Perkataan ulama, “Dunia
adalah kerisauan dan duka cita. Maka apabila terdapat kesenangan di dalamnya
berarti itu adalah keuntungan,” mengandung makna mendalam tentang hakikat
kehidupan dunia dan cara manusia seharusnya menyikapinya. Ucapan ini berakar
dari pandangan Islam yang menempatkan dunia sebagai tempat ujian, bukan tujuan
akhir. Dunia bukanlah tempat untuk mencari kebahagiaan abadi, melainkan arena
perjuangan untuk meraih ridha Allah dan menyiapkan diri menuju kehidupan yang
kekal di akhirat. Oleh karena itu, kesenangan yang hadir di dunia bukan sesuatu
yang pasti atau kekal, melainkan sekadar anugerah sementara yang patut
disyukuri, bukan dijadikan sandaran utama kebahagiaan.
Ungkapan ini mencerminkan
kesadaran akan sifat fana dunia. Dunia dipenuhi dengan ujian, kesulitan, ketidakpastian,
dan penderitaan, baik dalam bentuk kehilangan, cobaan, maupun kegelisahan hati.
Para ulama ingin mengingatkan bahwa kerisauan dan duka cita merupakan bagian
alami dari kehidupan duniawi, dan manusia tidak dapat menghindarinya
sepenuhnya. Maka, apabila seseorang mendapati kebahagiaan, ketenangan, atau
keberkahan di tengah segala keterbatasan dunia, itu adalah bentuk rahmat dan “bonus”
dari Allah. Dengan kata lain, kesenangan duniawi bukan jaminan, tetapi karunia
yang patut disyukuri tanpa melupakan hakikat ujian di baliknya.
Dalam ajaran Islam, dunia
disebut sebagai darul ibtila’ — tempat ujian. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an bahwa manusia akan diuji dengan rasa takut, lapar, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan (QS. Al-Baqarah: 155). Oleh karena itu, kesedihan,
kecemasan, dan penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup.
Namun, justru melalui ujian itulah Allah menilai keteguhan iman dan kesabaran
seorang hamba. Ketika seseorang tetap bersyukur dan bersabar di tengah
kesulitan, maka ia telah mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Dalam
konteks ini, kesenangan dunia yang muncul sesekali adalah “nikmat ringan” yang
seharusnya disambut dengan rasa syukur, bukan dijadikan tujuan utama hidup.
Ungkapan ini juga mengandung nilai psikologis yang sangat relevan bagi manusia modern. Ketika seseorang memahami bahwa dunia tidak sempurna dan penuh ketidakseimbangan, ia akan lebih siap menghadapi kenyataan hidup tanpa terlalu larut dalam kekecewaan. Kesadaran ini membentuk ketenangan batin, sebab ia tidak menuntut dunia untuk selalu menyenangkan. Sebaliknya, ia belajar menikmati kesenangan sederhana sebagai “keuntungan tambahan,” bukan hak yang harus dimiliki. Dengan cara pandang ini, seseorang akan hidup lebih tenang, tidak mudah kecewa, dan mampu menerima setiap peristiwa sebagai bagian dari takdir yang bijaksana.
Ungkapan para ulama tersebut mengajarkan kebijaksanaan hidup yang berakar pada iman, kesabaran, dan syukur. Dunia adalah tempat yang penuh ujian, sehingga duka dan kerisauan adalah bagian dari perjalanan menuju kedewasaan spiritual. Namun, jika di tengah kerisauan itu seseorang masih mendapatkan kebahagiaan, ketenangan, atau rezeki yang melimpah, maka itu adalah karunia yang patut disyukuri. Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada dunia yang sementara, melainkan pada ketenangan hati dan kedekatan kepada Allah. Dengan demikian, seseorang akan mampu menjalani hidup dengan lapang dada, menerima duka dengan sabar, dan menyambut bahagia dengan syukur.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar