Dalam kehidupan ini, manusia
sering kali bersungguh-sungguh dalam urusan dunia, namun bersikap longgar dan
remeh dalam urusan agama yang berkaitan dengan akhirat. Ucapan Habib Ahmad bin
Hasan Al-Athos, “Sungguh dungu sekali orang yang suka mengambil hukum remeh
(hukum dhaif) dalam agama untuk bekal akhiratnya, dan suka memilih hal-hal
terbaik untuk masalah dunianya,” adalah tamparan lembut bagi siapa saja
yang belum menyeimbangkan antara kesungguhan dunia dan akhirat. Ucapan ini
bukan hanya sindiran tajam, tapi juga pengingat agar kita memperhatikan
kualitas bekal yang kita siapkan menuju kehidupan abadi.
Bayangkan seseorang yang sangat
selektif dalam memilih makanan, pakaian, kendaraan, atau pendidikan terbaik
demi kenyamanan dunia. Namun saat menyangkut ibadah, ia mudah puas dengan dalil
yang lemah, amalan yang tidak jelas sumbernya, atau bahkan mencukupkan diri
dengan alasan “yang penting niat baik”. Bukankah itu sebuah kontradiksi? Jika
untuk sesuatu yang sementara saja kita bersungguh-sungguh, mengapa justru untuk
sesuatu yang kekal, kita begitu longgar?
Habib Ahmad bin Hasan Al-Athos mengajarkan
bahwa bersikap cermat dalam urusan agama adalah wujud keseriusan kita kepada
Allah. Mengambil hukum yang lemah tanpa alasan yang sah bukanlah tanda
kebijaksanaan, melainkan kecerobohan spiritual. Bukan berarti hukum dhaif
tidak boleh dipakai sama sekali, tetapi menggunakannya sebagai sandaran utama
dalam ibadah tanpa landasan yang kuat (sementara kita sendiri bisa mencari yang
lebih sahih) adalah bentuk ketidaktulusan dalam menyiapkan diri untuk akhirat.
Lebih dalam lagi, ucapan ini juga menegur cara berpikir kita yang sering terbalik. Dunia yang sesaat direncanakan dengan teliti, akhirat yang abadi diserahkan pada takdir tanpa upaya maksimal. Padahal, Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa orang yang cerdas adalah yang mampu menundukkan hawa nafsunya dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati. Maka, orang yang memilih pendapat yang paling ringan dalam agama tanpa alasan yang benar, namun sangat perfeksionis dalam urusan dunia, telah berlaku zalim terhadap dirinya sendiri.
Sudah saatnya kita memperbaiki cara pandang: bahwa urusan akhirat harus lebih kita seriuskan dari urusan dunia. Bukan berarti kita harus meninggalkan dunia, tapi justru menjadikannya sebagai sarana menuju akhirat. Maka, jika kita mampu memilih yang terbaik untuk hidup yang singkat ini, lebih layak lagi bagi kita memilih amalan, hukum, dan keyakinan yang kuat serta sahih untuk hidup yang kekal nanti. Sebab, hanya orang yang sadar akan tujuannya yang akan menyiapkan bekalnya dengan sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar