Ungkapan
"Berusaha menjadi lebih baik adalah pilihan, tetapi merasa paling baik
adalah kesalahan" mengingatkan kita bahwa perjalanan hidup ini adalah
tentang pertumbuhan dan perbaikan diri yang berkelanjutan. Setiap individu
memiliki pilihan untuk berusaha lebih baik, baik dalam hal pengetahuan,
keterampilan, maupun akhlak. Namun, ketika seseorang merasa bahwa dirinya sudah
menjadi yang terbaik, ia menghentikan proses perbaikan tersebut. Merasa sudah
sempurna justru menghalangi potensi untuk tumbuh dan berkembang lebih jauh.
Hadis
Nabi Muhammad Saw. mengajarkan kita bahwa sifat kesombongan adalah salah satu
sifat yang paling dilarang dalam Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda, "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ
مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ" (Lā yadkhul al-jannah man kāna fī qalbihī mithqālu ḥabbatin
min khardalin min kibrin) yang artinya, "Tidak akan masuk surga
seseorang yang di dalam hatinya ada seberat biji sawi dari sifat sombong."
Hadis ini mengingatkan kita bahwa rasa puas diri yang berlebihan dan merasa
paling baik adalah bentuk kesombongan yang menghalangi kita dari kemajuan
spiritual dan duniawi.
Dalam
konteks yang lebih luas, banyak ahli hikmah yang menyarankan agar kita selalu
menjaga kerendahan hati. Misalnya, seorang filsuf terkenal, Socrates, pernah
berkata, "I know that I am intelligent, because I know that I know
nothing" (Aku tahu bahwa aku cerdas, karena aku tahu bahwa aku tidak
tahu apa-apa). Ungkapan ini mengajarkan kita untuk tidak pernah merasa sudah
mengetahui segalanya. Kebijaksanaan sejati muncul ketika kita menyadari
keterbatasan diri dan terus mencari pengetahuan dan pengalaman baru.
Lebih
lanjut, ungkapan ini juga mengingatkan kita akan pentingnya evaluasi diri.
Dalam kehidupan, kita sering kali terjebak dalam perasaan puas dengan capaian
yang telah kita raih. Padahal, selalu ada ruang untuk berkembang. Seorang ahli
hikmah lainnya, Imam Ali bin Abi Talib ra., mengatakan, "مَنْ لَا يَعْرِفُ
قَدْرَ نَفْسِهِ، لَا يَعْرِفُ مَكَانَهُ" (Man lā
ya'rifu qadru nafsihī, lā ya'rifu makānahū) yang artinya, "Barang siapa
tidak tahu harga dirinya, ia tidak akan tahu tempatnya." Pernyataan
ini mengajak kita untuk memahami posisi kita dengan rendah hati, mengakui
kekurangan, dan selalu berusaha untuk lebih baik.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang merasa paling baik sering kali kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang lain. Mereka cenderung menjadi pribadi yang tertutup dan tidak terbuka pada kritik yang membangun. Padahal, kritik adalah salah satu alat terbaik untuk mendorong kita agar terus berkembang. Seorang bijak dari Timur, Confucius, mengatakan, "Kritis terhadap diri sendiri adalah tanda kebijaksanaan, tetapi merasa sempurna adalah tanda kebodohan." Ini menegaskan bahwa kesempurnaan sejati hanya dapat dicapai dengan kerendahan hati dan kemauan untuk terus belajar.
Dengan mengingat pesan dari Nabi Muhammad Saw. dan para ahli hikmah lainnya, kita dapat menyadari bahwa "Berusaha menjadi lebih baik adalah pilihan, tetapi merasa paling baik adalah kesalahan" mengajarkan kita untuk selalu menjaga semangat belajar, berusaha, dan rendah hati. Dalam Islam, setiap individu diminta untuk tidak merasa paling baik atau sombong, karena yang terbaik di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, sebagaimana Allah jelaskan dalam firman-Nya, ". . . إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ" (Inna akramakum 'indallāhi atqākum) yang artinya ". . . Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar