Dalam dunia pendidikan kritis,
Paulo Freire adalah salah satu tokoh yang paling berpengaruh. Dalam karyanya Pedagogy
of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), Freire memperkenalkan gagasan
bahwa pendidikan sejati bukan sekadar proses mentransfer pengetahuan, melainkan
upaya untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap realitas sosialnya.
Ungkapannya, “Kesadaran kritis memungkinkan manusia menyadari realitas
sosialnya, dan mendorongnya untuk bertindak,” mencerminkan pandangan
mendalam bahwa manusia memiliki kapasitas untuk memahami, mengkritisi, dan
mengubah dunia di sekitarnya. Pendidikan, bagi Freire, adalah proses
pembebasan, bukan penjinakan.
Freire membedakan tiga tingkat
kesadaran manusia: kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.
Kesadaran magis terjadi ketika manusia menerima keadaan apa adanya tanpa
mempertanyakannya, seolah-olah semua hal diatur oleh kekuatan di luar dirinya.
Kesadaran naif muncul ketika manusia mulai menyadari adanya ketidakadilan,
tetapi masih cenderung menyalahkan individu, bukan sistem. Sementara itu,
kesadaran kritis adalah tahap tertinggi, ketika seseorang mulai memahami
struktur sosial, politik, dan ekonomi yang membentuk realitasnya. Pada tahap
ini, manusia tidak lagi menjadi objek dari penindasan, melainkan menjadi subjek
yang sadar dan berdaya untuk bertindak.
Menurut Freire, pendidikan
harus menjadi sarana untuk membangkitkan kesadaran kritis tersebut. Ia menolak
sistem pendidikan yang bersifat banking concept of education, di mana
guru dianggap sebagai “penabung” pengetahuan dan murid hanya sebagai
“penyimpan.” Sebaliknya, ia mendorong model pendidikan dialogis yang
memungkinkan siswa dan guru sama-sama berpikir, berdialog, dan menciptakan
makna dari realitas yang mereka hadapi. Dalam proses dialog inilah muncul
kesadaran kritis, kesadaran untuk memahami bahwa realitas sosial bisa diubah
melalui tindakan kolektif yang sadar dan reflektif.
Lebih jauh, kesadaran kritis bukan hanya tentang mengetahui bahwa ketidakadilan ada, tetapi juga tentang berani bertindak untuk mengubahnya. Freire menyebut perpaduan antara refleksi dan aksi sebagai praxis. Tanpa aksi, refleksi hanya menjadi wacana; tanpa refleksi, aksi bisa kehilangan arah. Kesadaran kritis menuntut keseimbangan keduanya. Ketika seseorang mulai memahami akar masalah sosial dan kemudian terlibat dalam tindakan nyata, entah melalui pendidikan, advokasi, atau gerakan sosial, maka ia sedang menjalani praxis yang sesungguhnya, yaitu mewujudkan kesadaran menjadi perubahan nyata.
Ungkapan Freire mengajarkan bahwa menjadi manusia sejati berarti menjadi makhluk yang sadar dan bertanggung jawab terhadap realitas sosialnya. Kesadaran kritis membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan pasifitas, mengubahnya menjadi agen perubahan yang mampu menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Melalui kesadaran kritis, manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga berkomitmen untuk memperbaikinya. Sebab, seperti kata Freire, “Tidak ada perubahan tanpa tindakan, dan tidak ada tindakan sejati tanpa kesadaran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar