Syekh Abdul Aziz As-Syahawi,
seorang ulama besar, melalui ungkapannya yang mendalam, menegaskan pentingnya
peran guru dalam proses pembelajaran. Ucapan beliau, “مَنْ
أَخَذَ الْفِقْهَ عَنِ الْكُتُبِ أَخْطَأَ فِي الْأَحْكَامِ (Barang
siapa belajar fiqih dari buku, maka akan salah dalam berhukum),”
menggambarkan bahwa belajar fiqih, yang berisi aturan dan hukum Islam, tidak
cukup hanya dengan membaca buku. Fiqih membutuhkan pemahaman mendalam dan kontekstual,
yang hanya dapat dicapai melalui bimbingan seorang guru yang memahami
prinsip-prinsip dasar, tujuan hukum, serta aplikasinya dalam berbagai situasi
kehidupan. Tanpa bimbingan guru, seseorang berisiko salah dalam memahami teks
dan penerapannya, yang dapat berujung pada kekeliruan dalam berfatwa atau
mengadili.
Ungkapan selanjutnya, “وَمَنْ
أَخَذَ النَّحْوَ عَنِ الْكُتُبِ أَخْطَأَ فِي الْكَلَامِ (Barang
siapa belajar nahwu tanpa berguru, maka akan salah dalam berbicara),”
menyoroti pentingnya guru dalam penguasaan tata bahasa Arab. Nahwu adalah alat
penting untuk memahami Al-Qur’an dan hadis dengan benar. Tanpa bimbingan guru,
pelajar mungkin salah memahami kaidah-kaidah dasar atau gagal menerapkannya
dengan tepat. Kesalahan dalam tata bahasa tidak hanya memengaruhi kemampuan
berbicara, tetapi juga dapat mengubah makna ayat atau hadis yang dipahami. Guru
memiliki peran strategis dalam mengoreksi kesalahan dan memberikan contoh yang
benar.
Beliau juga menegaskan, “وَمَنْ
أَخَذَ الطِّبَّ عَنِ الْكُتُبِ قَتَلَ الْأَنَامَ (Barang
siapa belajar ilmu kedokteran tanpa berguru, maka dia akan membunuh manusia).”
Ilmu kedokteran adalah ilmu terapan yang melibatkan aspek teori dan praktik
yang kompleks. Tanpa bimbingan seorang guru yang berpengalaman, pelajar dapat
melakukan kesalahan fatal, baik dalam diagnosis maupun pengobatan, yang
berpotensi membahayakan nyawa pasien. Guru tidak hanya mentransfer pengetahuan,
tetapi juga membentuk sikap, etika, dan keterampilan praktik yang sangat
penting dalam profesi ini.
Pesan ini sejatinya
menggarisbawahi esensi pendidikan berbasis hubungan antara murid dan guru, yang
melibatkan transfer ilmu, adab, dan hikmah. Buku adalah sumber pengetahuan,
tetapi guru adalah jembatan yang menghubungkan pengetahuan tersebut dengan praktik
nyata. Guru juga memberikan arahan moral dan spiritual, yang tidak dapat
ditemukan hanya dalam teks tertulis. Seorang guru dapat menjawab pertanyaan,
memberikan penjelasan kontekstual, dan memastikan pemahaman yang benar.
Selain itu, ungkapan ini mengingatkan
kita akan pentingnya adab dalam menuntut ilmu. Dalam tradisi Islam, adab
terhadap guru adalah kunci keberkahan ilmu. Belajar tanpa guru sering kali
menjauhkan pelajar dari kesempatan untuk meneladani karakter mulia guru, yang
menjadi bagian penting dari pendidikan holistik. Guru tidak hanya mengajarkan
ilmu, tetapi juga menjadi contoh hidup dalam berperilaku dan berinteraksi.
Dalam konteks modern, pesan ini
relevan untuk semua bidang ilmu. Di era digital, di mana informasi melimpah dan
tersedia di ujung jari, ada kecenderungan untuk mengandalkan pembelajaran
mandiri melalui buku, video, atau sumber daring. Namun, tanpa bimbingan seorang
ahli, pelajar dapat terjebak dalam pemahaman yang dangkal, salah tafsir, atau
bahkan misinformasi. Guru adalah penyeimbang yang membantu pelajar memilah informasi
yang valid dan relevan.
Syekh Abdul Aziz As-Syahawi
juga mengingatkan kita bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, tetapi juga
amanah. Seorang yang belajar ilmu fiqih, nahwu, atau kedokteran tanpa bimbingan
guru berisiko melanggar amanah tersebut, karena kurangnya pemahaman yang
komprehensif dapat mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain. Oleh karena
itu, hubungan dengan guru adalah bentuk tanggung jawab intelektual dan moral
yang mendalam.
Ungkapan beliau juga mengajarkan pentingnya kesadaran akan keterbatasan diri. Mengandalkan buku saja sering kali membuat seseorang merasa cukup, padahal ilmu memiliki kedalaman yang tidak dapat dijangkau hanya dengan membaca. Guru adalah penjaga tradisi keilmuan, yang memastikan bahwa ilmu diwariskan secara autentik dari generasi ke generasi, sehingga tetap relevan dan benar sesuai dengan konteks zaman.
Akhirnya, pesan ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa menghormati guru adalah bagian dari menghormati ilmu itu sendiri. Guru adalah cahaya yang membimbing murid dalam kegelapan ketidaktahuan. Tanpa guru, ilmu bisa kehilangan ruhnya, dan perjalanan intelektual bisa kehilangan arah. Oleh karena itu, mencari guru yang bijak dan berkompeten adalah langkah pertama yang harus ditempuh oleh siapa saja yang ingin memperoleh ilmu yang bermanfaat, penuh berkah, dan menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar