Dalam perjalanan spiritual
menuju Allah, seorang hamba akan sering diuji bukan hanya pada niatnya beramal,
tetapi juga pada bagaimana ia menjaga kemurnian amal tersebut dari campur
tangan hawa nafsu. Imam Fudhail bin Iyadh, seorang ulama sufi besar yang zuhud
dan dikenal ketajaman nasihatnya, berkata dalam Risalatul Qusyairiyah "Meninggalkan
amal karena manusia adalah riya'. Berbuat amal kebaikan karena manusia adalah
syirik." Ungkapan ini mengandung pelajaran yang sangat dalam tentang
keikhlasan, mengingatkan kita bahwa amal bukan sekadar perbuatan lahiriah,
melainkan persembahan hati yang hanya pantas ditujukan kepada Allah semata.
"Meninggalkan amal karena
manusia adalah riya’" bermakna bahwa seseorang yang enggan melakukan
kebaikan hanya karena takut dinilai buruk atau dianggap pamer oleh orang lain,
sejatinya telah terjebak pada penyakit hati yang halus. Ia menimbang amalnya
dengan timbangan pandangan manusia, bukan keridhaan Allah. Padahal, amal yang
diniatkan karena Allah tidak akan terganggu oleh penilaian makhluk. Justru
meninggalkan amal karena takut dilihat orang adalah bentuk riya’ tersembunyi,
karena fokusnya tetap pada manusia, bukan pada Allah.
"Berbuat amal kebaikan
karena manusia adalah syirik" menunjukkan bahwa jika seseorang melakukan kebaikan
semata-mata untuk mendapatkan pujian, penghormatan, atau keuntungan dari
manusia, ia telah memalingkan niatnya dari Allah kepada selain-Nya. Inilah yang
disebut syirik kecil (syirik asghar), yang sangat dikhawatirkan para
ulama. Meskipun amal itu secara lahiriah tampak indah, namun di sisi Allah ia
kehilangan nilai, karena niatnya tercampur. Amal seperti ini ibarat bejana
indah yang kosong dari air, mengagumkan dari luar, tetapi tidak memberi manfaat
sejati.
Pesan Imam Fudhail bin Iyadh mengajarkan keseimbangan: jangan meninggalkan amal karena manusia, dan jangan pula beramal untuk manusia. Titik tengahnya adalah ikhlas, memurnikan niat semata-mata untuk Allah. Ikhlas membuat seorang hamba terus beramal meskipun tidak ada yang melihat, dan tetap melakukannya meskipun ada banyak yang memperhatikan. Ia sadar bahwa pandangan Allah lebih berarti daripada seluruh penilaian manusia. Amal yang ikhlas akan tetap tegak di tengah pujian maupun hinaan, seperti pohon kokoh yang akarnya menghujam dalam.
Nasihat ini menuntun kita untuk selalu menata hati sebelum, selama, dan setelah beramal. Sebelum beramal, kita meneguhkan niat hanya karena Allah. Saat beramal, kita menjaga hati agar tidak bergeser kepada pencarian pujian. Setelah beramal, kita tidak merasa bangga atau layak dihormati, tetapi tetap merasa membutuhkan ampunan Allah. Dengan demikian, amal menjadi murni, hati menjadi bersih, dan hidup dipenuhi keberkahan. Sebab, amal yang diterima Allah bukan yang paling banyak, tetapi yang paling ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar