Sabtu, 09 Agustus 2025

Menapaki Jalan Ulama: Rahasia Keberkahan Menghafal Nama dan Karya

Dalam dunia pesantren dan majelis ilmu, nasihat para guru tidak hanya menjadi penuntun dalam memahami pelajaran, tetapi juga menjadi cahaya yang menuntun hati. Salah satu ungkapan yang sarat makna datang dari pelajaran bersama Abuya Al-Habib Shaleh bin Ahmad Alaydrus "Seorang santri harus mengenal nama-nama ulama dan kitab-kitab karangan mereka, karena ada keberkahan tersendiri jika seorang murid menghafalnya." Ungkapan ini bukan sekadar anjuran akademis, melainkan sebuah panduan spiritual yang menghubungkan santri dengan mata rantai keilmuan Islam yang agung. Ia mengingatkan bahwa belajar tidak hanya mengasah logika, tetapi juga menyambung jiwa kepada sumber-sumber ilmu yang penuh berkah.

Mengenal nama ulama dan karya mereka berarti menelusuri jejak sejarah panjang para penjaga ilmu. Ulama-ulama terdahulu bukan hanya menulis buku, tetapi mengorbankan hidup mereka untuk menjaga kemurnian ajaran agama, memurnikan akidah, membimbing umat, dan menanamkan nilai-nilai mulia. Dengan mengetahui nama mereka, seorang santri akan merasa memiliki hubungan batin dengan para pendahulu yang mulia itu. Ia tidak akan merasa belajar sendirian, melainkan seperti duduk di majelis para ulama besar, meskipun terpisah oleh zaman.

Menghafal nama kitab dan pengarangnya juga menjadi pintu keberkahan karena di dalamnya terdapat tawassul ilmu. Setiap kali nama ulama disebut, doa dan hormat kita kepadanya akan mengalir, dan itu membuka pintu rahmat Allah. Bahkan, para ulama sendiri mengajarkan bahwa menyebut nama guru atau penulis kitab sebelum membaca karyanya akan menambah cahaya pemahaman dan kelembutan hati. Inilah yang dimaksud dari ungkapan di atas: keberkahan itu hadir ketika ilmu dipelajari dengan adab, bukan sekadar dengan kecerdasan otak.

Selain itu, pengetahuan tentang kitab dan pengarangnya akan membentuk wawasan intelektual yang kokoh. Seorang santri yang mengetahui karya-karya besar seperti Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali atau Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, akan mampu memahami kedalaman tradisi keilmuan Islam. Pengetahuan ini akan menumbuhkan rasa hormat, kerendahan hati, dan semangat meneladani kesungguhan para ulama dalam mencari dan mengajarkan ilmu. Dengan demikian, ilmu yang diperoleh bukan hanya luas secara materi, tetapi juga dalam secara makna.

Pesan dari pelajaran bersama Abuya Al-Habib Shaleh bin Ahmad Alaydrus adalah ajakan agar santri tidak memutus mata rantai keilmuan. Dengan mengenal dan menghafal nama ulama serta kitab mereka, santri menjaga sambungan spiritual dan intelektual yang telah dibangun berabad-abad. Ilmu yang dipelajari pun tidak akan kering, melainkan hidup dengan keberkahan. Sebab, ilmu yang bersambung kepada ulama dan guru-guru saleh ibarat air yang mengalir dari sumber yang jernih, menyejukkan akal, menenangkan hati, dan memberi kehidupan bagi jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Tinggalkan Amal, Jangan Beramal untuk Manusia

Dalam perjalanan spiritual menuju Allah, seorang hamba akan sering diuji bukan hanya pada niatnya beramal, tetapi juga pada bagaimana ia m...