meski dirinya telah berada di posisi yang lebih tinggi secara status maupun kemampuan. Kesombongan bukanlah ciri dari kemuliaan sejati. Semakin tinggi seseorang, semestinya semakin rendah hatinya. Ungkapan ini menyiratkan bahwa kebesaran sejati terletak pada kemampuan menahan diri untuk tidak merendahkan orang lain.

Ungkapan bijak ini menjadi pelita di tengah dunia yang sering kali menilai manusia dari pencapaian yang tampak. Ia mengajarkan bahwa keberhasilan sejati bukan sekadar soal hasil, melainkan tentang bagaimana cara mencapainya. Bekerja tanpa pamrih, bersaing dengan jujur, dan tetap rendah hati adalah sikap hidup yang tidak hanya membawa keberkahan, tetapi juga ketenteraman jiwa. Dalam kesunyian pamrih dan kegigihan kerja itulah, manusia menemukan makna hidup yang sesungguhnya.

Rabu, 16 Juli 2025

Cahaya Akhlak yang Menembus Batas Keyakinan

Di tengah hiruk-pikuk zaman yang sering memisahkan nilai dari pendidikan, kisah berikut mengajarkan kepada kita bahwa cahaya akhlak yang murni mampu menembus batas agama, budaya, bahkan keyakinan. Seorang ibu non-Muslim di Paris memilih untuk mengirim anaknya ke masjid bukan karena ia ingin anaknya berpindah keyakinan, melainkan karena ia menyaksikan pancaran ketulusan, cinta, dan penghormatan anak-anak Muslim terhadap orang tua mereka. Ini adalah kisah yang membuktikan bahwa akhlak mulia tidak hanya menjadi identitas seorang Muslim sejati, tetapi juga menjadi dakwah paling lembut dan menggetarkan hati.

Seorang perempuan Kristen mengirim anaknya ke salah satu masjid di Paris untuk belajar akhlak bersama anak-anak orang-orang Islam.

Anak kecil tersebut masuk ke salah satu masjid di Paris dan berkata kepada sang imam masjid, “Ibuku telah mengirimku agar aku bisa belajar di tempat pendidikanmu ini.”

Sang imam pun tersenyum dan berkata kepada anak kecil tersebut, “Di mana ibumu agar kami memastikan kebenaran omonganmu ini.”

Sang anak berkata, “Dia berada di jalan luar, dia tidak bisa masuk, karena kami adalah keluarga Kristen dan kami bukanlah keluarga Islam.”

Maka sang imam-pun terperanjat dan keluar dengan cepat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dengan meminta keterangan dari sang ibu dari teka-teki yang aneh ini. Bagaimana mungkin ada orang-orang yang bukan Islam, mengutus anaknya agar belajar di masjid milik orang-orang Islam?

Maka berkata sang ibu kepada sang imam, “Aku memiliki tetangga perempuan Muslimah, dia memiliki anak-anak kecil. Aku melihat mereka, anak-anak kecil tersebut mencium tangan ibu mereka setiap pagi. Dan cahaya memancar atas wajah sang ibu Muslimah tersebut, juga dari wajah-wajah anak-anak kecil mereka. Juga aku melihat anak-anak kecil itu, selalu taat kepada ibu mereka dan selalu dalam kedamaian. Dan aku mengetahui banyak dari orang-orang Islam, bahwa tidak akan terbesit keinginan untuk membawa orang tua mereka ke panti jompo meski amat sangat tua. Maka aku menginginkan anakku belajar akhlak atau perangai dari Anda, agar anakku bisa berbuat kepadaku ketika aku telah tua, sebagaimana anak-anak kalian berbuat pada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.”

Kisah mengharukan ini menyentuh kita pada satu kebenaran yang sering dilupakan: bahwa akhlak yang baik adalah bahasa universal yang dipahami oleh hati siapa pun, tanpa memandang latar belakangnya. Terkadang, satu tindakan penuh kasih dari seorang anak kepada ibunya bisa menjadi jendela hidayah bagi banyak orang. Semoga kita semua dapat terus meneladani akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari, karena dari sanalah cahaya Islam sejati akan bersinar, melembutkan hati, dan menyatukan manusia dalam cinta dan penghormatan yang tulus.

Selasa, 15 Juli 2025

Menjadi Pribadi yang Dicintai Langit dan Dihormati Bumi

Setiap manusia menginginkan hidup yang penuh makna, diterima oleh sesama, dan dicintai oleh Tuhan. Namun, cinta sejati bukanlah sesuatu yang bisa dibeli atau dicari di luar diri, ia tumbuh dari dalam, dari kebersihan jiwa, ketulusan iman, dan kemuliaan akhlak. Ungkapan “Orang yang jiwanya dibersihkan oleh takwa, pikirannya disucikan oleh iman, dan akhlaknya disepuh oleh kebaikan, akan menerima kecintaan dari Tuhan dan sesama” merupakan pengingat indah bahwa cinta dan penerimaan itu datang kepada mereka yang terus memperbaiki diri dalam pandangan Allah dan manusia.

Takwa adalah fondasi utama dalam membersihkan jiwa. Ia bukan sekadar rasa takut kepada Tuhan, tetapi juga kesadaran yang mendalam untuk selalu berada di jalan-Nya. Orang yang bertakwa tidak hanya menjauhi larangan, tetapi juga berusaha melakukan yang terbaik dalam setiap aspek hidupnya. Dalam ketakwaan, hati menjadi jernih, niat menjadi lurus, dan hidup dipenuhi dengan makna spiritual yang membimbing setiap langkah. Jiwa yang bersih karena takwa akan lebih mudah merasakan kedamaian dan keberkahan.

Sementara itu, iman menyucikan pikiran. Pikiran yang beriman bukan hanya berpikir logis, tetapi juga tunduk pada kebijaksanaan ilahi. Ia mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan, serta memilih yang hak meskipun bertentangan dengan keinginan pribadi. Orang yang pikirannya diterangi oleh iman akan menilai segala sesuatu bukan hanya dari sisi duniawi, tapi juga dari nilai-nilai ukhrawi. Inilah yang membuat pikirannya tenang, tidak mudah terombang-ambing oleh keresahan atau bisikan negatif.

Kemudian, akhlak yang disepuh oleh kebaikan adalah wujud nyata dari ketakwaan dan keimanan yang hidup. Akhlak mulia bukan sekadar kesopanan, tapi pancaran hati yang lembut dan tulus. Orang yang menghiasi dirinya dengan kebaikan (dalam ucapan, tindakan, dan sikap) akan memancarkan aura yang menyejukkan. Ia tidak hanya dicintai oleh manusia, tetapi juga dimuliakan oleh Allah. Sebab dalam Islam, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Ketika jiwa telah bersih, pikiran telah suci, dan akhlak telah mulia, maka cinta Tuhan akan mendekat, dan kasih sayang manusia pun akan mengalir. Inilah manusia paripurna dalam pandangan agama, yang hidupnya menjadi cahaya bagi sekitarnya dan sumber ketenangan bagi siapa pun yang mengenalnya. Maka marilah kita terus memperbaiki diri, bukan untuk dilihat manusia, tapi agar dicintai oleh Tuhan. Sebab cinta dari-Nya adalah puncak dari segala kebahagiaan.

Senin, 14 Juli 2025

Bijak Menghadapi Zaman: Tetap Membumi di Tengah Perubahan

Perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti dalam kehidupan. Setiap manusia, tanpa terkecuali, akan merasakan bagaimana waktu menggerakkan kehidupan dari satu fase ke fase lainnya. Ungkapan bijak dalam bahasa Jawa “Zaman iku owah gingsir” mengandung makna yang sangat dalam. Artinya, zaman itu pasti berubah, ruang, waktu, kondisi sosial, dan cara hidup semuanya akan terus berganti, seiring berjalannya waktu. Ungkapan ini mengajak kita untuk senantiasa bersiap, beradaptasi, dan membuka diri terhadap dinamika kehidupan.

Perubahan zaman membawa banyak tantangan sekaligus peluang. Yang dahulu dianggap baik, mungkin kini sudah usang. Yang dulunya cukup, sekarang mungkin terasa kurang. Maka, mereka yang mampu bertahan dan sukses dalam hidup bukanlah yang paling kuat secara fisik, tetapi mereka yang paling siap berubah dan mampu beradaptasi. Inilah nilai penting dari memahami bahwa zaman itu dinamis, tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.

Ungkapan bijak ini juga menjadi pengingat agar kita tidak terjebak dalam romantisme masa lalu. Betapa pun indahnya kenangan, hidup harus terus berjalan ke depan. Kita tidak bisa hidup dengan pola pikir lama jika kenyataan sekarang menuntut solusi dan pendekatan yang baru. Maka, penting bagi kita untuk terus belajar, mengasah kemampuan, dan menyambut setiap perubahan dengan semangat positif. Kuncinya adalah fleksibilitas, keterbukaan, dan kemauan untuk berkembang.

Namun demikian, berubah bukan berarti kehilangan jati diri. Kita tetap bisa memegang nilai-nilai luhur dan prinsip hidup yang baik, sambil menyesuaikan cara pandang dan tindakan sesuai dengan tuntutan zaman. Di sinilah letak kearifan hidup, memiliki akar yang kuat pada nilai-nilai kebaikan, tetapi juga memiliki sayap untuk terbang mengikuti angin perubahan. Orang bijak tidak akan kaku dalam menghadapi zaman, tapi juga tidak kehilangan arah dalam derasnya arus modernitas.

Ungkapan bijak "Zaman iku owah gingsir" bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah ajakan untuk siap menghadapi realitas hidup yang terus berubah. Dalam setiap perubahan, Tuhan menyimpan pelajaran dan jalan baru bagi mereka yang mau bergerak. Jangan takut pada perubahan, karena dari situlah kita akan menemukan versi terbaik dari diri kita sendiri. Mari melangkah dengan bijak, tetap membumi, tapi terus bertumbuh di tengah zaman yang selalu bergeser.

Minggu, 13 Juli 2025

Satu Ayat, Seumur Hidup Menghormati

Dalam dunia yang kerap memuja gelar dan prestasi, kisah para salafus-saleh mengajarkan bahwa kemuliaan sejati terletak pada akhlak, bukan hanya ilmu. Salah satu akhlak luhur yang mulai pudar di zaman ini adalah penghormatan mendalam kepada guru. Kisah Syekh Syamsuddin ad-Dimyati yang menolak berkendara di hadapan orang tua buta hanya karena pernah belajar satu ayat darinya menjadi potret keteladanan yang langka. Ini bukan sekadar adab, melainkan cerminan kerendahan hati yang lahir dari kesadaran akan pentingnya ilmu dan siapa pun yang menjadi perantaranya.

Dikatakan di dalam kitab “Tanbih al-Mughtarrin”, “Dan di antara akhlak para salafus-saleh adalah sangat beradab kepada orang yang telah mengajarinya surat maupun satu ayat dari Al-Qur’an, padahal itu dilakukan waktu masih kecil. Mereka selalu beradab kepada guru mereka yang telah mengajar satu surat, ayat atau bab suatu ilmu sampai tidak mau berjalan dengan kendaraan di depan gurunya atau tidak berani menikahi istri guru yang sudah dicerainya sekalipun mereka sudah menjadi ulama Islam atau guru tarekat.”

Imam Sya’rani rahimahullah pernah berkata, “Suatu hari aku bersama Syekh Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah (w. 918 H). Syekh Syamsuddin melihat orang tua buta yang dituntun oleh anak perempuannya, tiba-tiba Syekh Syamsuddin turun dari kendaraannya dan mencium tangannya dan mengantarkannya dalam perjalanan yang jauh. ‘Saat pulang aku bertanya kepadanya mengenai orang tua tadi.’ Dan Syekh Syamsuddin berkata, ‘Aku pernah belajar ayat Al-Qur’an kepada orang tua itu sehingga aku tidak bisa untuk berjalan di hadapannya sedangkan aku berkendaraan.”

Syekh Syamsuddin ad-Dimyati rahimahullah adalah seorang yang diberi kedudukan (tinggi) di hadapan para raja, juga dianugerahi keyakinan, ilmu, dan kebaikan. Menurut Imam Sya’rani, “Aku tidak pernah melihat seorang ulama dari temannya yang seperti beliau. Pada suatu hari aku melihatnya berada di antara dua raja dan masyarakat berdesakan untuk mencium tangan Syekh Syamsuddin. Sedangkan untuk orang-orang yang tidak bisa sampai kepadanya mereka membentangkan kain agar bisa bersentuhan dengan pakaian Syekh Syamsuddin kemudian mencium kain tersebut sebagaimana jamaah haji melakukannya saat di Ka’bah dan hal tersebut terjadi saat ia melewati kota Kairo.”

Dari kisah ini kita belajar bahwa kehormatan seorang murid tidak terletak pada tingginya jabatan atau luasnya ilmu, tetapi pada bagaimana ia menjaga adab kepada guru, sekecil apa pun jasa sang guru kepadanya. Akhlak Syekh Syamsuddin adalah cermin keagungan jiwa yang menjadikan ilmu sebagai jalan menuju Allah, bukan sekadar sarana pengakuan dunia. Semoga kita bisa mewarisi semangat ini, menjaga adab dalam setiap langkah, dan menghormati para guru kita sebagai bagian dari penghambaan kepada Sang Maha Pemberi Ilmu.

Sabtu, 12 Juli 2025

Amal Baik Tak Cukup Tanpa Ridha Orang Tua

Hubungan anak dan orang tua bukan sekadar ikatan darah, melainkan jalan menuju ridha Allah. Kisah Alqamah membuka mata hati kita bahwa amal baik yang tampak sekalipun bisa tertahan nilainya jika hak ibu dan ayah diabaikan. Betapa banyak orang menjaga ibadahnya, tetapi melupakan ridhanya orang tua, padahal restu mereka adalah pintu langit yang tak tergantikan. Di balik kasih seorang ibu, tersimpan rahmat Allah yang begitu luas, dan ketika kasih itu terluka, dampaknya bisa menghalangi kebaikan terbesar sekalipun, termasuk kalimat syahadat di akhir hayat.

Alqamah tidak pernah meninggalkan majelis Rasulullah Saw. Dia sangat jujur dalam urusan uang dan timbangan. Sayang, ia memutuskan hubungan dengan ibunya, karena lebih mengutamakan istrinya.

Sewaktu sakit menjelang ajalnya, para sahabatnya menuntun dia mengucapkan kalimat syahadat, tetapi dia tidak mampu menirukan. Anehnya, jika sahabatnya menuntunnya mengucapkan kalimat lain, ia dapat menirukan. Kejadian ini kemudian disampaikan kepada Rasulullah Saw.

“Wahai Rasulullah, Alqamah tidak dapat mengucapkan kalimat syahadat padahal ia sekarang sedang sekarat,” lapor teman-temannya.

Rasulullah Saw. segera pergi menengok Alqamah. Beliau sendiri kemudian menuntun Alqamah mengucapkan kalimat syahadat, namun Alqamah tak mampu menirukan. Permasalahan Alqamah ini menjadi besar, karena Rasulullah Saw. sendiri tidak mampu menuntunnya mengucapkan kalimat tauhid.

“Beritahu kami, bagaimana keadaan suamimu dan bagaimana amalnya?” tanya Rasulullah Saw. kepada istri Alqamah.

“Wahai Rasulullah, semua amalnya baik kecuali satu hal,” jawabnya.

“Apa itu?”

“Demi cintanya kepadaku ia memutuskan hubungan dengan ibunya.”

“Jelaslah sekarang. Itulah yang menyebabkan ia tidak dapat mengucapkan syahadat,” kata Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. kemudian mengutus seseorang untuk menemui ibu Alqamah.

“Sampaikan salamku kepadanya dan tanyakan apakah ia mau datang kepadaku atau aku yang datang mengunjunginya?”

Sesampainya di rumah ibu Alqamah, utusan itu segera menyampaikan pesan Rasulullah Saw.

“Diriku sebagai tebusan beliau, aku lebih berhak mengunjunginya,” jawab ibu Alqamah.

“Rasulullah berada di rumah Alqamah,” kata utusan itu.

Ibu Alqamah kemudian pergi ke rumah anaknya.

“Maafkanlah anakmu,” pinta Rasulullah Saw. kepada sang ibu.

“Tidak, wahai Rasulullah, aku tidak bisa memaafkannya. Luka hatiku ini terlalu dalam. Tiap malam aku tak bisa tidur nyenyak karena perasaan marah yang bergolak di dadaku. Sementara, ia tidur nyenyak di samping istrinya. Tidak, aku tak bisa memaafkannya,” kata sang ibu.

Rasulullah Saw. membujuk ibu ini agar mau meridhai anaknya, tetapi tidak berhasil.

Beliau kemudian menemukan siasat.

“Kumpulkanlah kayu,” perintah Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya. Tak berapa lama, terkumpullah kayu dalam jumlah besar. Beliau kemudian memerintahkan untuk membakar timbunan kayu itu.

Melihat api yang menjilat-jilat, sang ibu bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang hendak engkau perbuat dengan api itu?”

“Kami akan melemparkan Alqamah ke dalamnya.”

“Anakku, buah hatiku akan engkau bakar?” jerit ibu Alqamah.

“Jika engkau tidak bisa memaafkan, Allah akan membakarnya dengan api akhirat yang jauh lebih dahsyat dan besar.”

Menyadari hal ini, sang ibu akhirnya akan berkata, “Wahai Rasulullah, aku maafkan dia.”

Rasulullah Saw. kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Tengoklah Alqamah! Bagaimana keadaannya?”

Mereka segera bergegas ke dalam rumah Alqamah. Dan dari balik dinding, mereka mendengar Alqamah mengucapkan kalimat syahadat.

Dari kisah ini, kita belajar bahwa surga benar-benar berada di bawah telapak kaki ibu, dan ridha Allah bergantung pada ridhanya orang tua. Tidak cukup menjadi baik di mata manusia jika belum benar di hadapan ibu dan ayah. Alqamah akhirnya mampu mengucap syahadat setelah hati ibunya luluh dan memaafkan, menunjukkan bahwa keretakan hubungan keluarga bisa menjadi penghalang antara kita dan akhir yang husnul khatimah. Semoga kisah ini menggerakkan kita untuk lebih berbakti, merendah, dan memuliakan kedua orang tua, sebelum terlambat.

Jumat, 11 Juli 2025

Sabar dan Mengalah: Jalan Sunyi Menuju Rezeki dan Berkah

Dalam kehidupan yang penuh dinamika ini, tidak jarang manusia dihadapkan pada situasi yang menuntut emosi dan ego. Di tengah tuntutan dan persaingan hidup, muncul ungkapan bijak dalam bahasa Jawa yang sarat makna: “Wong sabar rejekine jembar, ngalah urip kuwih berkah”. Artinya, orang yang sabar akan mendapatkan rezeki yang luas, dan mereka yang mau mengalah akan meraih hidup yang penuh keberkahan. Ungkapan ini bukan sekadar nasihat turun-temurun, tetapi kearifan hidup yang telah teruji oleh waktu.

Sabar bukan berarti diam tanpa usaha, melainkan kemampuan untuk tetap tenang dan bijaksana dalam menghadapi ujian. Orang yang sabar tidak terburu-buru mengambil keputusan, tidak mudah terpancing emosi, dan lebih memilih jalan damai daripada pertikaian. Sifat ini membuka pintu-pintu rezeki karena sabar menciptakan suasana hati yang jernih, pikiran yang tajam, dan hubungan sosial yang harmonis. Dengan kesabaran, seseorang mampu bertahan dan terus melangkah meski dalam tekanan.

Sementara itu, sikap mengalah bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti dari kekuatan hati dan kematangan jiwa. Mengalah berarti menempatkan perdamaian dan kebaikan di atas ego pribadi. Dalam kehidupan bermasyarakat, mereka yang mudah mengalah justru lebih dihormati dan disegani karena mampu menjaga kerukunan. Hidup yang dipenuhi sikap mengalah akan mengalir lebih tenang, jauh dari konflik, dan inilah yang membawa keberkahan dalam berbagai aspek kehidupan.

Ungkapan bijak ini mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada kemenangan sesaat atau kebanggaan yang lahir dari ego. Sabar dan mengalah bukan berarti kalah, tetapi sebuah strategi hidup yang membawa kedamaian, kelapangan rezeki, dan keberkahan dari Tuhan. Dalam dunia yang semakin keras, dua sifat ini menjadi penawar sekaligus pelindung jiwa. Maka, jadikanlah sabar sebagai pegangan dan mengalah sebagai kebiasaan, agar hidup tidak hanya sukses secara lahiriah, tapi juga tenteram dan diberkahi secara batiniah.

Kamis, 10 Juli 2025

Saat Ilmu Bertemu Akhlak: Kisah Keteladanan Imam Syafi’i

Dalam perjalanan hidup dan ilmu, tak jarang perbedaan pendapat menjadi ujian bagi kelapangan dada dan kebesaran jiwa. Kisah berikut ini menghadirkan teladan luar biasa dari Imam Syafi’i, seorang ulama besar yang tidak hanya agung dalam ilmu, tetapi juga luhur dalam akhlak. Dengan kelembutan hati dan kebijaksanaannya, beliau mengajarkan makna sejati dari ukhuwah, adab dalam perbedaan, dan pentingnya menjaga hubungan antarsesama. Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pelita hikmah yang menuntun kita untuk lebih bijak dalam menyikapi perbedaan dan lebih lembut dalam membangun persaudaraan.

Diriwayatkan bahwa Yunus bin Abdi al-A’la berselisih pendapat dengan sang guru, yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (Imam Syafi’i) saat beliau mengajar di masjid. Hal ini membuat Yunus bangkit dan meninggalkan majelis itu dalam keadaan marah.

Kala malam menjelang, Yunus mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia berkata, “Siapa di pintu?” Orang yang mengetuk menjawab, “Muhammad bin Idris”.

Seketika Yunus berusaha untuk mengingat semua orang yang ia kenal dengan nama itu, hingga ia yakin tidak ada siapapun yang bernama Muhammad bin Idris yang ia kenal, kecuali Imam Syafi’i. Saat ia membuka pintu, ia sangat terkejut dengan kedatangan sang guru besar yaitu Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i berkata, “Wahai Yunus, selama ini kita disatukan dalam ratusan masalah, apakah karena satu masalah saja kita harus berpisah? Janganlah engkau berusaha untuk menjadi pemenang dalam setiap perbedaan pendapat. Terkadang, meraih hati orang lain itu lebih utama daripada meraih kemenangan atasnya. Jangan pula engkau hancurkan jembatan yang telah engkau bangun dan engkau lewati di atasnya berulang kali, karena boleh jadi kelak satu hari nanti engkau akan membutuhkannya kembali. Berusahalah dalam hidup ini agar engkau selalu membenci perilaku orang yang salah, tetapi jangan pernah engkau membenci orang yang melakukan kesalahan itu.”

Imam Syafi’i melanjutkan perkataannya, “Engkau harus marah saat melihat kemaksiatan, tapi berlapang dadalah dan bimbinglah para pelaku kemaksiatan. Engkau boleh mengkritik pendapat yang berbeda, namun tetap menghormati terhadap orang yang berbeda pendapat. Karena tugas kita dalam kehidupan ini adalah menghilangkan penyakit, dan bukan membunuh orang yang sakit. Maka apabila ada orang yang datang meminta maaf kepadamu, maka segera maafkan. Apabila ada orang yang tertimpa kesedihan, maka dengarkanlah keluhannya. Apabila datang orang yang membutuhkan, maka penuhilah kebutuhannya sesuai dengan yang Allah berikan kepadamu. Apabila datang orang yang menasihatimu, maka berterima kasihlah atas nasihat yang ia sampaikan kepadamu. Bahkan seandainya satu hari nanti engkau hanya menuai duri, tetaplah engkau untuk senantiasa menanam bunga. Karena sesungguhnya balasan yang dijanjikan oleh Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Dermawan jauh lebih baik dari balasan apapun yang mampu diberikan oleh manusia.”

Beliau pun menangis dan merangkul sang imam sembari memohon maaf dan berterima kasih atas nasihatnya.

Dari peristiwa kecil yang sarat makna ini, kita belajar bahwa kemenangan sejati bukanlah saat kita menang dalam debat, melainkan saat kita mampu merangkul dengan kasih sayang di tengah perbedaan. Imam Syafi’i menunjukkan bahwa ilmu tanpa akhlak akan kehilangan arah, dan perbedaan tanpa cinta akan melahirkan perpecahan. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk lebih bijak dalam bersikap, lebih lembut dalam berkata, dan lebih besar dalam memaafkan, agar hidup kita menjadi jembatan kebaikan, bukan tembok pemisah di antara sesama.

Rabu, 09 Juli 2025

Melangkah Bersama Waktu: Menjemput Nasib Baik dengan Perilaku Bijak

Dalam kehidupan ini, waktu adalah anugerah sekaligus pengingat bahwa setiap detik membawa kita lebih dekat kepada takdir. Ungkapan bijak dalam bahasa Jawa, "Urip iku terus mlaku, bebarengan karo wektu, sing bisa gawa lakumu, supaya apik nasibmu (Hidup itu terus berjalan, bersamaan dengan waktu yang bisa membawa tingkah lakumu, biar nasibmu baik)," mengandung makna yang dalam dan membangkitkan kesadaran. Hidup tidak pernah berhenti, ia terus berjalan seiring dengan waktu. Maka, manusia sebagai pelaku kehidupan mesti bijak dalam melangkah, karena nasib dan masa depan ditentukan oleh bagaimana kita memanfaatkan waktu dan memperbaiki perilaku kita.

Waktu bukan sekadar angka yang terus bertambah di kalender, melainkan sahabat sekaligus saksi dari setiap pilihan hidup yang kita ambil. Ketika seseorang lalai atau menyia-nyiakan waktunya, maka hidupnya pun akan terseret tanpa arah yang jelas. Sebaliknya, ketika seseorang menghargai waktu dan menggunakannya untuk bertindak bijak, maka langkah-langkah kecilnya akan membawa perubahan besar. Perilaku atau lakumu adalah faktor kunci dalam mengarahkan ke mana nasib akan membawa kita.

Ungkapan ini mengajarkan bahwa kita tidak bisa hanya menunggu keajaiban nasib. Nasib yang baik bukan sesuatu yang jatuh begitu saja dari langit, melainkan hasil dari perjalanan panjang, konsistensi, dan usaha yang berkelanjutan. Setiap perbuatan yang kita lakukan hari ini adalah batu pijakan menuju kehidupan esok. Oleh karena itu, menjalani hidup dengan penuh kesadaran, etika, dan semangat perbaikan diri menjadi keharusan yang tak bisa ditawar.

Lebih dari itu, pesan ini menyiratkan bahwa kehidupan harus dijalani dengan keseimbangan antara usaha dan waktu. Tidak cukup hanya bekerja keras, kita juga harus bersabar, beradaptasi, dan terus mengevaluasi langkah kita seiring waktu berjalan. Perjalanan hidup bukanlah sprint singkat, melainkan maraton panjang yang membutuhkan daya tahan, visi, dan arah yang jelas. Di sinilah pentingnya menjadikan waktu sebagai sekutu, bukan musuh.

Ungkapan bijak ini meneguhkan kita bahwa hidup adalah proses yang terus bergerak, dan kita adalah pengendali arah geraknya. Jika kita mampu memadukan kesadaran waktu dan kelurusan perilaku, maka bukan tidak mungkin nasib yang baik akan menghampiri. Mari kita jalani hidup ini dengan tekad yang kuat, pikiran yang jernih, dan tindakan yang baik, agar waktu tidak hanya membawa kita tua, tetapi juga membawa kita pada kebahagiaan dan keberkahan.

Selasa, 08 Juli 2025

Kebesaran yang Tersembunyi dalam Kerendahan Hati

Dalam sejarah Islam, para sahabat Nabi Muhammad Saw. tidak hanya dikenang karena keilmuan atau keberanian mereka, tetapi juga karena keteladanan akhlak yang luar biasa. Salah satu sahabat mulia tersebut adalah Salman Al-Farisi, seorang tokoh yang berasal dari Persia dan memeluk Islam dengan perjuangan panjang. Kisah hidupnya sarat akan pelajaran tentang kerendahan hati, pengabdian tanpa pamrih, serta semangat melayani sesama, bahkan ketika ia menjabat sebagai seorang pemimpin.

Salman Al-Farisi tergolong sebagai salah seorang sahabat Rasulullah Saw. Pernah di masa hidupnya, Salman diberi jabatan sebagai gubernur di salah satu wilayah Islam. Namun demikian, kedudukannya itu tidak sedikit pun mengubah kepribadiannya yang santun, rendah hati, serta zuhud terhadap kemewahan dunia.

Pada suatu hari, diriwayatkan seorang rakyat awam tanpa mengenali Salman terus menariknya secara kasar lalu menyuruhnya melakukan suatu pekerjaan yang berat. Orang itu menjumpai Salman ketika berada di tepi jalan. Ia mempunyai sebuah karung besar, lalu menyuruh Salman memikulnya sampai ke rumah. Tanpa banyak masalah, Salman terus memikulnya. Di tengah jalan, seorang lelaki memberi salam kepadanya. Alangkah terkejutnya melihat Salman memikul karung. Lalu ia berkata, “Wahai Tuan, tahukah Tuan bahwa orang yang memikul karung Tuan itu adalah Salman Al-Farisi, amir negeri kita ini?”

Seketika lelaki yang mendengarnya itu terkejut. Ternyata orang yang dikasarinya itu adalah gubernurnya sendiri. Lantas dia meminta maaf dan menyuruh Salman menurunkan karung yang sedang dipikulnya itu. Tetapi Salman menjawab, “Oh, tidak mengapa Tuan. Biarlah saya memikul barang Tuan ini hingga sampai ke rumah Tuan.”

Kisah Salman Al-Farisi ini mengajarkan kepada kita bahwa kemuliaan bukan terletak pada jabatan, pangkat, atau pengakuan manusia, melainkan pada sikap rendah hati dan keikhlasan dalam berbuat baik. Seorang pemimpin sejati tidak merasa lebih tinggi dari rakyatnya, bahkan bersedia memikul beban mereka tanpa mengeluh. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk menjadikan pelayanan dan kerendahan hati sebagai jalan menuju keberkahan hidup di dunia dan akhirat.

Senin, 07 Juli 2025

Menjadi Baik Tanpa Perlu Membuktikan

Dalam kehidupan ini, setiap manusia pasti akan menghadapi penilaian dari orang lain. Baik dalam wujud pujian ataupun hinaan, semua adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan. Namun sering kali, apapun yang kita lakukan akan tetap mendapatkan sorotan. Ungkapan “Kecil dihina, besar dicurigai, salah dicaci, bahkan benar sekalipun kamu masih dighibahi. Satu hal yang harus kamu ingat: Jadilah orang baik, tapi jangan membuang waktumu untuk membuktikannya” adalah cerminan realitas bahwa hidup tak selalu adil, dan penilaian manusia tak selalu obyektif. Maka yang terpenting bukanlah sibuk membela diri, melainkan tetap istiqamah menjadi pribadi yang baik di hadapan Allah dan nurani.

Sering kali saat kita masih "kecil" atau dianggap belum berhasil, orang meremehkan dan menghina. Ketika kita mulai tumbuh dan sukses, datanglah rasa curiga dan prasangka dari mereka yang merasa terganggu. Dunia ini memang tak kekurangan komentar, namun sangat kekurangan empati. Maka daripada larut dalam luka karena hinaan, lebih baik kita menjadikannya pijakan untuk terus melangkah lebih baik lagi. Orang besar tak sibuk membalas hinaan, tapi mengubah hinaan itu menjadi motivasi untuk terus tumbuh.

Saat kita melakukan kesalahan, cacian pun datang silih berganti. Namun yang lebih menyakitkan, ketika kita benar pun masih saja ada yang menggunjing, membicarakan di belakang, bahkan merendahkan niat baik kita. Tapi inilah pelajaran penting dalam hidup: bahwa kebenaran tidak selalu disukai, dan keikhlasan sering kali diuji dengan ketidakadilan. Maka, jangan menakar nilai diri dari opini orang lain, karena manusia tak akan pernah benar-benar puas melihat orang lain bahagia.

Pesan utama dari ungkapan ini adalah: jadilah orang baik, bukan untuk membuktikan siapa kita, tetapi karena kebaikan itu sendiri adalah nilai luhur yang tak ternilai. Jangan habiskan energi hanya untuk membuat semua orang menerima kita, sebab itu mustahil. Bahkan para nabi pun tidak lepas dari fitnah dan cercaan, padahal mereka adalah manusia paling mulia. Maka tugas kita hanyalah memperbaiki diri, bukan menjelaskan diri. Orang yang benar-benar bijak akan melihat kebaikan, meski tertutup oleh prasangka orang banyak.

Hidup ini adalah ladang amal, bukan panggung pembuktian. Biarkan saja orang berkata apa, selama kita tahu bahwa hati ini tetap lurus dan niat ini tetap tulus. Kita bukan hidup untuk membuat semua orang terkesan, tapi untuk menjadi versi terbaik diri kita sendiri di hadapan Tuhan. Maka teruslah berbuat baik, meskipun tidak dilihat, tidak dipuji, bahkan tidak dipercaya. Karena kebaikan sejati tak membutuhkan pengakuan, hanya keridhaan dari Yang Maha Mengetahui.

Minggu, 06 Juli 2025

Asyura: Momentum Ibadah dan Kepedulian

Hari Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharam dalam kalender Hijriyah merupakan salah satu hari istimewa dalam Islam. Banyak peristiwa penting terjadi pada hari ini, mulai dari diselamatkannya Nabi Musa dan ditenggelamkannya Fir’aun hingga kisah tragis kesyahidan cucu Rasulullah, Sayyidina Husain di Karbala. Karena keutamaannya, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah di hari ini. Momentum Asyura menjadi pengingat agar kita memperbaharui komitmen ketaatan, menyucikan diri dari dosa, serta mempererat ikatan sosial dan spiritual.

Salah satu amalan utama pada hari Asyura adalah berpuasa. Dalam sebuah hadis shahih, Rasulullah Saw. bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

Puasa pada hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim dan At-Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan betapa besar pahala yang dijanjikan bagi orang yang melaksanakan puasa Asyura. Amalan ini menjadi peluang besar untuk meraih rahmat dan pengampunan Allah Swt.

Selain puasa, terdapat banyak amaliyah yang disunnahkan atau dianjurkan oleh para ulama di hari Asyura. Di antaranya adalah memperbanyak shalat sunnah, berziarah kepada ulama atau orang-orang saleh, bersilaturahim, menjenguk orang sakit, memakai celak, mengusap kepala anak yatim sebagai bentuk kasih sayang, bersedekah, memuliakan keluarga dengan memberikan makanan istimewa, memotong kuku, mandi, dan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 1000 kali. Amalan-amalan ini bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki hubungan sosial sesama manusia.

Amaliyah lain yang bisa dilakukan adalah membaca zikir حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ  (70 kali). Dijelaskan bahwa setiap orang yang membaca zikir tersebut sebanyak 70 kali, maka Allah akan menjaganya dari kejelekan tahun tersebut. Lalu dilanjutkan membaca doa berikut ini sebanyak 7 kali:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. سُبْحَانَ اللهِ مِلْءَ الْمِيْزَانِ، وَمُنْتَهَى الْعِلْمِ، وَمَبْلَغَ الرِّضَا، وَزِنَةَ الْعَرْشِ. لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَى مِنَ اللهِ إِلَّا إِلَيْهِ. سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ الشَّفْعِ وَالْوَتْرِ، وَعَدَدَ كَلِمَاتِهِ التَّامَّاتِ كُلِّهَا. أَسْأَلُكَ السَّلَامَةَ كُلَّهَا بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، وَهُوَ حَسْبِي وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ، وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى نَبِيِّنَا خَيْرِ خَلْقِهِ، سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ أَجْمَعِيْنَ.

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga beliau dan para sahabatnya sekalian. Maha Suci Allah dengan pujian yang seberat isi timbangan amal, seluas ilmu-Nya, sebesar keridhaan-Nya, dan seberat 'Arsy-Nya yang agung. Tiada tempat untuk berlindung dan tiada jalan untuk selamat dari siksa Allah kecuali hanya kepada-Nya semata. Maha Suci Allah sebanyak bilangan ganjil dan genap, dan sebanyak seluruh kalimat-Nya yang sempurna dan tak terhitung jumlahnya. Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, keselamatan yang sempurna dan menyeluruh, dengan rahmat-Mu, wahai Zat Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, Dzat Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Cukuplah Allah sebagai penolongku, Dia sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Semoga Allah yang Mahatinggi senantiasa mencurahkan shalawat kepada Nabi kita, makhluk terbaik ciptaan-Nya, Nabi Muhammad Saw., serta kepada keluarga beliau dan seluruh sahabatnya.”

Hari Asyura menjadi momentum spiritual yang sarat makna. Ia menggabungkan nilai ibadah individu dan sosial secara harmonis. Melalui amalan puasa, shalat, zikir, dan sedekah, kita diajak untuk menyucikan diri dari dosa dan menebar kebaikan kepada sesama. Asyura bukan hanya perayaan ritual, tetapi juga cermin dari kepedulian, keteladanan, dan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari. Maka, mari kita isi hari Asyura ini dengan amal-amal terbaik yang penuh keikhlasan, semoga Allah menerima dan memberkahi setiap langkah kita.

Berani Bermimpi Besar: Kunci untuk Hidup yang Lebih Bermakna

Dalam hidup ini, mimpi adalah bahan bakar utama yang menggerakkan langkah dan memberi arah pada tujuan. Mimpi membuat kita berani berharap...